Skip to main content

Cinta


Beberapa hari ini, mbak Dzikry, si penulis buku-buku cerita islami masa ketika aku masih kecil itu, sedang giat mencari referensi tentang cinta. Meskipun aku juga masih belum memahami secara benar bagaimana cinta itu, sedangkan pengetahuan datang bertubi-tubi tanpa bisa kita tangkap secara keseluruhan, maka aku juga masih punya hak dan kewajiban untuk menuliskannya.

Membicarakan cinta, seakan kita sedang masuk ke dunia semua orang. Kita seakan menulis orang lain sedangkan kita belum pernah bertemu dengannya. Mengapa demikian? Tak lain karena semua orang mengenal cinta, merasakannya, tahu keberadaannya, tetapi saking personalnya cinta itu, maka kita memiliki pemikiran dan pengertian yang berbeda. Maka dari itulah menulis tentang cinta itu sulit. Sulit karena penulis harus bisa merangkum semua pengetahuan tentang cinta, bukan hanya menuliskan cinta yang berdasarkan pengalamannya, tapi cinta yang juga berdasarkan pengalaman pembaca, orang lain, bahkan berdasarkan kisah dalam buku. Intinya, penulis harus tahu apa yang dituliskannya.

Cinta itu abstrak, immateri, intangible, untouchable, misterius tapi bukan sesuatu yang impossible untuk difahami. Karena ketakterlihatannya tersebut, maka kita bisa berdebat apapun tentang cinta, hingga serak tenggorokan, hingga menangis, dan kita tetap kuat di posisi masing-masing. Mempercayai cinta itu ada, seperti percaya kepada sesuatu yang tidak terlihat lainnya, sebagaimana percaya kepada tuhan, percaya kepada masa lalu orang lain, juga percaya kepada kekuatan tersembunyi dalam diri kita. Lagipula masih banyak hal yang tak tersentuh yang harus kita percayai, hanya bermodalkan percaya.

Lalu aku melihat beberapa dari kita yang memang enggan percaya kepada cinta. Ini agak menarik, aku melihat hal tersebut sebagai mekanisme perlindungan terhadap jiwanya. Persis rasa sakit yang melindungi tubuh kita dari kerusakan yang lebih parah. Misalkan ketika tidur ada api yang membakar dipan hingga merembet ke kaki kita. Jika tidak ada rasa sakit, maka kita tidak akan terbangun untuk mematikannya, tapi akan terjaga keesokan paginya dengan kaki setengah matang untuk sarapan. Begitu juga rasa kantuk, yang menjaga kita dari tidur mendadak saat menyetir mobil, menaiki motor, sehingga kita bisa beristirahat untuk tidur lalu melanjutkan aktifitas. Maka begitulah orang-orang yang tidak percaya kepada cinta.

Mereka bisa jadi adalah seseorang yang rapuh, yang mudah sekali jatuh cinta (bagi laki-laki) atau mudah sekali terbujuk rayuan gombal (bagi perempuan). Mungkin pada masa lalu ia pernah percaya kepada cinta, menyerahkan hidupnya untuk yang dicintainya, tapi tiba-tiba keadaan tidak membaik, malah jalinan cinta tersebut pudar dan menyisakan rasa sakit yang tiada tara –yang mereka beruntung tidak melakukan upacara bunuh diri. Setelah melewati masa berkabung, ia boleh mengenal cinta lagi, merayakan cinta dengan orang baru, lalu pada suatu hari di musim hujan, ia di khianati karena kekasihnya bergandeng mesra dengan orang lain. Orang-orang inilah yang kemudian tidak percaya lagi kepada cinta, menjadi apathis, dan muak dengan segala macam perasaan tentang hubungan lawan jenis.


Namun di atas semua itu, sesungguhnya ia masih percaya, hanya saja, pengalaman tidak mengajarinya demikian sehingga ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak percaya, hanya agar hatinya tidak lagi terjebak, hanya agar dirinya tidak merasakan sakit yang sama. Inilah mekanisme perlindungan jiwanya, yang rapuh. Entah untuk sampai kapan, yang ia tahu adalah, nanti segala sesuatunya akan tiba. Dan bagi orang lain yang juga tidak percaya kepada cinta, mungkin hanya belum belajar tentang cinta. Ia belum tahu bahwa cinta merupakan sesuatu yang bisa dibuktikan –dilihat dan dirasakan. Karena bahkan sesuatu yang abstrak seperti ini, sudah bisa dijelaskan dengan teori layaknya ilmu pengetahuan yang lain.

Aku sebagai pemuda yang percaya kepada cinta, kadang-kadang harus mereka-reka sendiri bagaimana seseorang dikatakan jatuh cinta, atau bagaimana aku menandai diriku ketika sedang jatuh cinta. Pernah suatu kali aku membuka diskusi tentang cinta di sebuah forum chat, yang anggotanya sudahlah mahasiswa, ada yang master, ada yang sudah menikah, dan seseorang lebih tua, sudah menikah, yang paling bijak diantara kami, memberi saran ke salah satu anggota yang akan menikah, bahwa “dalam perkawinan, kita tidak cuma butuh cinta. Tapi kita perlu komitmen, kesetiaan, pengertian, komunikasi…” aku langsung berfikir, maksudku, mengelus dada, mengapa kesimpulannya bisa seperti itu. Dan ia yakin sekali mengucapkan hal tersebut, sekaligus meyakinkan orang-orang lain.

Yang ingin kukatakan adalah, bahwa komitmen, setia, pengertian, komunikasi yang baik itu adalah unsur pembentuk cinta. Jika salah satu dari unsur tersebut berkurang, maka berkurangpulalah cinta tersebut dari kesempurnaan. Banyak orang dari kita menganggap bahwa cinta itu sama artinya dengan kemesraan yang berbau seksual. Ini sebenarnya tidak salah, hanya kita kurang berfikir holistik untuk mengatakan sesuatu tentang cinta. Kita masih parsial, memahami dari sudut-sudut ruang yang miskin, padahal cinta sendiri itu sungguhlah energi yang kaya. Tuhan saja, menciptakan dunia ini dengan energi cinta, dan dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa cinta bisa berubah, dari satu bentuk ke bentuk lain, tapi tidak bisa musnah (maaf tidak ada hubungannya).

Maka kita mesti merekonstruksi ulang pemikiran kita tentang cinta. Paling tidak, bagi kita yang merasa sudah final dengan kehidupan ini. Berbeda dengan Mbak Dzikry yang meskipun sudah menikah namun masih terus mencari-belajar tentang cinta, orang lain justru menganggap bahwa masa cinta yang bahagia berakhir ketika kita sudah menikah. Lihat saja joke-joke di televisi, kemudian film yang mendapat perhatian besar seperti The Hangover 1 & 2, yang membuat gambaran bahwa menikah adalah berakhirnya masa muda yang bahagia, masuk ke dalam rutinitas yang membosankan, terkurung dalam janji dan komitmen, dan sebagainya-dan sebagainya. –sebagai referensi baca Why Men Lie by Barbara & Allan Pease

Aku membaca buku Mengikat Makna-nya Hernowo sekilas-kilas, lalu menemukan tulisan yang kurang lebihnya : pandangan mata atau berita yang didengar yang bisa melahirkan rasa senang disebut ‘Aliqa, apabila melebihinya sehingga terbetik untuk mendekat maka dinamai Mail. Dan bila keinginan itu mencapai tingkat kehendak untuk menguasainya maka dinamai Mawaddah. Bila seseorang bersedia berkorban atau membahayakan dirinya demi kekaksihnya dinamakan Al ‘Isyq. Sedangkan jika cinta telah memenuhi hati seseorang sehingga tidak ada lagi tempat bagi yang lain maka dinamakan At Tatayum. Jika ia tidak lagi dapat menguasai dirinya atau tidak mampu lagi berpikir membedakan sesuatu akibat cinta maka keadaan ini dinamai Walih.

Semua kata di atas, adalah tentang cinta. Aliqa, mail, ‘isyq, tatayum, semuanya adalah cinta, hanya kualitasnya saja yang berbeda. Tulisan di atas bisa menjadi pengetahuan yang berharga bagi kita yang belajar tentang cinta. Karena kata-kata dalam bahasa arab tersebut telah di bagi berdasarkan tingkatan kualitasnya oleh Ibnu Qayyim Al Jauziy, yang bisa pula kita terapkan saat kita menghadapi situasi cinta.

Saya dulu menyangka bahwa anak muda sekarang, yang suka pacaran, itu bukanlah cinta. Seorang jejaka yang selalu keluar rumah ketika seorang gadis pujaannya lewat, itu bukan cinta. Seorang gadis yang menunggu sms-sms pacarnya juga bukan cinta. Apalagi tipikal anak muda sekarang yang mengatakan cinta hanya karena tertarik denga fisik pasangannya, sungguh itu bukan cinta. Semua hal tidak kukatakan cinta kecuali sudah melampaui tiga tahap seperti yang ditulis oleh Sternberg (1) : intimacy, passion, dan commitment. Namun semua buku ini akhirnya merubah pandanganku tentang cinta sama sekali. Aku menjadi lebih faham, dan dalam beberapa kasus, menyelesaikan perselisihan beberapa adik tingkat yang sedang galau dan stress akibat ketidakmengertian mereka tentang cinta, juga menambah pengetahuanku.

Semuanya adalah cinta, atau lebih tepatnya awal dari cinta. Ketika anda terpukau dengan kecantikan seseorang, maka buatlah komitmen kepadanya bahwa kalian akan hidup bersama hingga tua, hidup nyaman sebagaimana anda dengan sahabat-sahabat anda. Jika anda telah menemukan seorang yang sangat mengerti anda (bisa jadi itu sahabat anda sendiri), maka buatlah komitmen kepadanya untuk saling menjaga hingga tua bersama, besarkan anak-anak dengan penuh cinta. Dan jika anda yang sudah berkomitmen kepada seseorang yang terlanjur di pasangkan oleh ortu, maka temukanlah hal-hal yang bisa membuat kalian bersatu seperti seorang sahabat, mulailah saling memahami, dan berjanji hingga tua bahagia. Maka semuanya bisa menjadi awal dari cinta sejati yang didambakan oleh setiap orang.

Seorang gadis cantik pernah mengatakan kepadaku akan ketakutannya kepada setiap orang yang mendekatinya. Apakah orang tersebut datang karena kecantikannya? Atau datang murni karena cinta? Ternyata dia sadar bahwa dia cantik. Aku tersenyum, lalu berkata seperti seorang ahli dakwah “jangan takut. Jika seseorang mencintaimu karena kamu cantik (dalam hal ini mengarah kepada segala sesuatu yang berbau hormonal -passion), maka itu adalah awal kebahagiaan kalian. Tinggal kau melengkapi bagian yang lain, yaitu bagaimana kalian bisa saling merasa nyaman sebagaimana sahabat (intimacy), dan melanjutkan ke tahap berikutnya; menikah (commitment)” jika anda sudah memiliki ketiganya, maka sempurnalah cinta kalian.

Kita yang tidak cantik, tidak kaya, tidak tampan, tidak gagah, tinggi semampai, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan fisik, cenderung menilai buruk kepada orang lain yang lebih tampan atau cantik. Kita biasa mengungkapkan “biarlah dia cantik, tapi hanya luarnya” dan dengan begitu menganggap diri sendiri lebih cantik secara rohani. Ini bukan sesuatu yang untuk di olok-olok. Semua ada bagiannya tersendiri. Jika anda cantik secara fisik, maka perbaikilah sikap dan hati anda karena kecantikan fisik tidak dibutuhkan saat anda tua. Dan bagi anda yang cantik akhlaknya, beruntunglah anda, dan semoga mendapat pasangan yang ganteng imannya.

Dari sini, aku sangat percaya bahwa cinta itu bisa dipelajari oleh siapa saja. Bahkan cinta harus disengaja, harus dibangun, diperbaiki, diperbarui, sebagaimana kita dengan rumah kita. Cinta memiliki bagian-bagiannya, jika kita tidak menyempurnakannya, maka kita tidak akan merasa nyaman di dalamnya.  Maka dari itulah, aku juga setuju kalau kita tidak jatuh cinta, tapi membangun cinta. Paling tidak itulah yang di ajarkan dalam agamaku. Bahwa kita tidak diperbolehkan pacaran, semata-mata agar kita membangun cinta dengan seorang pasangan seiman yang tiba-tiba hadir, hidup bersama kita, berbagi rahasia, dan saling melayani. (ada film Fireproof yang wajib di tonton oleh seorang laki-laki agar bisa membangun cinta).

Dengan kepercayaanku tersebutlah, aku bisa merencanakan kepada siapa aku akan jatuh cinta, dan bilamana harus terjadi, saat aku terpaksa membenci orang yang kucintai.


Ket :
(1) Teori Segitiga Cinta oleh Stenberg bisa dibaca di sini : Menyibak Cinta

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.