Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Sebuah Pohon di Pinggir Desa

Umurku sudah seperti padi yang selesai di panen. Mataku suka berkaca-kaca, bibirku suka bergerak-gerak sendiri meskipun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun lebih tua dari diriku, tentu saja adalah sebuah pohon yang berdiri di pinggir desa Gelomi. Dulu pohon itu diberi nama Eloh dengan huruf E yang tidak boleh dibaca sehingga hanya ada suara “loh”. Huruf O di tengah kata itu dilafalkan seperti O yang ada pada kata “orang”. Loh, sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah desa Gelomi dan juga desa-desa lain disepanjang utara, Onomi, Katau, dan Lulaby. Namun sebagaimana kehidupan yang terus berputar, Loh yang sekarang juga demikian, sekarang dia bukan apa-apa. Yang menjadi saksi betapa gagahnya dia hanyalah orang-orang tua sepertiku, yang usianya sudah seperti padi yang selesai di panen. Bahkan istriku sendiri sudah lama meninggal bersama beberapa kawan seangkatannya. Dia meninggal duluan karena aku menikah dengannya yang lebih tua delapan tahun. Aku tidak tahu ceritanya, hany

Mendidik Papua Melalui Media

Salah satu fungsi media massa adalah sebagai pendidikan bagi khalayaknya. Jika suatu media masa tidak benar-benar mendidik maka dia tidak memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakatnya, juga tidak melaksanakan amanat dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 2009 pada Bab II Pasal 3 Ayat (1) yang berbunyi bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi seperti ini, bagi media massa yang ada di daerah-daeah dengan khalayak yang masih belum memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang baik, memang membutuhkan keberanian. Keberanian dalam artian, tantangan yang dihadapi oleh sebuah media massa sebagai perusahaan pers bisa terancam. Dengan biaya produksi yang lebih mahal, belum tentu khalayak akan menerima jenis pendidikan yang diberikan oleh sebuah perusahaan pers. Maka dari itu diperlukan berbagai macam penelitian dan survey pembaca sebelum memutuskan pendidikan seperti apa yang akan dilakukan oleh media massa dalam memberikan fu

Quo Vadis Motivasi

Banyak hal yang tidak terselamatkan dalam kehidupan ini. Banyak pula hal yang tidak tercapai,banyak orang gagal, banyak yang mati ditengah perjuangan. Tetapi orang yang positif terhadap kehidupannya masih sangat banyak, melebihi batas keyakinannya sendiri. Dia selalu mengelus dadanya dan berkata: sabarlah hatiku, kegagalan ini adalah sebuah jalan menuju kesuksesan. Tetapi tetap saja dia akhirnya gagal. Saya kemudian mengingat lagunya jamrud yang liriknya bertolak belakang dengan mindshet orang selama ini. Liriknya seperti ini : berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit dahulu senangpun tak datang, malah mati kemudian. Itu faktanya. Sungguh berbeda dengan lagunya Rhoma Irama yang optimis bukan? Bagaimana dengan buku-buku motivasi yang memuat fakta mengenai kekuatan harapan dan cita-cita? Bagaimana dengan kisah-kisah motivasi mengenai kekuatan sebuah mimpi sehingga mereka benar-benar menjadi orang besar? Juga bagaimana energi positif yan

Mempertanyakan "Utamakan Orang Asli Papua"

Hidup di Papua memang menyenangkan. Banyak hal yang menyenangkan daripada yang menyengsarakan. Tetapi lama kelamaan, aku agak sinis terhadap tuntutan dari setiap orang untuk mengutamakan Papua di atas segalanya. Kalimat-kalimat seperti : utamakan orang asli papua yang muncul dalam setiap pembahasan tentang kemajuan masyarakat ujung timur Indonesia ini, memiliki kelemahan yang fatal dari segi psikologis. Berdasarkan fakta kita bisa melihat bahwa bangsa Papua itu bangsa yang tertinggal. Hal yang menonjol adalah cara mereka menghabiskan uang dalam sekali pakai. Di daerah-daerah tertentu yang menjadi tempat pendulangan emas, seperti Timika, penduduk asli yang mendapatkan serpihan emas dan kemudian menjualnya seharga 2-5 juta, maka akan langsung dihabiskan dalam sekali pakai. Yang intinya dalam pemakaian tersebut, semuanya untuk bersenang-senang. Selama mereka tidak belajar menjadi orang modern, dalam artian yang sepositif mungkin, maka pengutamaan orang asli papu

Membuka Dunia di Papua

Pendidikan yang ada di Papua ini miris. Jika kita berfikir bahwa anak-anak yang putus sekolah itu hanya ada di pelosok Papua, terutama di Pegunungan, kita salah. Karena bahkan di Kota Jayapura sekalipun, yang notabenenya Ibu Kota Provinsi Papua, masih banyak kita temukan anak-anak yang tanpa malu-malu mengaku putus sekolah. Praktis, sekolah hanyalah milik segelintir orang. Di samping hal itu, bisa dikatakan kalau pendidikan di Propinsi Indonesia paling timur ini berjalan mundur. Mundur karena pendidikan pada masa sekarang amat berbeda kualitas dengan pendidikan di masa dulu, terutama ditunjukkan ketika masa belanda. Paling tidak 50 tahun yang lalu, pendidikan amat diperhatikan karena orang Belanda yakin hal tersebut bisa membuat orang Papua dipekerjakan –ironis tapi manis. Hal tersebut dengan gamblang disampaikan oleh beberapa tokoh adat maupun tokoh gereja ketika melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua. Dikatakan oleh mereka bahwa dahulu, orang Belanda membuat as

Bukan Komik Biasa

Hari ini bertumpuk-tumpuk buku ada di beranda, buku hasil sumbangan seorang donatur demi sekolah menulis yang akan segera beroperasi di Papua. Tentu saja ada perasaan bahagia yang besar di hatiku, persis dengan perasaan ketika kita mampu menyelamatkan tiga anak burung yang terjatuh dari sarangnya. Sebuah pesan singkat muncul lagi di hapeku, “Itu hanya tahap pertama, ini masih ada beberapa kardus besar yang di pak sebelum siap dikirim lagi ke Papua,”. Aku terpesona dengan bunyi sms tersebut, sekaligus berdecak kagum dan geleng-geleng kepala. Ada beberapa orang yang tanpa pertimbangan mengorbankan segala sesuatu untuk menyelamatkan sebuah generasi, dilain pihak, ada pula beberapa orang yang tanpa pertimbangan merampas hak mereka. Dari 12 kardus yang ada di depanku kini, sebagian besar berisi komik-komik dari Jepang yang sudah lama dikenal oleh orang Indonesia. Ketika ku susun, ada sepuluh tumpukan setinggi 1 meter. Aku kembali terpesona. Memikirkan tentang komik ini, aku kem

Lebaran : Eksistensi dan Substansi

Umat muslim telah merayakan lebaran. Meskipun di Kota Jayapura ini umat muslim masih tergolong minoritas, tapi perayaan lebaran tetap terlihat menonjol. Pertunjukan busana di jalanan seperti catwalk panjang yang memang sengaja diciptakan demikian. Dari tahun ke tahun tetap sama, kita berlomba untuk berhari raya, bersenang-senang, dan tentu saja kembali menabung apa yang hendak kita singkirkan jauh-jauh ketika Bulan Ramadhan : dosa dan kesalahan. Pada hari raya ini kita lebih banyak membicarakan diskon khusus pada banyak tempat. Dengan embel-embel lebaran dan ramadhan, penjual berlomba memancing munculnya jiwa manusia yang paling primitif, yaitu kerakusan. Disaat yang sama, ketika puasa ( shoum  = menahan) mengharuskan kita untuk menahan segala bentuk nafsu dan dosa, kita malah mengumbarnya. Berpuncak pada Hari Raya Lebaran inilah, kita bukan kembali pada fitrah manusia, tapi berpaling pada sifat hewani yang konsumtif tanpa pertimbangan. Ini semacam balas dendam karena kita mera

Papua dalam Bautan Ramadhan

Manusia, sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang unik sekaligus kompleks. Disebut sebagai makhluk yang sempurna, namun banyak yang perlu kita pertanyakan dari kesempurnaan tersebut –malah sebagian manusia menunjukkan kebalikan dari sempurna. Itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang ini. Kita sering meneriakkan kemerdekaan berfikir, kebebasan bersuara dan berkumpul, tapi dengan itu pula kita menggarong kebebasan orang lain. Hari ini misalnya, adalah bulan puasa yang penuh barokah dan banyak maghfiroh. Bagi kita yang muslim, ini adalah bulan yang menggembirakan. Di desa-desa kita mendengar bacaan alquran setiap hari mengalun merdu, dan diperkotaan tiba-tiba suara serak anak-anak berkumandang di masjid-masjid. Tidak ada yang aneh? Tentu tidak ada yang aneh karena kita muslim, hidup dilingkungan yang 100% penduduknya muslim. Kalaupun ada yang merasa terganggu dengan bacaan alquran yang keras berkumandang, maka kita akan lantang meneriakinya “kafir!”. Maka mereka

mengacau; aku kehilangan masa lalu

berbulan-bulan tidak menulis bisa membuatmu sakit dan gila. bahkan tanganku sekitar siku sampai jari-jemari sudah dalam tahap mengarat, yang kalau tidak melanjutkan tulisan, akan berakhir dengan terputusnya jari-jari sehingga terlihat seperti penyakit kusta. memang orang yang sudah terbiasa menulis lalu berhenti secara tiba-tiba itu seperti seseorang yang tengah menjalani terapi diet selama 1 tahun, lalu tiba-tiba satu minggu dia tidak bisa menahan diri untuk tidak makan makanan yang disediakan di sebuah rumah makan prasmanan, maka otomatis, perutnya akan kembali membuncit, pahanya kembali membesar, juga pembuluh darahnya akan menyempit dengan dramatis. maka aku, demi agar tidak mati kutu, otakku agar tidak mengendap seperti sampah di kali-kali, maka menulis lagi meski dengan sangat terpaksa adalah sebuah penyembuhan. ini semacam terapi kebuntuan, terapi yang dilakukan oleh seorang psikolog terhadap pasiennya yang sudah lama tidak berhubungan sosial. menulis sebagaimana yang kit

Cinta

Beberapa hari ini, mbak Dzikry, si penulis buku-buku cerita islami masa ketika aku masih kecil itu, sedang giat mencari referensi tentang cinta. Meskipun aku juga masih belum memahami secara benar bagaimana cinta itu, sedangkan pengetahuan datang bertubi-tubi tanpa bisa kita tangkap secara keseluruhan, maka aku juga masih punya hak dan kewajiban untuk menuliskannya. Membicarakan cinta, seakan kita sedang masuk ke dunia semua orang. Kita seakan menulis orang lain sedangkan kita belum pernah bertemu dengannya. Mengapa demikian? Tak lain karena semua orang mengenal cinta, merasakannya, tahu keberadaannya, tetapi saking personalnya cinta itu, maka kita memiliki pemikiran dan pengertian yang berbeda. Maka dari itulah menulis tentang cinta itu sulit. Sulit karena penulis harus bisa merangkum semua pengetahuan tentang cinta, bukan hanya menuliskan cinta yang berdasarkan pengalamannya, tapi cinta yang juga berdasarkan pengalaman pembaca, orang lain, bahkan berdasarkan kisah dalam bu

Midnight In Pare

Semasa kecil, ketika orang tuaku sibuk melarang anaknya agar tidak memakan sayap ayam, aku malah selalu mencuri-curi sayap tersebut. Mitos ini entah terjadi di seluruh jawa atau cuma terjadi di rumahku saja, aku tidak tahu. Setiap ada sayap ayam (jawa: suwiwi ) tersebut, ibuku akan menyembunyikannya. Menurut beliau, seorang jejaka atau gadis yang makan suwiwi akan menikah dengan orang yang jauh, dan beliau tidak mau jika anak-anaknya mendapatkan suami/istri di tempat yang jauh. Aku agak yakin bahwa ini merupakan pengaruh dari ayahku, karena ibuku terlihat tidak memiliki latar belakang mistis mengenai segala sesuatu, sedangkan ayahku adalah salah seorang keturunan pemelihara Jin. Tapi permulaan itu seharusnya salah, karena sekarang aku tengah melakukan perjalanan penemuan diri, bukan penemuan istri. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan suwiwi bersama mitosnya, hanya saja aku menganggap bahwa perjalanannku ini mungkin suatu saat, menghasilkan hubungan dengan banyak perempuan

Jika Bahagia Itu Sederhana

Beberapa hari yang lalu, juga hari ini, aku melihat ada banyak orang yang berfikiran yang sama, yaitu sebuah kesimpulan bahwa bahagia itu sederhana. Tidak tahu dari mana mereka menyimpulkan seperti itu. Yang aku bingungkan adalah mengapa hal tersebut diungkapkan dalam waktu yang bersamaan, maksudku, mungkinkah karena mereka melihat sebuah acara secara bersamaan? Dulu-dulu tidak satupun dari mereka yang menggumamkan hal tersebut. Kejadiannya seperti virus yang ditularkan oleh berbagai macam iklan atau film yang sedang ngetrend . Jadi bahkan, untuk menyimpulkan sebuah kebahagiaan saja, butuh semacam trend . Aku tidak tahu yang berada dalam lingkup lebih besar karena aku hanya membaca status-status yang terpampang di beranda facebookku. Apakah mereka –secara kebetulan adalah anggota penyala makassar- mengikuti grup motivasi yang sama? Kebahagiaan sungguh merupakan sebuah misteri, dia bisa saja sederhana, sesederhana sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan. Bahwa setiap kita

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.