Skip to main content

Begitulah Cerita Itu



Aku selalu menolak untuk menuliskan perjalananku secara kronologis. Tanpa alasan. Banyak orang bilang bahwa kisah perjalananku bisa dijadikan buku, semacam catatan perjalanan seperti yang telah banyak dibukukan. Namun aku enggan, yang sekali lagi tanpa alasan. Banyak hal yang bisa kutulis dari perjalaan, meskipun sejujurnya lebih banyak yang hanya tersimpan di hati karena tidak pernah bisa ditulis. Perjalanan rahasia, bertemu dengan orang rahasia, juga peristiwa-peristiwa yang tak patut diketahui oleh orang lain; semuanya tersimpan saja di dada.

Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menulis hal yang diluar kronologis. Aku sadar ini tidaklah populer. Tidak ada orang yang akan menyukai tulisanku yang kadang suka menggurui, sok filosofis, terlebih yang tak bisa di fahami. Dan sayangnya banyak tulisanku yang bernada serupa. Jika megikuti status-status Tere Liye, atau membaca buku-buku Salim a Fillah, tentu aku tidak termasuk dalam golongan penulis inspiratif, apalagi penulis islami.

Kejadian-kejadian yang telah terjadi begitu cepat terlewatkan, berganti dengan kejadian yang baru, seperti seorang anak yang sedang timbul tenggelam dalam ombak. Sekilas memandang daratan, lalu ia tak tampak karena terhalau laut asin dihadapamu –yang ombaknya bahkan mengelabuhi mata bahwa ada hiu dan buaya di laut dangkal. Aku menertawakan diriku sendiri karena pernah mengalaminya semasa berenang di salah satu pantai di Madura.

Aku sudah lupa nama pantainya, itu sebuah pantai yang tidak terkenal sama sekali. Terletak di Kabupaten Sumenep, ujung terjauh dari pulau garam tersebut. Bersama segerombolan cowok dan cewek, aku menceburkan diriku sendiri dengan gaya sombong. Berenang agak ke tengah sambil melambaikan tangan ke teman-teman yang tidak berani menyusulku. Saat waktu semakin susut, mereka mulai menunjuk-nunjuk ke belakangku. Itu sore hari, entah kenapa sore hari ombak menjadi tak terjelaskan ganasnya.

Kebodohanku, sungguh. Aku langsung sadar bahwa kebodohankulah penyebabnya. Kulangsung melihat kebelakang, dimana ombak besar segera menenggelamkanku hingga menjadi spongebob. Air laut masuk ke hidungku, tenggorokan, mata kasat, kepala pening, perut mual, tubuh lemas, aku seperti dihancurkan. Saat itulah kumelihat daratan samar-samar, kawan-kawan yang hanya mampu melambai, yang langsung berganti gulungan ombak yang lain. Di sana pikiranku menuju hiu dan buaya, yang membuatku kembali mengayunkan tangan dan kaki penuh ketakutan. Pada akhirnya aku terkapar di pantai diiringi rasa khawatir dari kawan-kawa baruku tersebut. Waktu malam, saat api unggun menyala dan ikan sudah matang, kami menertawakan kejadian itu bersama-sama.

Madura menyimpan kenangan yang panjang. Jikalau kelahiran tubuhku adalah sebuah sejarah, maka Madura harus memiliki satu bab tersendiri. Dan bab ini adalah pijakan dari seluruh kehidupan di bab-bab berikutnya. Karena di sana aku mengenal pendidikan, bertemu orang-orang dengan berbagai macam modifikasi, mengetahui cinta (pertamaku?),  dan juga yang menghancurkan cita-cita besarku. Selepas Madura, hidup terasa tidak asing lagi. Aku lebih mengenal derita dan bahagia, sakit dan doa, juga mengenal bahwa dunia ini aneh. Semakin kutahu mengenainya, maka semakin aku tidak kenal dengannya.

Dunia ini, yang kutahu semakin realistis. Tidak ada lagi sesuatu yang romantis puitis lagi. Jika melihat film Midnight in Paris, maka betapa inginnya Gill Pender untuk hidup di Paris pada abad ke-20. Sama denganku yang ingin sekali hidup pada suatu zaman yang bukan zaman ini -tapi aku tidak tahu zaman yang mana. Ya begitulah dunia, siapapun bisa merasa puas dan tidak puas terhadapnya.

Tiga setengah tahun berlalu tanpa rencana, tiba-tiba aku sudah mengenakan toga bersama tiga perempuan. Tiga perempuan paling cantik yang ada di program studiku. Ketika rektor memaggil namaku, dan mereka, ku tahu bahwa hanya kami berempat yang memborong ijazah tahun ini. Aku melihat temanku yang lain tersenyum dikejauhan, mereka akan menyusul kami semester depan. Aku yakin, mereka seharusnya ada di sini bersama kami sekarang, duduk dalam nomor urut yang membosankan ini, dan tersenyum bersama. Tapi mereka adalah orang yang sabar hingga menunda kelulusannya hingga enam bulan mendatang. Yang ku tahu, mereka berada di sana untuk mensupport kami. Itu saja.

Orang tuaku sengaja tidak hadir waktu itu. Aku sengaja, karena betapa sulitnya untuk mengundang mereka ke sini. Bahkan aku tidak memiliki kos, kesulitan mencari perlengkapan wisuda yang sungguh membebani, dan jika kedua orang tuaku ke sini, aku akan menyusahkan mereka. Di samping tidak bisa menempatkan mereka di kursi yang layak, aku juga tidak akan punya waktu bersama mereka. Jelasnya, teman-teman yang mengucapkan selamat tidak akan membiarkanku pergi duluan. Mereka akan meminta traktiran dan sebagainya. Maka inilah pilihan terbaik itu.

Begitulah Madura berakhir. Membawaku pada bab selanjutnya, sebuah bab yang berisi Lombok, Bali, Jawa, Sumatera, dan Makassar. Aku di sini sekarang, melihat orang-orang makassar yang kecantikannya melebihi seluruh tempat yang telah kukunjungi. Menikmati Losari yang modern, Fort Rotterdam yang kusesali namanya, dan rencana-rencana menikmati tempat lain yang lebih eksotis.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.