Skip to main content

Menonton dan Membaca


Saya menyadari dari dulu, tapi tidak benar-benar sadar bahwa ini teramat penting terhadap kesadaran saya sendiri; begitu juga kesadaran penonton yang sering kecewa terhadap film tertentu.

Sudah lama sejak novel Ayat-Ayat Cinta dimunculkan menjadi sebuah film bioskop yang menyedot perhatian yang luar biasa. Waktu itu aku masih di MA. R. Mutaabbidin, sebuah sekolah islam yang juga terkena sindrom booming ayat-ayat cinta. Semua orang berlomba menonton film ini, dan berhubung di kota saya tidak (belum) ada bioskop, maka saya dengan sabar menunggu –hingga suatu hari, sekolah itu mengadakan nonton bareng tidak resmi di pusat bahasa.

Kecewa. Begitulah perasaan saya ketika melihat film itu dari menit pertama. Saya mencoba mencocok-cocokkan edisi buku dengan filmnya yang ternyata jauh berbeda, dan itu membuatku geram. Apa gerangan yang dibuat sutradara ini? Tanyaku pada diriku sendiri, sementara teman-temanku terisak sedih melihat kisah cinta mereka yang ‘suci’. Dan kejadian ini adalah pertama kali aku membanding-bandingkan antara film dan buku. Yang pada selanjutnya, semakin banyak buku populer, dan semakin banyak pula yang diadaptasi ke dalam layar lebar.

Dari sekian banyak film adabtasi itu, kesemuanya menimbulkan kekecewaan berat kepada penonton yang sudah membaca edisi bukunya –tak terkecuali film harry potter dan the davinci code. Kejadian mengecewakan ini masih juga terjadi pada film popular terakhir yang tayang pada 12 Desember 2012 ini; 5cm. setelah membaca bukunya, dan membandingkan dengan filmnya, kita akan cenderung mendecak malas sambil berkata : “ckckck… yah, filmnya bagus sih, meskipun tidak sebagus bukunya…!”

A writing
Only in a novel are all things given full play –David Herbert Lawrence

Tidak ada yang bisa mengalahkan tinta seorang penulis dalam menciptakan dunia baru, kecuali oleh Tuhan yang menciptakan dunia itu sendiri. Maka penulis adalah tuhan yang hidup dalam imajinasi seorang pembaca. Ia menciptakan sebuah cerita yang tidak hidup bergerak untuk dilihat atau didengar, tapi cerita itu hidup dalam imajinasi. Cerita yang telah ditulis tidak lagi hidup dalam tulisan itu, namun hidup dalam alam yang lain, alam yang hanya disadari oleh seseorang ketika ia membaca tulisan tersebut.

Itulah keajaiban sebuah tulisan. Maka sebagai pembaca, kita kadang-kadang berasa hidup di alam lain ketika menyelsaikan sebuah novel fantasi. Saya pernah merasakan bagaimana sakitnya dipenjara (Count Monte Cristo), bagaimana rasanya menjadi gila karena kehidupan begitu kotor (Papillon), juga pernah menjadi seorang pemuda pemimpi yang bisa menakhlukkan sebuah dunia (Laskar Pemimpi). Kita seakan-akan ikut merasakan setiap apa yang dirasakan oleh tokoh dalam setiap buku yang kita baca. Maka benarlah, bahwa dengan tulisan kita bisa memanipulasi pikiran manusia lain.

Membaca karya sastra, terkhusus lagi membaca novel, kita dituntut untuk membacanya dengan cermat. Dalam arti membaca satu persatu kata yang tertera, tidak meloncat-loncat sekedar ingin mengetahui awal dan akhirnya saja. Jika kita melakukan itu, maka kita akan benar-benar mendapatkan peraaan bagaimana tokoh itu merasakan perannya –meskipun tokoh itu benar-benar fiksi. Dan bahkan, kita bisa mengetahui bagaimana perasaan penulis ketika menuliskannya. Karena no tears in the writer, no tears in reader. No surprise in the writer, no surprise in the reader –Robert Forse. Hal inilah yang akan menjadikan novel sebagai karya yang bernilai tinggi.

A Movie

Jika kita menganggap bahwa seluruh yang ditulis bisa difilmkan, maka mungkin terjadi perbedaan sudut pandang dalam menilai ‘bagian terpenting’ sebuah buku. Maka kita patut kecewa terhadap sebuah film yang based on novel. Itu bagian paling optimis yang bisa kita lakukan jika lagi-lagi ada sebuah film yang mengadopsi cerita novel dan menurut kita tidak sesuai. Karena sutradara, atau bahkan penulis skenario, memiliki sudut pandang tertentu mengenai bagian mana dari sebuah novel yang patut ditayangkan dalam film.

Perkara yang lain tentu saja mengenai hal teknis, yang dalam masalah ini tidak bisa kita paksakan. Saya pernah membuat script film yang saya dasarkan pada salah satu cerpen yang ada di koran nasional. Dan sayangnya, itu sulit sekali karena ; seorang penulis script film harus bisa menulis sejelas-jelasnya, yang andaikan ada orang yang membaca script film kita, orang itu bisa melihatnya dengan jelas. Baik itu segi musiknya, pencahayaan, juga kostumnya. Dan hal yang penting lagi adalah, apakah kita memiliki alat, bahan, budget dana, untuk melakukan hal itu. Maka kita tahu betappa sulitnya seseorang yang membuat film berdasarkan novel itu.

Film juga harus memperhatikan hal yang lebih terperinci dari hanya sekedar membuat seorang aktor/aktris memerankan karakter tertentu. Coba kita bandingkan ketika kita menulis seperti ini : seorang lelaki yang berpakaian lusuh, menenteng sebuah komputer bekas seberat 50kg. Itu adalah komputer zaman 70-an yang belum populer. Maka untuk membuat film yang hanya terdiri dari satu take itu saja, seorang produser harus mempersiapkan “aktor, pakaian lusuh, komputer klasik seberat 50kg, juga harus riset mengenai komputer zaman 70-an itu seperti apa, lelaki itu harus ditampilkan dengan make up lusuh, juga cahaya redup dari sisi kiri, berada di jalan atau disebuah tempat pembuangan akhir, dan lain-lain”.

Melihat catatan kecil yang kemudian menjadi rumit jika diaplikasikan ke dalam film tersebut, kita sebagai pembaca-penonton akan faham bagaimana kerja keras sutradara. Sehingga sebuah novel ketika akan diaplikasikan ke dalam layar lebar, sang sutradara akan memilih dengan cermat adegan/scene mana saja yang bisa di pakai, karena tentu saja tidak semua adegan bisa di filmkan begitu saja. Untuk itulah saya buat catatan ini, agar kita tidak lagi kecewa dalam menonton film hasil adabtasi novel yan telah kita baca.

Lalu solusinya adalah, kita harus bisa memisahkan antara seni membaca buku, dan seni menonton film. Karena kedua hal tersebut sangat berbeda, dan kita telah tahu perbedaannya di atas. Demikian, selamat menonton dan membaca kembali.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.