Skip to main content

Menjalin Pertemuan

Tiba-tiba, seakan waktu menarikku kembali kepada masa lalu. Aku mengigau dari tidur panjangku, 12 jam di dataran tinggi Bulusarung. Bangun dengan keringat penuh, sedangkan teman yang baru aku kenal selama 3 hari ini itu harus memakai dua jaket dan selimut tebal –dingin sekali malam ini.

Ku lepas kaos biruku untuk menantang dinginnya malam. Di luar, malam pekat seperti biasanya. Hutan ini terasa ramai, hewan-hewan kecil yang kami koleksi sejak kemarin membuat bising seluruh penghuni kamar. Aku sendirian, dan aku pernah merasakan hal ini ketika berada di gunung bromo. Sendirian, dingin, lapar, dan seperti orang asing yang sedang mencari suaka, aku terlantar.

Setelah itu aku tidak bisa tidur lagi. Aku terus berada di luar sambil mendekapkan kedua tangan yang kupunya, seakan ingin kumiliki seribu tangan yang bisa menutupi seluruh permukaan kulitku yang telanjang. Entah ada partanda apa, aku seperti ingin pulang, tidak pernah aku merasa semendadak ini. Pikiranku yang ingin terus mengembara, kalah dengan keheningan total yang kurasakan malam ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang harus aku selesaikan di luar sana? Atau di luar pulau ini?

Kuhitung jam yang bergerak menyerupa daun jatuh. Tik tok, tik tok, seperti jam dinding yang kesepian. Kuhampiri temanku, melihat betapa pulasnya ia tidur, seakan tidak ada yang mengusiknya sama sekali. Aku tidak tahu apa yang sedang kufikirkan, padahal esok pagi, aku harus menyelesaikan penjelajahanku pada petak ke 51 dari hutan seluas 1.400ha ini. Semua ada 90 petak, dan aku hampir menjelajahi 2/3 dari seluruh hutan. Oh, malam yang dingin, adakah yang ingin kau sampaikan kepada hatiku yang malang?

Malam yang mulai beranjak, jam yang lama berjalan, membawa semburat merah jingga di kejauhan. Aku melihat sinarnya yang kemuning, dan itu tetap saja indah. Tidak, tidak, aku harus segera menuntaskan apa yang ada di hatiku, aku harus menuntaskan apa yang membuatku gundah. Di sini tidak ada alat komunikasi yang bisa dijangkau. Tidak mungkin hapeku bisa di hubungi. Dan aku ragu untuk melanjutkan perjalanan menapaki hutan ini. Setelah matahari terbit, aku akan menelusuri jalan menuju ke bawah, semoga aku bisa sampai pos terakhir sebelum malam menemukanku. Aku harus ke pulau Jawa.

*

Aku tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, dini hari pukul 03.40. Sebuah taksi berawarna orange meluncur dari kejauhan lalu berhenti tepat di depanku. Aku menunjukkan sebuah alamat, tepatnya nama kampus, lalu duduk diam hingga tertidur. Empat jam berikutnya, aku sudah dibangunkan dan mendapati diriku berdiri di depan stasiun listrik Universitas Indonesia. Ada enam puluh tiga pesan di hapeku sejak aku keluar dari hutan di Maros kemarin. Anehnya, aku tidak mendapat pesan darurat satupun. Sungguh, jika begini, aku tidak bisa lagi percaya pada hatiku.

Hanya ada satu pesan yang datang dari seorang perempuan yang membuatku datang ke tempat ini, dan itupun bukan melalui hape, tapi melalui facebook. Ah lelaki, selalu bisa mempertaruhkan segalanya demi perempuan –bahkan perempuan yang tidak ia kenal sama sekali.

Aku datang ke stasiun itu, masuk ke dalamnya seakan-akan aku telah lama tinggal di sana. Tas ranselku kutitipkan ke petugas berseragam, lalu mencari kamar mandi terdekat. Kutenggelamkan kepalaku ke bak mandi beberapa detik, mencuci seluruh tubuhku, membasuh luka-luka di kaki akibat duri tajam semak belukar. Lalu dengan berlagak menjadi orang yang benar-benar baru, aku keluar kamar mandi dengan ekspresi yang bersuka cita.

Ku pakai kaos hijau hadiah dari komunitas backpacker di Lampung beberapa bulan yang lalu. Kaos yang selalu berucap “backpacker, besar dan dewasa di jalanan Nusantara”. Dan aku tersenyum setiap mendengar kaosku berbicara kepadaku.

Aku menuju ke perpustakaan UI yang gaungnya telah sampai ke dunia internasional tersebut. Ini adalah perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara. Aku bisa membayangkanya sebagai sesuatu yang besar dan sombong. Tentu kuberharap besar pada perpustakaan semacam ini, andaikata mahasiswanya juga terbilang hebat. Yah, UI adalah representasi dari Indonesia secara umum, maka jika aku ingin melihat bagaimana hebatnya Indonesia, aku cukup melihat itu dari kampus ini.

Maka sampailah aku di pintunya yang besar, disambut dengan tulisan aneka bentuk dan aneka bahasa hingga aku tidak bisa mengenalinya. Aku melirik ke kanan-kiri, kanan-kiri, dan memilih duduk di sofa yang melingkar mengelilingi meja-meja kayu hitam yang artistik. Ku keluarkan laptopku, membuka facebook, berharap ada pesan dari perempuan itu. Aku bergumam sendirian, ia tidak mengirimiku pesan lagi. Kemanakah dia? Di ruangan bagian mana?

Ku duduk saja di sana sambil memainkan laptopku, juga memainkan imajinasiku. Ku pandangi setiap perempuan yang aku perkirakan seperti dia. Macam orang kebingungan di tempat asing, atau seperti perempuan yang mencari seseorang yang bisa di tanyai –tapi ia selalu ragu untuk bertanya, juga bisa seorang perempuan yang sibuk mempermainkan hapenya, seakan-akan dia tidak sedang kebingungan.

Ku melihat wajah-wajah. Perempuan pertama berlalu, wajahnya tidak seperti yang aku lihat di fotonya. Ah, kenapa foto perempuan itu selalu tidak simetris? Seperti ingin menyembunyikan kecantikannya, tapi, tentu, tentu saja foto-foto itu bisa mencuri kencantikanmu. Perempuan berikutnya, berwajah oval dengan mata agak berbinar sedang memainkan hapenya sambil berjalan. Lalu dua orang yang lain serentak menyergapnya dari belakang dan mereka tertawa-tawa. Ah, tentu bukan dia.

Yang lain lagi, ku lihat seorang perempuan dengan senyumnya yang terus terpasang membaca buku tebal berwarna coklat di sofa agak jauh dari tempatku. Ah, mungkin dia, tapi dari struktur wajahnya, dia berbeda dengan perempuan yang aku kenal dari facebook itu. Dia membalik bukunya, lalu mencatat sesuatu, membalik bukunya lagi, lalu mencatat lagi. Dia tentu mahasiswi UI yang rajin ke belajar…

Kualihka panganku ke seorang gadis yang berdiri memandangi lekuk-lekuk kayu berukir yang berada di tengah-tengah ruangan. Dia mungkin sekali perempuan itu, ya, kuletakkan laptopku di meja, lalu berjalan mengarah kepadanya, tiba-tiba suara perempuan di belakangku menghentikanku, aku tekejut, berdebar, lalu menoleh kepadanya; dia cantik, bermata sipit, tersenyum… “Kak, jangan meninggalkan laptop di sini, khawatir hilang”. Aku tersenyum pula dan mengucapkan terimakasih, dan gadis yang tadi hendak kuhampiri telah hilang.

Akhirnya aku merampungkan beberapa puisi, lalu berjalan lagi. Tas ranselku kutitipkan kepada petugas perpustakaan yang berada agak ke dalam. Aku naik ke lantai dua di mana buku-buku di pajang. Sepanjang perjalanan itu, aku terus memperhatikan perempuan yang aku berharap perempuan itu juga memperhatikanku. Tapi tak satupun, tak seorangpun yang memperhatikanku. Kenapa semua orang di sini tidak begitu tertarik denga orang lain? gejala apa ini?

Perempuan berjilbab ungu berdiri bersandar pada dinding di luar ruangan. Ia membaca buku berwarna hitam dengan serius. Di sampingnya ada komputer yang biasa di jadikan “search engine” untuk mencari koleksi buku di perpustakaan ini. Maka aku mendekati komputer itu sambil menduga-duga bahwa dialah perempua yang ku cari. Sambil mengetik buku karangan Tere Liye, aku melirik buku yang di baca gadis itu. Itu buku matematika, ah, tidak mungkin perempuan perawat itu membaca buku matematika.

Terus saja aku melewati lorong-lorong yang bisa ku lalui. Menaiki lift, turun ke lantai dasar, naik lagi dari tangga, berjalan-jalan, dan menilik beberapa perempuan yang aku bayangkan sebagai perempuan itu. Ah, hm… sulit sekali mengenali seseorang yang tidak kita kenal. Semoga aku tidak gila atau semacamnya.
Akhirnya aku keluar dari perpustakaan, memandangi danau luas dengan percik airnya yang kemilau tertimpa sinar matahari. Sudah siang. Kuberjalan menelusuri pinggiran danau itu hingga berakhir pada sebuah kantin. Ku akan menunggu keajaiban perempuan itu sambil makan siang, barangkali saja dia lapar dan beruntung kami bisa bertemu di kantin. Aku bisa mentraktirnya ice cream, kopi latte, teh caramel, atau juga air putih.

Di kantin yang tidak terlalu lebar itu aku memesan segelas kopi susu cappucino, lalu makan lontong sayur, dan sebagai penutup aku memesan ice cream dengan sirup dari lidah buaya. Lidahku rasanya mencair mendapati kenikmatan ice cream di tengah hari yang panas kota Depok. Huh, kemana lagi aku harus mencarinya. Pesan di facebook itu hanya “aku hari Selasa minggu ini akan berada di perpustakaan UI”. Dan aku mengirim balasan tapi tidak ada tanggapa sama sekali. Bagaimana aku harus mencarinya?

Ku buka laptoku, menulis semua kejadian yang telah terjadi. Mengungkapkan semua yang ada, juga beberapa kekesalan karena kita seperti mencari ikan berwarna gelap ditengah kolam yang ikannya berawarna hitam.

“Ya ya, lelaki bodoh. Aku adalah lelaki bodoh yang pergi begitu saja dari Makassar menuju Jakarta, berlari ke Depok, demi mau menemui seorang perempuan yang bahkan kami tidak pernah bertemu, hanya bertukar pesan lewat pesan facebook, dan bahkan aku tidak tahu dimana dia berada. Bukankah ini perpustakaan terbesar se Asia Tenggara? Itu berarti, kau sama dengan mencari seorang perempuan dengan mengelilingi seluruh perpustakaan di Asia Tenggara ini. Wahai diriku sendiri, fahamkah kau dengan kejadian ini? Sebaiknya kau pulang, menemui Ibumu, dan meminta maaf karena telah melakukan kebodohan yang teramat sangat”

Aku bernafas lega setelah mengungkapkan itu. Aku tersenyum sendiri, menyadari betapa kebodohan hampir memenuhi setiap jiwa lelaki jika bertemu dengan perempuan. Oke, aku menutup laptopku dan berniat mengakhiri petualangan gilaku ini.

Aku membayar makananku, lalu masuk ke perpustakaan untuk mengambil tas ranselku. Kunci kuberikan kepada petugas, dan aku masuk ke dalam untuk mengambil tasku. Tasku yang berat. Saat aku berdiri, perempuan itu tepat berdiri di depanku hendak mengambil tasnya. Aku berdiri saja memandanginya, sejenak terkesiap, dan menjadi patung. Mungkin dia tersadar ada seorang lelaki bodoh dengan tas ransel berat di sebuah perpustakaan yang sedang memandanginya. Ia melirik pelan-pelan, lalu sembari menarik tasnya keluar dari kotak coklat itu, ia hampir berteriak...

Kelanjutannya ada dua macam, sad ending, dan happy ending. Tapi lebih baik kalau membaca yang sad ending dahulu. Klik di bawah ini :
1. Sad Ending
2. Happy Ending

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.