Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2012

Phobia

Ini tentang seorang yang menjalani kehidupan dengan tanpa semangat. Ataupun, kalau dia semangat itu hanyalah semangat mengutuk keadaan. Saya agaknya membaca beberapa gejala, juga membaca beberapa tulisan kritikus yang memastikan gejala ini. Sastrawan-sastrawan idealis, seniman-seniman idealis, dan jurnalis-jurnalis idealis, sepertinya setengah mati membangun suatu tatanan yang dia yakini sebagai yang ‘lebih bernilai, lebih bermoral’ dari pada kehidupan nyata. Ramai-ramai mereka mengheningkan cipta kepada dunia yang fana ini. Gejala inilah, yang kalau saya seorang psikolog, akan menggolongkan mereka sebagai sebuah penyakit. Entah mental disorder , entah imagination diseorder . Mungkin saya juga memiliki penyakit agak ke arah sana, tapi saya tidak mau membicarakan diri saya sendiri. Mereka dahulu, saya belakangan. Itung-itung cari aman. Lagipula, saya belum bisa mendefinisikan diri sendiri, karena saya terlanjur terpengaruh oleh mereka untuk menyukai sastra, seni, dan jurnalistik

Sarjana Muda yang Pulang ke Kampung

Kita patut berharap kepada para sarjana yang telah menyelesaikan studinya yang “hebat” tersebut, kemudian kembali ke kampung, dengan harapan ia mampu membangun desanya menjadi desa mandiri yang tidak lagi “menyediakan makanan bagi orang kota yang lalu desa tersebut disia-siakan”. Kita patut berbangga kepada para mahasiswa yang mau kembali ke desa lalu berupaya dengan sekuat tenaga menjadikan pemuda-pemuda desa yang tidak sekolah, sebagai basis kekuatan baru sebuah kebudayaan di desanya. Sarjana muda, selalu masih memiliki imajinasi yang tinggi terhadap kehidupannya. Harapanya masih sehangat ideologinya, nyalanya begitu terang hingga bisa melenyapkan kegelapan warga desa. Perlu di catat, saya tidak mengharapkan prasangka buruk bahwa orang desa itu ndeso , cacat pemikiran, tidak modern, dan tidak berkebudayaan. Meskipun harapan-harapan mengenai datangnya sarjana muda ke desa akan membawa dampak yang positif, bukan berarti penduduk desa itu negatif. Bahkan, lebih dari itu, tonggak

Catatan Lagi

Aku ingin menceritakan tentangmu kepada setiap orang yang mungkin ada disampingku kelak. Tapi itu tidak mungkin, karena menceritakanmu kepadanya akan membuat dia sakit hati karena cemburu. Aku juga ingin menceritakanmu kepada setiap orang yang mungkin menjadi sahabat perempuanku. Tapi itu juga tidak mungkin karena itu akan membuat mereka tidak berguna karena tidak bisa menjadi sepertimu. Jika aku menceritakanmu kepada mereka seperti yang selalu dibayangkan oleh laki-laki, maka mereka akan cemburu. Bahwa kau cantik dan berbakti, bahwa kau baik dan shalihah, bahwa kau menarik dan puitis, bahwa kaulah lukisan bunga-bunga, bahwa kaulah pahatan berukir, bahwa kaulah maha karya abadi, bahwa kaulah masterpiece keindahan, bahwa kau lah perempuan yang tidak pernah terbayangkan dalam setiap kehidupan laki-laki. Jika aku menceritakan mengenai hal itu kepada setiap orang yang pernah ada disampingku, maka mereka akan cemburu –sebagaimana cemburunya sikap Aisah kepada Khadijah yang sel

Filosofi Diam

Kita berjalan di atas catwalk bersama-sama sambil memainkan peran masing-masing, lalu kita menyebutnya hidup. Seseorang terlihat bahagia, seseorag terlihat sedih, dan seseorang terlihat cuek dengan hidupnya. Namun sejatinya mereka semua adalah “terlihat”, bagaimana kejadian yang sebenarnya hanyalah dia, sahabatnya, dan Allah yang tahu. Kita bahkan lebih sering memberikan kesan bahagia kepada orang lain dari pada kesan bahagia terhadap diri kita sendiri. Ini adalah kebutuhan manusia untuk diaggap sukses, yang kemudian mereka berharap dengan anggapan itu, mereka akan lebih di hormati, diperhatikan, dan ditaati. Semua itu merupakan upaya untuk menyembunyikan diri dari orang lain, dan tidak jarang, kita juga mencoba menyembunyika diri kita dari diri sendiri, upaya ini disebut sebagai diam . Teman saya –biasa saya panggil Ny Robinson- adalah salah orang yang saya hormati. Dia memiliki kehidupannya sendiri dan seringkali membuatku tercekik, tersenyum, bersedih, bahagia, dan juga me

Pare in English

Jika kita membicarakan bahasa inggris, maka kita sebagai orang Indonesia harus mengenal Pare. Sebagai “kampung inggris”, Pare menyajikan berbagai macam cara untuk menguasai bahasa tersebut. Penyebutan “kampung Inggris” ini juga merupakan salah satu hal terunik yang ada di dunia. Karena tidak ada di kota lain, yang berhak menyandang nama kampung bahasa tertentu di dunia. Dengan adanya penyebutan ini, menjadi nyatalah bahwa kebutuhan akan bahasa internasional itu menjadi penting. Saya tidak di bayar untuk membangga-banggakan pare sebagai kampung inggris. Namun saya terlah mencoba belajar disana, dan bisa saya katakan kalau saya adalah alumni dari kampung tersebut. Pertama saya survey ke sana, saya terkejut atas sarana/prasarana yang disediakan oleh masing-masing kursusan. Saya membayangkan bahwa kursus bahasa inggris disana sama dengan kursus ditempat lain, dengan asumsi ;gedung yang bagus, kursi berderet-deret, alat multimedia, dan tutor yang berpengalaman dari Amerika atau

Media Massa dan Opini Publik

“Anda sedang memasuki Abad Informasi, dan inilah satu-satunya jalan yang akan merubah hidup anda sepanjang masa. Mulailah hari ini, bergerak dan ikuti arah hidup anda yang paling benar dengan Tiensi International” Diatas adalah iklan yang sangat memukau. Bagaimana sebuah produk multilever marketing dijadikan standar kebenaran untuk sebuah kemajuan di abad informasi ini. Tidaklah salah mereka menggunakan klaim seperti itu, tidak ada yang salah dan benar dalam media. Semuanya bisa di manipulasi dengan menciptakan realitas-realitas yang sama sekali terputus dengan realitas sebenarnya, istilah yang tepat adalah skizofernia. Berkali-kali kita mendengar bahwa ini adalah abad media, atau abad informasi. Media menjadi hal yang sangat penting sehingga kemudian muncul ungkapan siapa yang menguasai media maka dia adalah pemenang, apapun, politik, bisnis, bahkan untuk penggalangan dana sosial. Media menyediakan informasi yang tiada habisnya untuk dkonsumsi, media menjadi pengatur kehidupan,

Perihal Cinta - Son

Jika aku adalah kembara angin gunung yang terbang mencari sarangnya, kaulah sarang itu. Kaulah alasan yang tepat untuk pemberhentianku. Jika aku adalah matahari, kuharap kaulah bunga-bunga yang tiap hari ku sayangi dengan pancaran senyumku. Mencapai tiap kembangnya dengan pemekaran sempurna, seperti adenium kita yang lugu. Jika aku matahari, maka kaulah bumiku sayang, yang menyerap tiap tetes kasihku dan menyimpannya dalam tubuhnya yang damai. Jika aku adalah matahari, kaulah seorang perempuan yang berteduh di dalam kamarnya, menyapaku takut-takut, dan hanya membayangkanku saja dari jauh. Jika aku adalah hujan, kaulah gadis kecil yang berlarian menghindari tiap tetes air mataku. Kaulah gadis berpayung yang hanya berdiam diri ditengah hujan sambil menyembunyikan tetes air matamu yang bening. Aku menyerapnya ke akar-akarku dan kusimpan dalam dadaku yang luas. Tak sanggup aku melihat air mata menetes dari hati yang lembut. Jika aku adalah hujan, maka kaulah hujan paling deras

Ny. Robinson dalam Kenanganku

Hal pertama yang ingin kulakukan ketika kita bertemu adalah memegang tangamu dan mencium setiap jemarimu dengan sepenuh hatiku. Hal seperti inilah yang mungkin selalu ingin disampaikan Kahlil Gibran kepada kekasihnya. Dan aku benar-benar telah jatuh kepada keindahan dari setiap sikapmu, meskipun dalam beberapa hal kita telah sepakat bahwa kau adalah “perempuan yang aneh”. Ijinkan aku menjadi orang yang mengagumimu. Ijinkan aku menjadi orang yang mabuk dalam gula-gula. Jangan menganggap aku hanya menurutkan sesuatu yang tidak penting. Bagiku, fase ini adalah fase dimana aku menemukan kembali makna hidupku. Aku terlalu lama melakukan perjalanan sendirian, kau tahu rasanya kan? Dan sekarang aku menemukamu, aku benar-benar menjadi berguna karena setiap perjalananku ada yang mendengarkan, ada yang menyukainya, ada yang tak bosan. Menjadi kenyataan bahwa satu hal yang tak bisa kutahan adalah untuk tidak mengirimimu sms. Aku tahu akan semua kekhawatiranmu, entah ini mengenai keti

Membicarakan Ke - Mahasiswa - an

Ada yang tidak beres di program studi kita. Sungguh. Tanpa saya sadari saya sudah lulus cepat-cepat meninggalkan segala hal yang berbau pendidikan. Meskipun begitu saya melanjutkan membaca beberapa orang, beberapa buku, dan terngiang dalam sejarah kemahasiswaan saya, saya gagal berkuliah. Kegagalan pertama bersumber dalam diri setiap mahasiswa, yaitu ketidakfahaman menjadi mahasiswa itu sendiri. Secara tidak langsung kitalah yang akan di baca sebagai bangsa yang besar, bukan masyarakat yang pendidikannya cuma SR (Sekolah Rakyat), ataupun pemerintahan yang sarat dengan korupsi. Dua hal yang terakhir adalah momok paling menyakitkan bagi bangunan bangsa Indonesia, dan kita tidak menyadari apa-apa mengenai diri sendiri bahwa kita adalah mahasiswa. Ketika membaca orang-orang –sebutlah, Einstein, Habermas, Marx, Nietzsche, Barthes, saya bertemu dalam biografi mereka, ada tulisan “tesis kesarjanaannya yang berada di bawah bimbingan Prof… “. Dari sana saya menyimpulkan bahwa sejatinya,

Membicarakan Ke-Mahasiswa-an

Saya merasa ada yang tidak beres dengan pendidikan yang saya dapatkan. Jujur, ini adalah kelalaian terbesar saya sebagai mahasiswa. Meskipun saya lulus dalam posisi yang menguntungkan – cumlaude dan hanya 7 semester, itu tidak membuat catatan akademis saya gemilang. Ketika melihat ke belakang, betapa kekecewaan yang maha besar menggelantung. Ini semata-mata sebagai koreksi bagi diri saya sendiri, juga bagi beberapa mahasiswa dan dosen yang menjadi pusat manara intelektual. Sebagai mahasiswa kita mesti sadar bahwa tanggung jawab ini bukan hanya kepada orang tua di rumah –sebagaimana yang sering saya dengan dari mahasiswa-mahasiswi bahwa tujuan mereka adalah membahagiakan orang tua, dan terkesan klise sebab tiap minggu mereka pulang untuk meneguk susu lalu berangkat lagi sebagai mahasiswa yang tidak bersalah. Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab seorang nabi kepada umatnya, seorang kyai kepada santrinya –dan kita bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat umum yang

Perjalanan

Rabu, 3 Oktober 2012 aku berada di Banten dan tengah mengadakan perjalanan ke Lampung. Sebenarnya aku tidak merencanakan akan menginjakkan kaki ke tanah Sumatera, namun ketika beberapa hari di Banten, keinginan itupun ada. Mengapa aku mengadakan perjalanan? Pertanyaan itupun tiba-tiba menggelayut seperti gadis manja. Jika itu hanya digunakan untuk bersenang-senang dan bersombong diri, itu bisa juga dikatakan demikian. Karena kadang aku tidak bisa menahan untuk tidak menulis di status tentang perjalanan yang sedang kutempuh. Jika itu semata-mata untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku bisa menjelajahi dunia kecil ini, maka betapa tidak berharganya perjalananku. Aku hanya bisa mengira-ngira karena sesungguhnya akupun tidak mengerti tujuan yang sebenarnya dari sebuah perjalanan. Jika aku mau berfikir agak jernih, maka aku akan menjawab begini : Perjalanan yang sepertinya dilakukan oleh fisik seyogyanya dilakukan pula oleh batin kita. Semata-mata kita membutuhkan penyeg

Rumah Dunia

Banten menerimaku dengan lapang dada, kotanya begitu tua, orangnya macam orang tempo dulu. Saya agaknya dimanja dengan pelayanannya, teman yang ramah, gunung, rumah dunia, juga benteng ambruk yang eksotis. Banten, aku seperti tidak ingin pulang. Ini adalah mimpi, perjalanan adalah mimpi, dan kata ‘pulang’  menjadi ragu. Realitas kadang meragukan karena mimpi lebih menggiurkan. Rumah Dunia. Itulah komunitas yang kali ini kujadikan lahan kunjungan tidak resmi. Dari sekian banyak perjalanan kutempuh, selain akan mati di kawah Bromo dan pendakian maut Arjuno, Rumah Dunia adalah salah satu perjalanan yang paling mengesankan. Karena kunjungan ke rumah dunia bukan semacam perjalanan mencari makna dari alam, lebih dari itu, buku-buku yang sejatinya menggambarkan berbagai cara yang dilakukan oleh manusia dalam upayanya menjadi manusia sejati. Rumah dunia, sebagaimana yang kita ketahui merupakan komunitas (yang tidak lagi) kecil yang fokus menggarap masyarakat agar memiliki buda

Istirahat di Banten [Rumah Dunia] 2

salah satu ruangan perpustakaan rumah dunia. dulu kasurnya tidak sebagus itu. foto ini saya kopi dari internet Perjalanan di Banten, bermula dari Sekretariat Karang Taruna Provinsi Banten. Menginap di sana semalam, mengajariku banyak hal; membuatku memandang diri sendiri semakin lama, dan tentu saja, memikirkan masa depan semakin suram.   Perjalanan yang bermula dari keputusasaan ini, sangat menyiksa. Memang jika orang lain memandang perjalanan itu, akan terasa bahwa aku menikmatinya. Dan betul aku menikmatinya, tetapi bukan sebagai pelancong banyak uang dengan tujuan tour, aku menikmatinya sebagai pelancong gelap yang agak puitis . Banyak momen yang dihadapi oleh seorang pelancong yang menjadi bagian dari momen puitis, penuh kenangan, dan membekas. Kesendirian dalam gerimis, adalah momen puitis, tetapi pada saat yang sama, kita bisa merasakan kesakitan yang luar biasa. Berjalan kaki atau naik angkot di suatu kota yang tidak penuh dengan harapan kepadamu, adalah hal ya

Istirahat di Banten

Seringkali dalam perjalanan yang kutempuh, aku merasa harus beristirahat lebih lama dari yang seharusnya. Istirahat ini, mungkin sering tidak difahami oleh beberapa orang lain yang kebetulan berjalan bersamaku. Bagaimana tidak, aku terlalu bermanja dengan istirahat yang mereka rasa tidak perlu –yang sebaliknya menurutku, ketergesa-gesaan mereka sama sekali tidak berguna karena tidak ada hal yang bisa dipetik dari ketergesa-gesaan. Salah satu perjalananku pernah sampai di Banten. Di depan kampus yang paling mentereng di sana, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, aku duduk lama di sebelah tukang ojek yang berada persis di depan kampus tersebut. Bersama salah seorang tukang ojek yang bernama Karmin, orang asli Serang, aku berbicara banyak. Tapi aku lebih dulu harus mengurus seorang mahasiwa Jepang yang waktu itu kutemukan sedang kebingungan di dalam Bus kota dari Jakarta-Banten. Mahasiswa yang kulupa namanya ini, ingin pergi ke Museum Purbakala di Banten yangnya letak ia tidak ta

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.