Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Spiderman

Beberapa hari ini leher kananku terasa gatal. Aku tidak pernah melihatnya di cermin atau mencoba mencari tahu mengapa. Karena aku membayangkan bahwa besok pagi ketika bangun tidur, tanganku bisa lengket ke dinding, lalu tiba-tiba aku merayap di atap rumah. Aku menjadi spiderman. Tapi jika memang aku memiliki kekuatan super, aku akan ikhlas menerimanya. Tentu saja, menjadi kuat dan keren, bisa melakukan apa yang tidak bisa manusia biasa lakukan; its cool. Berbeda dengan manusia kebanyakan adalah berkah yang kini digunakan motivator untuk kliennya. Kita semua orang biasa, yang kadang ego membuat kita sok menjadi orang luar biasa padahal palsu. Kita rata-rata akrab dengan seorang lelaki biasa, memiliki istri biasa, anak lima, 2 nakal, 1 pasif, 1 penurut, 1 paling bisa diandalkan. Atau kalian adalah mahasiswa biasa yang berdebar-debar ketika pembayaran semester akan dimulai. Maka ketika lelaki biasa, mahasiswa biasa, tukang bangunan yang membenahi kusen jendela, at

Ruang Kelas

Pikiran-pikiran manusia intelektual perguruan tinggi di Indonesia mudah ditebak : kubus, berisi coretan yang tidak teratur, keras seperti kursi kayu, pendiam seperti anak semester satu. Pikiran-pikiran kita dibatasi hanya 8 x 9 meter dan tidak boleh keluar dari ruangan itu. Dosen setuju dan merasa aman jika pikiran seluruh anggota kelas tidak liar, mengikuti metode yang telah dipatenkan dengan argumentasi kaku yang tak (boleh) terbantahkan. Semua berjalan sesuai dengan kontrak kuliah, dan yang boleh melanggar kontrak hanyalah dosen. Keterlambatan mahasiswa adalah amunisi bagi dosen untuk marah sepanjang 3 SKS pertemuan, yang akhirnya membuat seluruh kelas terlihat bodoh dan terancam. Sedangkan keterlambatan dosen bisa dimaklumi; dosen itu sibuk dan banyak aktivitas yang tidak bisa dikalahkan oleh ruang kelas. Pendidikan semacam ini adalah versi terbaik dari yang pernah didapatkan mahasiswa sepanjang masa. Untungnya, perjalanan kuliah semacam itu sudah dilaksanakan sela

Lelaki Harimau

Sinopsis Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.” Overview Judul novel ini begitu sastrawai, termasuk kisah di dalamnya. Sastrawi dalam pemahaman saya adalah gambaran karya fiksi Indonesia yang bisa membuat pembaca tidak hanya menikmati kisahnya, tapi juga mengagumi gaya kepenulisannya, dan yang paling utama, menakar penulisnya dalam kancah sastra nusantara. Maka dari itu, sulit bagi sebagian besar sastrawan menimbang sosok Andrea Hirata atau Tere Liye sebagai sastrawan; keduanya adalah novelis, sama seperti Denny JA yang bersusah payah membuat ‘puisi-esai’ yang dikagumi sebagian

Era Digital; Kembalikan Pendidikan ke Orang Tua!

Mendikbud, Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP saat memantau hari pertama sekolah di Abepura, Papua (sumber : Siaran Pers BKLM di https://www.kemdikbud.go.id/ ) Pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan membahayakan. Setiap kita bicara tentang dunia pendidikan, rasa pesimis dan kecaman selalu ada. Nasib para siswa ini, mirip dengan siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dalam film Tare Zameen Paar bernama Ikhsaan Awasthi. Ikhsaan bernasib buruk karena gangguan dyslexia , yaitu ketidakmampuan membaca seperti yang banyak diharapkan guru dan orang tua. Setiap dia melihat tulisan dan angka, semuanya berubah menjadi bintang di langit dan bebek yang berenang di kolam. Di sekolah maupun di rumah, ia dituntut dalam perkataan yang sama: harus bisa membaca dan menghitung! Apa yang dialami ikhsaan, dialami juga oleh seluruh siswa kita, bahkan siswa yang sehat secara fisik dan mental. Ahli pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, ketika mengisi ce

Bilangan Fu

Pertama-tama, membaca bilangan fu adalah keinginan yang sudah lama tapi tertunda. Pernah sekali –sekali meliriknya di toko buku ketika masih kuliah di tahun 2011, bahasanya menarik, kisahnya seperti ‘lelaki banget; tetapi harga bukunya mahal; akhirnya tak terbeli. Kini di sela kesibukan yang sangat sibuk, aku membacanya dengan gaya tergesa, berharap besar, dan sering mengulang membaca karena beberapa kali tersilap dengan kisah yang tiba-tiba sampai di suatu tempat yang asing dan berbeda. Di samping sekeranjang kelebihannya, novel ini tentu punya kelemahan di bagian narasi. Bagiku, narasi dalam sebuah novel menjadi sesuatu yang mutlak karena karya sastra harus melesat di benak pembaca, mengubah dengan lembut kecerdasan bahasanya, dan nikmat serta mengalir dalam pembacaannya. Aku lebih banyak mengulang karena satu hal: ingin lebih paham apa yang dimaksud penulis dengan berbagai pertarungan wacana yang ingin dibangun, dan lompatan kisah yang ke sana kemari. Jadinya, membaca n

Bahasa

Abad ini, filsafat lebih banyak dipenuhi dengan debat persoalan bahasa. Dan persoalan bahasa yang paling mendasar adalah kegagapan manusia mengutarakan peristiwa dengan kalimat yang cacat. Misalnya, menggunakan kalimat-kalimat bertendensi dan judgement dalam ujaran keseharian maupun pemberitaan media massa. Penelitian tentang penggunaan kata, kalimat aktif-pasif, keberulangan, font khusus, penggunaan bold atau italic , hingga penyediaan ruang di media massa, sudah banyak dilakukan; tetapi hal-hal semacam itu merupakan aktivitas yang sulit dipahami oleh masyarakat umum sebagai kesalahan penggunaan bahasa. Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa memahami apapun tanpa bahasa. Menurut Heideggar (Ahmala, 2013) language is the house of being - bahasa adalah rumah bagi manusia. Artinya, dengan menggunakan bahasa kita bisa paham maksud dari tempat tinggal kita di dunia ini. Tanpa bahasa, kita akan kesulitan berkomunikasi dengan sesama manusia, juga kita tidak a

Pencarian

Saya pernah mencari-cari kebenaran ini, dan tidak mendapatkan pencapaian apa-apa kecuali keyakinan bahwa kebenaran itu seringkali abstrak. Abstrak yang saya maksud bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami atau bahkan sesuatu yang tidak ada. Saya berfikir, kebenaran itu hadir dalam setiap diri manusia, tetapi manusia tidak mampu melihatnya dengan baik karena keinginan berfikirnya yang selalu berada di zona aman. Karena keraguan ini membuat kebenaran mengabut, lalu kita hidup seperti begitu saja tanpa mempertanyakan kebenaran lagi. Doktrin Protagoras, yang menyebut bahwa ‘manusia adalah ukuran segalanya’ mungkin bisa meyakinkan bahwa kebenaran itu ambigu. Jika ukuran segala sesuatu adalah manusia, maka setiap individu bisa menggunakan ukuran tertentu yang berbeda-beda. Russel memiliki interpretasi yang agak menyengat untuk memahami doktrin Protagoras. Katanya, doktrin itu bersifat skeptis yang didasarkan pada indera yang cenderung menipu (Russel, 2016). Maka kita bisa maklum

Kebenaran

Banyak jalan yang harus ditempuh menuju jalan kebenaran. Tetapi tidak banyak orang yang mau menempuhnya, semata-mata karena kita tidak suka dengan kebenaran itu sendiri. Ketidaksukaan kita cenderung tidak beralasan, terutama karena sebagai manusia, lebih banyak yang enggan berfikir dibanding manusia yang mau berfikir. Dan berfikir sendiri, adalah aktivitas paling sulit yang bisa dialami manusia, khususnya ketika membahas kebenaran itu sendiri. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia merupakan contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana kebenaran disempitkan artinya, dan dipaksakan untuk seragam kepada setiap warga. Kejahatan kata-kata yang dilakukan oleh beberapa akun di media social sangat menciderai kebenaran itu sendiri. Kasus yang dialami Ahok, Sukmawati, Rocky Gerung, hingga persoalan teroris, menjadi viral bukan karena kebenaran yang ingin ditemukan, tetapi karena kebenaran ingin dipaksakan kepada lawan. Kebenaran yang paling mudah disalahartikan yang kemudian d

Pendidikan

Saya percaya bahwa sistem pendidikan kita membunuh kreatifitas anak-anak yang berada di dalamnya. Menjadi paradox bahwa, anak-anak menginginkan sebuah pendidikan agar mereka bisa belajar tetapi pendidikan malah menjadikannya bodoh. Kita terus melakukannya berulang-ulang dan merasa baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena pendidikan – yang bertujuan untuk mampu memahami dunia lebih baik – tidak memiliki kemampuan praktis seperti ‘cara kaya dalam 2 jam’ atau ‘cara menikung pacar kawan dekat’. Perkara seperti ini tentu menjengkelkan, terutama bagi saya yang bekerja dan hidup dalam sistem tersebut. Namun ini adalah buah simalakama-nya pendidikan: kita tahu ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus kita tahu bahwa Indonesia ‘semacam’ belum siap untuk berubah. Parahnya, hal semacam ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, tetapi juga terjadi dalam lingkup yang lebih privat. Misalnya, kita berdoa agar diberi kemudahan rizki, tetapi pada saat yang sa

Ukuran Kebahagiaan

  Tuhan menciptakan kebahagiaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena itu, bahagia menjadi hak setiap orang. Bahagia tidak bisa dimonopoli oleh sebagian orang karena ukurannya yang universal. Sehingga bahagia tidak bisa diukur hanya berdasarkan hal-hal yang artificial, permukaan, parsial, atau kebendaan. Bahagia bukan berarti orang itu kaya atau keturunan Raja Salman. Orang yang tidur di kolong jembatan juga bisa merasakan kebahagiaan yang ukurannya sama 100% dengan orang yang tidur di busa empuk.    Dalam perjalanan ini, ukuran-ukuran kebahagiaan akan terus mengalami perubahan. Paling tidak itulah yang saya alami. Seperti prediksi psikologi tentang pilihan pasangan berdasarkan usia seseorang, kebahagiaan juga berkembang secara dinamis. Ketika kecil, kebahagiaan kita hanyalah bagaimana memenangkan permainan kartu dan kelereng. Di sekolah, ukuran kebahagiaan mungkin berbeda, bisa karena nilai yang bagus, bisa bertemu teman sepenakalan, atau bisa ju

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.