Skip to main content

Midnight In Pare

Semasa kecil, ketika orang tuaku sibuk melarang anaknya agar tidak memakan sayap ayam, aku malah selalu mencuri-curi sayap tersebut. Mitos ini entah terjadi di seluruh jawa atau cuma terjadi di rumahku saja, aku tidak tahu. Setiap ada sayap ayam (jawa: suwiwi) tersebut, ibuku akan menyembunyikannya. Menurut beliau, seorang jejaka atau gadis yang makan suwiwi akan menikah dengan orang yang jauh, dan beliau tidak mau jika anak-anaknya mendapatkan suami/istri di tempat yang jauh. Aku agak yakin bahwa ini merupakan pengaruh dari ayahku, karena ibuku terlihat tidak memiliki latar belakang mistis mengenai segala sesuatu, sedangkan ayahku adalah salah seorang keturunan pemelihara Jin.

Tapi permulaan itu seharusnya salah, karena sekarang aku tengah melakukan perjalanan penemuan diri, bukan penemuan istri. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan suwiwi bersama mitosnya, hanya saja aku menganggap bahwa perjalanannku ini mungkin suatu saat, menghasilkan hubungan dengan banyak perempuan lintas kota, lintas pulau, yang bisa saja salah satu dari mereka adalah seseorang yang duduk di sisiku hingga tua bersama. Mungkin saja, dan yang lebih aneh, itu mungkin disebabkan oleh suwiwi yang kucuri sewaktu kecil. Ah, aku mulai menghayal.

Hingga suatu malam, sekitar pukul setengah dua pagi, aku tiba di sebuah kota yang jauh dari bayanganku. Aku berada di kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kota ini, pada malam hari agak memiliki kemiripan dengan Paris (dream mode on). Aku membuktikan bahwa Pare pada malam hari, berbeda dengan Jakarta atau Surabaya ketika malam, juga berbeda dengan desa-desa di sepanjang pulau Jawa. Parepare merupakan kota kecil yang ramai, lampu jalanan sudah menjadi seni indah, papan billboard, gemerlap pub di pinggir pantai. Itulah yang pertama kali kutangkap.

Di sebuah lampu merah aku (di)turun(kan) dari bus bertuliskan Pipposs untuk tujuan Pollman (Polewali – Mandar). Susah mencari bus untuk jurusan Parepare karena kebanyakan dari mereka tidak melalui kota. Diantar oleh salah seorang sahabat baru, aku mencari-cari di Terminal Daya Makassar bus yang menuju ke Parepare. Cukup lama kami memantau beberapa bus tangguh yang keluar terminal tapi tidak satupun yang menuju Parepare. Kami akhirnya menuju ke hulu bus, masuk ke Terminal, dan bertanya ke semua bus yang ada di sana. Aku pantas bersyukur karena mendapatkan salah bus AC yang dingin dan meluncur dengan kecepatan tinggi –meskipun aku harus menjadi penumpang gelap karena di suruh menunggu di luar terminal yang jauh dari pandangan petugas jaga, juga naik dari tempat yang gelap bersama teman baruku itu –yang alhamdulillah juga agak gelap.

Jadi di Pareparelah aku berada. Berdiri di bawah lampu merah yang cuma berkelip kuning tiap dua detik. Sebenarnya aku sampai satu jam lebih awal, maksudku jam setengah satu, dan menikmati malam yang eksotis tersebut. Mari kita membayangkan kota Parepare pada malam hari. Tidak ada keramaian sama sekali, sedangkan lampu jalanan kota begitu terang benderang. Hanya ada satu dua taksi yang melintas, atau seseorang yang sedang mendorong gerobak makanan. Langit cerah, tidak ada suara-suara, jalanan lengang, seperti lorong-lorong kota yang ada di Paris, begitu fantastis dan imajinatif.

Ini berbeda ketika kau berdiri di kota terdekatnya, Makassar misalnya. Kau bisa saja berdiri hingga jam tiga pagi, tapi tidak akan kau dapatkan lorong-lorong semenarik ini, juga tidak ada lampu merah sesepi tempat ini. Apalagi di Surabaya, bukan? Aku di sini bisa menari, tidur telentang di perempatan seperti film The Notebook sambil was-was kalau ada mobil yang melintas, menyanyi-nyanyi sendiri, dan jingkrak-jingkrak. Tertawa lepas menertawakan kebodohan dan kebahagiaan yang kualami. Sungguh, Parepare sungguh begitu wah malam itu.

Setelah berjalan melewati beberapa lorongnya sedikit-sedikit, aku mencoba telpon temanku. Teman baruku juga, seseorang yang sabar, baik, positif, pengertian, jujur, pandai menabung, tidak sombong, dan segala sifat baik yang bisa kau dapatkan dalam kamus, bisa kau sematkan padanya. Tapi tidak diangkat padahal dari tadi ku sms-an. Lalu aku sms saja, siapa tahu dia sedang membuat banner dan spanduk untuk menyambut kedatanganku. Jadi aku sms sambil melanjutkan kegiatanku ketika tidak ada orang, bogil; bodoh dan gila. Tiga detik kemudian dia membalas smsku dan berjanji secepatnya menjemputku di lampu merah Labbukan.

Aku lihat matanya yang berbinar ketika pertama kali menemukanku, sebinar mataku. Tapi aku tahu bahwa dia sudah mengantuk, dia orang baik yang suka sibuk demi orang lain. Aku berharap bahwa dia akan membawaku pulang, mengenalkanku pada keluarganya, lalu pergi tidur. Tapi tidak, dia mengajakku makan nasi uduk yang dikasih kuah santan dengan sambal cair dan telur bundar. Aku lupa namanya, sepertinya itu makanan yang memang hanya tersedia tengah malam. Setelah makan, harapanku yang pertama tak kunjung dikabulkan, dia mengajakku berkeliling kota Parepare. Aku melonjak kegirangan meskipun aku tahu bahwa temanku ini sedang capek –terlihat dari matanya yang memerah.

Kami berkeliling menggunakan skuter, mengelilingi kota Pare yang naik-turun, mengingatkanku kepada Gill Pender yang tersesat di Paris pada tengah malam dan bertemu Hemingway atau Piccasso.  Yang kutemukan di sini adalah rumah masa kecil Habibie yang sudah berubah menjadi warnet, dan aku tertawa sambil gelengkan kepala. Juga rumah Andi Mallarangeng semasa masih belum kaya di Jakarta, juga seorang polisi yang berbincang dengan waria cantik.

Malam itu, tengah malam di Parepare, serasa tengah malam di Paris. Aku bisa membayangkannya.

Comments

  1. wooowww amazing,, i like pare,, jadi inget waktu di Pare,, Pare emank mantap

    ReplyDelete
  2. pare-pare lho ya... kalau Pare saja ada di Kediri, kalau Pare-pare ada di Sulsel, ^^

    ReplyDelete
  3. hehehe swiwinya berarti bener dong????

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.