Skip to main content

Tentang Melakukan Perjalanan

dinding bertulis; pintu masuk perpustakaan UI

Banyak alasan untuk melakukan perjalanan. Bagi beberapa orang, mungkin untuk popularitas di masyarakat luas, yang lain lagi, mungkin karena tuntutan pekerjaan –menjadi wartawan wisata, atau sedang melakukan tugas penelitian yang di danai pemerintah maupun swasta, yang lain lagi, mungkin sedang melakukan hobbi yang tidak bisa dibendung. Alasan yang terakhir inilah yang awal kali membakar tubuhku. Dan semua alasan itu sah selama mereka tidak merugikan orang lain. Juga, perjalanan adalah sesuatu yang mubah, semua orang bisa menamakan kehidupannya sebagai sebuah perjalanan, tidak peduli apakah mereka melintasi kota-pulau, atau melintasi batinnya.

Perjalanan hanyalah akan berakhir pada kematian. Karena di sana kita bisa menemukan beragam kematian yang tidak kita duga, mulai kematian diri sendiri, hingga kematian akal sehat. Kita akan bisa berulang kali mendapati tubuh kita mati, otak kita mati, dan bahkan kesadaran kita menghilang. Namun berketerbalikan dari itu semua, kita akan selalu bisa, bahkan pada setiap langkah kaki kita yang tersandung batu, menemukan kembali diri kita yang baru, yang sebelumnya tidak pernah ada –yang secara ajaib, Tuhan membuat manusia yang lain dalam tubuh kita.

Aku tidak pernah mengira bahwa akhirnya aku bisa melakukan perjalananku sendiri, perjalanan yang sejatinya tidak pernah aku rencanakan karena ketidaktahuanku akan makna sebuah perjalanan. Selama ini aku mengira bahwa sebuah perjalanan hanyalah untuk menguji kualitas diri, semacam uji survival dalam menempuh kehidupan. Just it, not else. Aku mendewa-dewakan akan kemampuan perjalanan dalam membentuk dan mengetahui spirit manusia. Namun sejatinya, aku tidak pernah tahu bagaimana perjalanan bisa membuat seseorang benar-benar berubah.

Dahulu, bersama arbimapala, kami dibakar oleh semangat Gie dengan filmnya yang idealis, juga lagu-lagunya yang membuat dada kami mengembang. Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu, ku akan menakhlukkan malam, dengan jalan pikiran. Sampaikanlah pada bapakku, aku mencari jalan atas semua keresahan-keresahan ini, keglisahan manusia, retaklah, malam yang dingin.. Berbagi waktu dengan alam kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka teki malam, tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka teki kekadilan. Akan aku telusuri jalan setapak ini, semoga kutemukan jawaban.

Maka aku kemudian, sedikit demi sedikit, memaknai setiap perjalananku. Dari satu tempat ke tempat lain, ada sebuah janji mengenai sejarah yang akan aku tuliskan. Aku mengingat beberapa orang yang sempat memberikan ruang hidupnya untuk kucecap, dan yang sekarang aku ingat –meskipun bukan yang terpenting, adalah dari Deddy Corbuzier, sang Mentalist itu, ketika ia membawakan acara Hitam Putih. Dalam program question in the weeknya, ia bertanya kepadaku; jika seseorang menulis tentang dirinya sendiri, seberapa tebal buku yang menulis tentang dirimu?

Maka aku terkesiap dengan pertanyaan itu. Tentu saja, perjalanan yang kulakukan, meskipun telah cukup melelahkanku, tetap saja belum cukup untuk membuat buku hidupku setebal apa yang aku inginkan. Aku terus mengira-ngira, apakah memang harus setebal itu buku yang menulis diriku?

Tidak, jawabanku tidak memuaskan diriku sendiri, meskipun buku tebal menulis tentang diri kita, aku tidak berani menjamin bahwa aku akan mencapai batas maksimal pemahaman mengenai hidup. Lalu apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itulah yang mula-mula selalu menyelinap dalam alam-malam tidurku. Aku gelisah karena tidak bisa mendapat jawaban yang aku inginkan. Kegundahan itu, akhirnya ku tumpahkan dalam sebuah tulisan fiksi tentang seorang lelaki yang juga melakukan perjalanan karena kegelisaha yang sama. Maka selama aku belum beranjak dari tempatku berdiri –waktu itu- aku akan terus membuat diriku sendiri menjadi manusia fiksi. Hingga empat puluh lembar kemudian, aku baru bisa memulai lagi perjalanan yang kuinginkan.

Penyadaran

Entah, mungkin satu tahun yang lalu, ketika saya ke Yogyakarta, saya bertemu dengan Muhammad Al Fayyadl. Tentu saya sangat bergembira sekali, melihat seseorang yang tulisan-tulisannya selalu membuatku terpukau. Tapi dia tidak tahu siapa aku, tentu saja, orang besar selalu seperti itu, tidak mengerti bagaimana seorang pemuda yang penuh mimpi tengah mengaguminya. Meskipun demikian, dia orang istimewa. Yang membedakan dia dengan orang lain adalah tentang tanggapan-tanggapan yang dia lontarkan dalam menyikapi perbedaan yang ada dalam kalangan penulis.

Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka, seperti mendengar keajaiban-keajaiban. Itu mungkin terlalu mengada-ada, tapi ketika kita tengah berada di tempat orang yang baik, sedang pada waktu itu dunia sedang tidak ada baiknya sama sekali, maka kita akan diberikan kesan yang luar biasa. Satu hal yang kemudian membuatku terus ingin mengenang peristiwa itu adalah; bahwa dia satu-satunya orang yang tidak pernah berfikir negatif kepada politik sastra. Aku terkaget-kaget. Aku tidak mengingatnya persis, namun yang pasti, aku sadar, bahwa pemikiran pertama-tama yang harus aku “perjalankan” adalah prasangkaku yang kadang buruk terhadap sebagian orang atau sebagian peristiwa. Maka aku menulis dalam salah satu statusku,

10.46 salah satu bentuk kegagalan diriku sendiri adalah, ketika aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semua orang itu baik, lalu aku tidak percaya.

Maka perjalananku kali ini adalah membersihkan diriku dari sifat tersebut, entah aku akan menjadi penulis, atau hanya menjadi lelaki petani yang menanam kopi di tanah toraja. Semua hanyalah sarana, dan sarana itulah sebuah perjalanan yang harus kutempuh. Jadi, jika aku kembali dari perjalanan ini, pulang, dan aku masih tidak bisa membebaskan diriku dari sifat itu, maka berarti perjalananku gagal.

Pada suatu hari yang lain, aku bertemu dengan teman lama di surabaya. Kami bermalam di salah satu warung kopi lalu berbicara panjang lebar mengenai teman-teman kami yang lain. Dari sini kemudian, aku merasa bahwa aku, dan kawan-kawan karib sekampusku dulu, telah hidup ke dalam prasangka buruk dan kebencian yang mendalam. Namun waktu itu, memang aku merasa bahwa kebencian adalah satu-satunya hal yang bisa membuat kami berdiri di kaki sendiri, membuat kami terus memegang kebenaran, karena tidak ada kebenaran lagi selain yang hitam.

Malam itu, ditemani berteguk minuman keras, kami  berbincang terus menerus. Aku menguak satu-persatu, dari sisi orang lain, dari sisi yang benar-benar berbeda, tentang diriku sendiri, dan juga teman seperjuanganku. Aku seperti mendapatkan cahaya baru ditengah kepercayaan pada diriku sendiri yang meluntur pelan-pelan. Aku merasa tidak menjadi apa-apa selama ini. yang dari dulu begitu menggebu tentang nilai-nilai, tentang menjadi baik, juga seperti ingin menyebarkan kesadaran baru layaknya sang juru selamat, dan ternyata sekarang aku tersungkur sendirian. Mereka memang patut dibenci, tapi apakah aku harus membenci?

21.19 tuhan jika aku masih menyimpan kebencian terhadap peristiwa atau terhadap seseorang, tamparlah aku dengan peringatanmu. karena aku percaya, kebencian hanya akan membuatku tersesat dalam pekatnya diriku sendiri.

Sungguh, pada akhirnya aku juga harus menyingkirkan perasaan macam begini. Ini satu-satunya jalan untuk membuatku percaya bahwa aku berhasil dalam melakukan perjalanan. Pada saatnya, ketika aku pulang, maka aku akan dengan bangga menceritakan perjalananku, betapapun tipisnya catatan itu, bahwa aku telah mencapai tujuan perjalananku. Tuhan, aku hanya berharap, saat ini, memang aku tidak memiliki harapan yang lain selain itu, dan tidak kepada yang lain selain kepadamu.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.