Skip to main content

Alat Komunikasiku Lumpuh

Maret tanggal 1, hari ini. Setelah ku putuskan bahwa pada maret ini aku harus melanjutkan perjalanan, kerusakan fatal terjadi pada hapeku. Aku tidak tahu sebabnya, tiba-tiba di pagi hari tanggal 1 Maret itu, tombol sms untuk huruf G-Z tidak berfungsi. Mataku berair, hatiku galau, urat syarafku mengetat –memikirkan bahwa ketergantungan manusia modern terhadap teknologi tidak bisa di ganggu gugat lagi.

Aku mengumpat keras-keras, dalam bahasa sehalus mungkin, lalu menghempaskan tubuhku ke kasur yang kebetulan, empuk sekali. Kuraba-raba hapeku, kucoba-coba lagi, kumati-hidupkan beberapa kali hingga pikiranku menyuruh membeli hape yang baru. Membayangkan perjalanan yang jauh, uang yang pas-pasan, antara hape dan perjalanan, mana yang aku pilih?

Kehidupan sosialku sedang membaik di Makassar karena bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Kesadaran ini kadang membuaiku untuk menghentikan petualangan, lalu menetap di sini. Kalau saja tidak kutampar pipi kananku, dan kuberikan pipi kiriku, maka aku tidak akan sadar bahwa ini adalah kamuflase perjalanan. Langkah yang sejak pertama kujejakkan menuju ujung timur Indonesia, tidak boleh mati di tengah perjalanan, seberapapun menggiurkan. Namun bagaimanapun, aku juga tidak akan meninggalkan kepercayaan sosial tersebut secara membabi-buta. Aku masih harus menyelesaikan sedikit pekerjaan penyuntingan buku Makassar Menyala yang seyogyanya selesai sebelum aku berangkat –tapi ternyata belum selesai.

Pesan di facebook menggema, pesan di grup fb juga mengalir, hapeku berbunyi tiap lima menit, dan aku tidak bisa menulis apapun untuk mereka. -_- apa yang harus aku lakukan? Sedangkan sesungguhnya, jika tidak ada kegiatan Penyala, aku adalah orang yang benar-benar sendirian tanpa teman. Yah, seperti sekarang, kepada siapa aku akan mengeluh? Tidak ada.

Bahkan sambil menulis inipun, hape ku matikan, lalu kuhidupkan lagi, berharap ia akan kembali normal dan menyayangiku layaknya seorang sahabat. Tapi nihil, bayangan pilihan yang benar-benar tidak masuk akal mengglinding pelan : membeli hape berarti harus mengurangi perjalanan besar-besaran. Dan aku tidak menginginkannya, aku tidak ingin melakukan perjalanan dengan masih menyisakan berbagai persoalan di Makassar. Apalagi nanti jam 14.00 ada pertemua Penyala Makassar yang aku tidak tahu tempatnya di mana.

Oh God, there are many promises, there are many plans, and You give me some choises which I don’t want to choose one of them. So what should I do? Pergi ke warnet hanya untuk mendapatkan informasi mengenai pertemuan nanti sore, dan mengabarkan kepada mereka bahwa aku sedang dalam masalah? Hah, yah, ide bagus. Tapi sebentar lagi Jumatan akan berlangsung, dan aku sudah berjanji kepada Hendra akan sholat di Al Markaz sekalian promosi Kelas Inspirasi.

Aneh sekali, aneh sekali. Hari ini adalah hari kebebasanku, Maret yang kutunggu, tapi malah menjadi Maret yang menggelisahkan. Ada rencana ke rammang-rammang, ada rencana ke Tanjung Bira, ada rencana ke Pare-Pare, ada rencana ke Tana Toraja. Fiuh, tentu semua hal tersebut nilainya lebih dari sekedar hape. Tapi apa yang bisa kulakukan? Bahkan sekarang, tanpa hape, aku menjadi buta arah. Hendra di telpon tidak aktif, Ikes di telpon juga tidak aktif. Ini menyudutkanku dalam kamar sempit dengan tangan terikat.

Aku mencoba restore ke setelan pabrik. Tapi aku lupa bahwa ini hal ini membutuhkan pasword yang tombol angka dan nomornya sudah tidak berfungs lagi. Oh, naas nian nasib hapeku ini. Mau kubuang sayang, mau dibawa, makan hati. Jadi, sebaiknya aku jumatan dulu untuk sekarang. Yah, aku jumatan dulu. Tidak di masjid Al Markaz sesuai janjiku kepada Hendra karena tempatku sekarang pindah, agak lebih jauh lagi –dan aku tidak bisa mengabarkannya kepada Hendra. Jadi aku tidak bisa menepati janjiku.

Selesai Jumatan, mungkin aku bisa berkunjung ke warnet. Mencoba menghubungi beberapa orang, dan dengan begitu semoga ada jalan keluar.

Oh Tuhan, aku masih belum bisa memilih, antara membeli hape dengan konsekuensi mengorbankan perjalanan, atau meneruskan perjalanan tanpa berkabar apa-apa kepada dunia nyata. Kepalaku kurendam di bak kamar mandi.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.