Skip to main content

Kepada Masa Lalu

Aku mengenal satu perempuan dalam hidupku, yang menjadikanku mengerti tentang segala sesuatu selain membaca buku. Aku, tentu saja kurang sekali bergaul dengan beberapa orang yang memiliki ketertarikan terhadap dunia. Beberapa malam ini aku kembali memutar film dimana aku pernah hidup di dalamnya, dan menemukan bahwa dia termasuk tokoh terpenting dalam sejarah hidupku. Tokoh yang semoga suatu nanti ada yang menggantikannya dan tidak pernah meninggalkanku.

Ketika menulis ini, mungkin ada beberapa orang yang akan sakit hati karena kecemburuan. Tapi itu tidaklah penting, karena hidup memang penuh dengan sesuatu yang tidak kita senangi. Namun jika kita bisa mengkonfirmasi segala kesakitan tersebut, kita akan menemukan jalan keluar. Aku dengan perempuan itu, adalah salah contoh kesalahan komunikasi. Kami merasa saling mengintimidasi padahal kami berdua saling membutuhkan. Kami gagal berkomunikasi, itulah awal dari kegagalan sebuah hubungan.

Pertama dia merupakan perempuan yang paling diharapkan dari segi kesalehan dan kecerdasan. Aku pernah membayangkan bahwa dia hidup dalam sebuah komunitas di mana komunitas tersebut hanya mampu berbuat kebaikan, bahkan untuk memikirkan kejahatan saja merupakan suatu kejahatan. Dia juga persis apa yang dimitoskan dalam diri Gus Dur, seorang yang mampu mendapatkan nilai memuaskan tanpa harus bersusah payah. Intinya, dia saleh dan cerdas.

Kami saling mengenal, aku merayu, dan pada akhirnya saling melempar tanda sebagai sebuah start akan dimulainya segala sesuatu tentang kami. Tidak ada lagi aku atau dia, semuanya tentang kami. Hingga kami melakukan segala kebajikan bersama, atau keburukan bersama. Tapi bukan karena itu semua, dialah yang menguatkanku dalam separuh hidupku waktu itu.

Hidupku tidak semudah yang ada dipikiranku. Meskipun waktu itu aku menganut faham motivasi yang menyangka bahwa segala sesuatu bisa dilakukan hanya dengan memikirkannya. Tapi sesungguhnya dialah yang membuatku beruntung pernah hidup. Dia memberiku segalanya, perhatian, kasih sayang, uang, perjalanan, tidur yang nyaman, juga ketentraman. Kami berjalan bersisian tanpa tujuan, kami juga bersepeda berboncengan tanpa tujuan, bahkan pergi dari kota-ke-kota tanpa tujuan. Kami hidup dalam mimpi, aku hidup dalam mimpinya, dan dia hidup dalam mimpiku. Kami saling mendukung sebagai seorang sahabat, kami saling memberikan pengertian sebagaimana kekasih, dan kami saling membantu sebagaimana sebuah keluarga.

Apa yang bisa kau harapkan dari seseorag, begitulah dia bagiku. Hingga suatu hari kami harus memutuskan sesuatu untuk hidup lebih lama, untuk menikmati semua keindahan ini lebih lama. Aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik, dan dia juga dipenuhi ketergesaan. Kami memisahkan diri, memutuska jalan masing-masing. Mungkin dia merasa bersalah, namun diatas segalanya, sesungguhnya akulah yang paling bersalah. Dia perempuan, aku laki-laki, siapa yang patut dipersalahkan kalau bukan laki-laki?

Namun semua itu, baik kebersamaan ataupun perpisahan, memberiku banyak hal untuk dimasukkan ke otakku. Aku jadi mempelajari bagaimaa psikologi persahabatan, mempelajari bagaimana cinta sejati, mempelajari bagaimana sifat perempuan dan laki-laki. Semua menjdi terang, bahwa ini adalah salahku sebagai seorang lelaki, itu benar. Kami akhirnya benar-benar melakukan segalanya sendirian. Kami sama-sama pulang kepada jalan yang pernah kami kenal masing-masing ketika masih belum saling mengenal.

Ada banyak hal yang kusesali. Masa-masa ketika aku tidak membalas pesannya sama sekali dan sok sbuk dengan segala buku yang kubaca, sampai sekarang masih membuat pikiranku kalut. Itu adalah masa-masa terakhir kami, dan aku meninggalkannya jauh ke Pare. Aku tidak melarikan diri darinya, tapi aku melarikan diri dari kehidupanku sendiri, karena aku tahu bahwa masa depanku tidak akan bergantung pada kehadirannya lagi. Aku faham bahwa kami tidak akan bisa duduk bersama menikmati matahari sore sejak pertemuan kami yang terakhir, malam itu, di rumahnya, ketika aku marah karena kebohongannya. Pagi-pagi aku keluar rumah, dan sorenya mendapati bahwa ia mengigau lagi –aku menganggapnya sebagai kebohongan.

Mungkin jika di tulis, dia akan mampu menunjukkan ribuan kesalahanku tentang menjalin hubungan, berbanding denganku yang mungkin hanya akan menyebutkan sebanyak jemariku. Baik pertemuan awal ataupun yang terakhir, yang patut meminta maaf adalah aku. Aku telah mencemari setiap kesucian yang kami bentuk sejak kecil. Kami yang berdosa, kami yang tertawa, kami yang menikmati rerumputan hijau sepanjang perjalanan.

Ketika aku bangun sore ini, aku sadar bahwa ia telah memblokir semua hal tentangku. Dan aku juga sadar bahwa dia telah memberiku kehidupan. Ia telah datang padaku ketika aku masih menjadi seorang manusia polos tanpa pengetahuan. Tangannya masuk dalam ke tubuhku, membuka jendela-jendela, mengisi gelas-gelas yang kosong, juga membersihkannya dari sampah dan kecoa. Sekarang aku berdiri di sini, menjadi manusia yang mengenal dunia ini, lalu mencoba melupakannya. Apakah aku sudah gila?

Kini aku mengingatnya lagi meskipun ia tidak mungkin mengingatku. Aku menuliskannya, meminta maaf atas segala prasangkaku tentang keburukannya. Aku sadar bahwa ia telah menyelamatkan hidupku, dan mempersiapkan aku untuk masa depanku sendiri. Bersinarlah kau di sana. Ku yakin kita akan semakin jauh melangkah, aku meningalkanmu, dan kau meninggalkanku, tapi sesungguhnya, aku terus mendoakanmu agar menjadi jiwa yang tenang hingga kau kembali kepada kesucianmu –persis sebelum kita saling mengenal.

Jadi untuk yang terakhir, terimakasih. Terimakasih.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.