Saya menyadari dari dulu, tapi tidak benar-benar sadar bahwa ini teramat penting terhadap kesadaran saya sendiri; begitu juga kesadaran penonton yang sering kecewa terhadap film tertentu. Sudah lama sejak novel Ayat-Ayat Cinta dimunculkan menjadi sebuah film bioskop yang menyedot perhatian yang luar biasa. Waktu itu aku masih di MA. R. Mutaabbidin, sebuah sekolah islam yang juga terkena sindrom booming ayat-ayat cinta. Semua orang berlomba menonton film ini, dan berhubung di kota saya tidak (belum) ada bioskop, maka saya dengan sabar menunggu –hingga suatu hari, sekolah itu mengadakan nonton bareng tidak resmi di pusat bahasa. Kecewa. Begitulah perasaan saya ketika melihat film itu dari menit pertama. Saya mencoba mencocok-cocokkan edisi buku dengan filmnya yang ternyata jauh berbeda, dan itu membuatku geram. Apa gerangan yang dibuat sutradara ini? Tanyaku pada diriku sendiri, sementara teman-temanku terisak sedih melihat kisah cinta mereka yang ‘suci’. Dan kejadian i
Avonturir | Reader | Writer