Umurku sudah seperti padi yang selesai di panen. Mataku suka berkaca-kaca, bibirku suka bergerak-gerak sendiri meskipun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun lebih tua dari diriku, tentu saja adalah sebuah pohon yang berdiri di pinggir desa Gelomi. Dulu pohon itu diberi nama Eloh dengan huruf E yang tidak boleh dibaca sehingga hanya ada suara “loh”. Huruf O di tengah kata itu dilafalkan seperti O yang ada pada kata “orang”. Loh, sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah desa Gelomi dan juga desa-desa lain disepanjang utara, Onomi, Katau, dan Lulaby. Namun sebagaimana kehidupan yang terus berputar, Loh yang sekarang juga demikian, sekarang dia bukan apa-apa. Yang menjadi saksi betapa gagahnya dia hanyalah orang-orang tua sepertiku, yang usianya sudah seperti padi yang selesai di panen. Bahkan istriku sendiri sudah lama meninggal bersama beberapa kawan seangkatannya. Dia meninggal duluan karena aku menikah dengannya yang lebih tua delapan tahun. Aku tidak tahu ceritanya, hany
Avonturir | Reader | Writer