Skip to main content

Membicarakan Rammang-Rammang


Desa luas, yang hamparannya hanyalah padi dan pegunungan. Maukah kau hidup seperti mereka? Mungkin ketika kau baru menginjakkan kaki di pematang sawah, melihat betapa bening air telaganya, juga betapa hening kicau burung dan angin, kau sangat ingin hidup di sana. Tapi aku tahu itu adalah kebohongan dari manusia modern. Aku selalu tersenyum sinis jika mendengarmu mengatakan hal tersebut, karena bahkan aku yang jatuh cinta seketika kepada mereka, juga meragukan apakah aku ingin hidup di sana.

Itulah desa Salenrang. Kami berdua memasukinya ketika subuh berakhir di awan yang mendung. Mengambil beberapa potret alamnya, lalu meneruskan perjalanan untuk menemukan sesuatu yang tidak tahu apa itu. Temanku kali ini, adalah tipe teman yang banyak berprasangka kepada orang lain; termasuk kepadaku. Aku tidak tahu gagasannya seperti apa, tapi tentu aku memiliki gagasan sendiri untuk menikmati sesuatu. Jadi, menghargai gagasan orang lain adalah sesuatu yang sungguh, sulit namun luar biasa.

Terbebas dari seluruh prasangka yang kami pamerkan, dia adalah teman yang baik. Begitu singkatnya. Menaiki motor di tempat yang tidak ingin kau datangi untuk ke dua kalinya, musim hujan yang jahat, membawa kami kepada lumpur dan bebatuan tajam di kaki dan roda ban sepeda motor.
Sampai di sebuah jembatan (ketika mendengar cerita mengenai rammang-rammang, maka kau akan mendengar tentang jembatan ini dalam seluruh cerita, karena di sinilah semua petualangan akan di mulai) kami menitipkan sepeda motor itu. Langit masih gelap akibat mendung, kamera otomatis tidak pernah bisa bekerja dengan baik dalam mendung, jadi kami tidak bisa menghasilkan gambar yang bagus. Kecuali aku tahu cara kerja manualnya, mungkin itu adalah kesempatan emas. Sungai di bawah mendung itu seperti ular besar yang bersedih –begitu tenang dengan pohon bakau disepanjangnya.

Petualangan, jika boleh dikatakan begitu, bisa dinikmati dengan dua cara: air dan darat. Perjalanan menggunakan perahu tidak akan menguras tenagamu, tapi menguras uangmu. Dan juga, perjalanan melewati sungai adalah pilihan yang sangat menarik. Maka dari itu, tempat wisata selalu bisa menjadikanmu miskin seketika. Karena keindahan, jika tidak ingin bersusah payah menikmatinya, membutuhkan banyak uang. Dan uang selalu menjadi permasalahan bagi kami. Jadi berjalan kaki adalah pilihan yang utama. Lagian, temanku kali ini mampu menyombongkan diri dengan baik.

Begitulah perjalanan ini bermula. Aku sungguh menikmatinya, menikmati bagaimana diri yang selalu terpeleset karena batu-batu di tanah lempung tidak pernah bisa ajeg menopang kaki. Juga menikmati tatapan penduduk desa kepada orang asing yang selalu di sangka membawa uang banyak. Menikmati bagaimana pematang sawah itu persis seperti pematang di mana aku lahir. Menikmati bau rawa-rawa, juga bau tahi bebek dan ayam yang bisa membuat perutmu mual.

Di sinilah rinduku bersemi. Aku hanya ingin duduk di sana. Hanya duduk tidur-tiduran hingga tertidur sampai beberapa lama. Aku ingin menikmati, menghirup sebanyak-banyaknya udaranya, menyimpan selebar-lebarnya gambar di kepala, juga mengunjungi hatiku yang selalu kerasan di tempat asing. Tapi aku melihat temanku yang begitu bersemangat menjelajahi hutan. Ia seperti kesetanan, seperti menemukan gua emas yang selalu di idam-idamkannya. Jadi aku tak tega untuk memintanya berhenti sejenak, aku mengikutinya saja dari belakang.

Ketika aku hampir terjatuh, ketika kami melewati lumpur dan dia dengan gagah menceburkan diri bersama celananya sedangkan aku masih harus mengikis celanaku hingga selutut, ketika hasil kameraku lebih jelek darinya, ketika kami tersesat di hutan da hipotesaku salah, ketika kami hanya memandangi telaga yang birunya menipu sedangka kami tidak mau mandi; itu semua adalah bahan ejekannya kepadaku. Dan yang kulakukan adalah tertawa, menertawakan dia yang menertawaiku. Betapa aku mengenal perangainya.

Bahkan, aku harus menulis sebuah esai nantinya untuk menjelaskan pemikiran orang-orang yang seperti teman baikku ini. Karena itu bukan pikiran yang orisinil, ada banyak hal di kehidupan yang meracuninya.

Aku menjadi banyak mencatat hari itu, mengenai diriku sendiri, juga diri orang lain. Tentang tanah berlumpur yang kujejaki, juga langit mendung yang ku junjung tinggi. Bahwa sering, ada orang seperti aku dan hendra yang sok tahu mengenai segala sesuatu di tempat seperti itu.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.