Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

Memutus Intoleransi di Negeri (Paling) Beragama

Menjelang Natal, umat beragama di Indonesia pasti digaduhkan dengan isu-isu intoleransi. Isu ini berputar pada pelarangan pemakaian atribut Natal, pelarangan pengucapan ‘selamat Natal’ dari muslim kepada umat kristiani, bahkan sampai pada isu larangan pelaksanaan Natal. Meskipun sangat disayangkan, tetapi kondisi tersebut belum menggambarkan keseluruhan cerita intoleransi di Indonesia. Masih banyak kasus intoleransi yang tidak diketahui orang awam sehingga belum menjadi agenda penting bagi banyak kalangan untuk memutus rantai intoleransi tersebut. Wahid Foundation yang concern di bidang penelitian toleransi beragama, mencatat adanya ratusan peristiwa intoleransi di Indonesia. Tahun 2016, misalnya ada 315 kasus intoleransi. Tahun 2017 turun sedikit menjadi 265 kasus, dan tahun 2018 meningkat lagi menjadi 276 kasus. Tiga aktivitas intoleransi tertinggi adalah pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan, penyesatan agama, dan pelarangan aktivitas. Adapun pelaku dari tindakan intole

Pemuda: Puja-Puji di Era Disrupsi

Berbicara tentang pemuda dan prestasinya di tingkat dunia, kita cenderung akan pesimis. Layaknya berbicara tentang pendidikan, olahraga, kreativitas, dan teknologi, kesemuanya membuat pandangan langsung menunduk. Padahal dalam sedetik kita searching di mesin mencari internet, akan ditemukan banyak prestasi mengesankan yang diraih oleh pemuda Indonesia dari tahun ke tahun. Belum lagi 23 pemuda Indonesia yang masuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia di tahun 2019 yang sukses membangun ekonomi digital, atau pahlawan olahraga yang mengharumkan bangsa selama Asian Games 2018. Masih banyak alasan agar kita membanggakan pemuda Indonesia dengan prestasinya yang luar biasa. Bahkan jika kita memasukkan Nadiem Makariem dan Ahmad Zaki sebagai pemuda, maka betapa spektakulernya pemuda Indonesia. Banyak orang mengharapkan masa depan Indonesia gemilang karena surplus demografi yang akan diterima Indonesia di tahun 2030-2040 mendatang. Hampir 64 persen warga negara ini akan berusia produk

Intelektual Retoris

Kaum intelektual mendapatkan posisi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di manapun, golongan terpelajar dan terdidik ini memperoleh perlakuan khusus dengan dongengan bahwa mereka mampu memecahkan masalah dengan cepat, tepat, dan obyektif. Kaum intelektual dijadikan tim ahli anggota dewan, dijadikan penasehat di pemerintahan, juga diberi alokasi waktu khusus untuk berbicara sebagai ahli di berbagai media massa. Secara singkat, kaum intelektual adalah permata bagi negeri di manapun ia berada. George Orwell, penulis asal Inggris yang terkenal dengan novel “Animal Farm”-nya, memperjelas posisi penting kaum intelektual dalam kalimatnya yang menarik; “Rakyat jelata secara keseluruhan masih hidup di dunia yang baik dan jahat absolut, yang mana kaum intelektual telah lama melarikan diri” . Ia beranggapan bahwa kaum intelektual telah terbebas dari masalah dikotomi kehidupan yang hanya ada hitam dan putih, salah dan benar, malaikat dan iblis. Bisa jadi itu adalah pernya

Nadiem dan Pendidikan Berbasis Industri

Beberapa hari ini nama Nadiem Makarim meroket. Headline media massa, opini di berbagai platform media, hingga meme di media sosial, semuanya membicarakan sosok menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan jabatan strategis yang berkaitan dengan harapan rakyat Indonesia akan pendidikan berkualitasa, bukan sekadar persoalan anggaran yang besar dan kewenangan yang luas. Masyarakat tampak lelah melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dari negara lain. Karena itu tidak menjadi soal apakah menterinya seorang professor atau seorang praktisi, hanya prestasi yang membuat menteri dibanggakan. Seperti yang diketahui, jabatan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya diisi oleh profesor -yang merupakan jabatan tertinggi dunia akademik- juga seorang mantan rektor —yang merupakan jabatan tertinggi di struktural perguruan tinggi. Tetapi apakah mereka telah membawa pe

Mahasiswa Baru; Sebuah Transformasi Intelektual

Menjadi mahasiswa semakin digemari, bukan hanya karena intelektualnya yang mumpuni, tetapi juga karena gengsi. Orang tua, om, tante, kakek, dan nenek, sudah menyadari bahwa menyekolahkan anak hingga jenjang kuliah sudah menjadi kewajiban. Kuliah menjadi semacam standar sosial baru di lingkungan kampung yang sarjananya masih bisa dihitung jari. Apalagi di daerah Jawa Timur masih didominasi oleh pedesaan sehingga sarjana memiliki potensi dihormati yang tinggi. Di kampung, sarjana tidak hanya dipandang mampu mengurusi persoalan yang sesuai dengan jurusannya. Seorang sarjana Ilmu Komunikasi tidak hanya dituntut untuk bisa mendesain banner atau menjadi MC suatu acara, tetapi ia juga harus bisa memberikan komentar soal hukum jika ada anggota keluarga yang berurusan dengan polisi. Seorang sarjana pertanian bisa jadi diminta berdoa di pernikahan saudara. Sama dengan sarjana teknik arsitektur harus bisa membenahi handphone dan printer jika rusah. Kondisi ini bisa dianggap lucu, tet

Membangun Sustainable Tourism di Malang Raya

Masyarakat modern tidak lagi menganggap wisata sebagai kebutuhan tersier yang hanya dilakukan satu tahun sekali ketika musim liburan. Wisata saat ini merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh –terutama- generasi milleneal dan seluruh anggota keluarganya. Moment wisata bersama keluarga sudah menjadi agenda rutin yang akan terus-menerus menghidupkan potensi ekonomi penduduk yang tinggal di kawasan wisata. Tinggal bagaimana konsep wisata ini dikemas sehingga menyedot perhatian publik di seluruh Indonesia. Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang, misalnya telah sukses menjadi tempat penyelenggaraan Advocacy Horizontal Learning (AHL) pada Agustus 2019 lalu. Seluruh anggota Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) terpesona dengan cara Pujon Kidul menyulap area persawahan menjadi ikon wisata di Malang Raya. Tentu saja konsep itu tidak sehari jadi, tetapi membutuhan waktu bertahun-tahun dengan konsistensi memegang visi desa. Bahkan di tahun 2017, Desa P

Sarjana dan Problem Manusia Dewasa

Banyak hal di dunia ini yang membutuhkan keberanian. Beberapa hanya keberanian di level remah-remah rengginang, misalnya berani mandi di pagi hari, berani bertanya di dalam kelas, atau berani beol ketika sedang naik gunung. Beberapa hal lainnya membutuhkan keberanian level sultan, seperti menjadi sarjana dan pada akhirnya adalah menjadi dewasa. Kita akan menanggung beban beserta semua konsekuensinya sendirian –tidak ada manusia lainnya yang bisa kita jadikan kambing hitam. Menjadi sarjana adalah sebuah kesalahan. Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Mengapa sarjana bersalah? karena sebagian besar sarjana di dunia ini akan berakhir menjadi sampah; sebagian lainnya memunguti sampah-sampah tersebut lalu membuangnya ke laut; dan sebagian kecil lainnya mengais sisa-sisa sampah di laut untuk dihancurkan atau diolah menjadi barang berguna. Kondisi ini tampaknya bombastis dan halusinasi –terutama bagi saya- sebagai pengajar perguruan tinggi, tetapi percayalah itu kondisi sebenarn

Gunung Penanggungan

Kami melakukan perjalanan dengan penuh keyakinan di suatu Sabtu. Tentu setelah browsing tentang jalur pendakian, estimasi waktu, dan biaya ditambah sedikit drama karena ketidaktepatan janji. Mata menyala, otot menguat, dan teriakan seperti remaja kota, kami seakan hendak mencari sebuah kebijaksanaan yang berada di puncak gunung; barangkat dari sana kami akan menjadi resi yang sakti mandraguna. Tetapi sebuah perjalanan sakral sekalipun akan terkotori dengan pertanyaan-pertanyaan profan. Misalnya, untuk apa sebenarnya kita naik gunung? Atau dengan siapa kita harus naik gunung? Dengan pacar atau teman? Itu pertanyaan remeh yang harusnya tidak usah ditanyakan karena malah membuat perjalanan sangat duniawi. Kami sepakat untuk tidak yakin dengan jawaban klise semacam; naik gunung untuk mencari jati diri, atau naik gunung untuk belajar tentang kehidupan. Karena itu, tanpa perhitungan yang matang, 10 bungkus mie instan kami masukkan ke tas carrier yang penuh dengan baju hangat.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.