Skip to main content

Kota Kenangan


Aku hidup dalam kota kenangan. Aku yang sekarang di sini, adalah karena aku pernah hidup dalam kenangan yang sama seperti ini. Sekarang hanyalah perpanjangan waktu dari kenangan yang telah menciptakanku. Aku menjadi mengingat kenangan kecilku. Masa yang jauh, dan sejauh kenangan yang pernah aku ingat adalah ketika aku memberikan kapur ke putting susu Ibuku, agar aku ‘dengan sengaja’ berhenti menyusu. Lalu aku memulai perjalananku sendiri, yah, perjalanan pertamaku dengan sepeda ontel kesayanganku, ke suatu desa yang asing, menapaki jalan pembatas antara desa dan bengawan solo yang kiri kanannya berupa semak dan ilalang. Aku takut, tapi keindahan menapaki setiap senti otakku, aku harus melintasinya, demi ketakutanku sendiri.

Kemudian kenangan-kenangan yang lain berlarian. Kenangan masa terindah, kenangan masa terburuk, masa menjengkelkan, masa menyenangkan. Kota-kota kenangan yang tersaji begitu kilat, aku selalu flash back ke kota kenanganku. Kota-kota ini yang harus aku simpan rapat-rapat guna suatu hari nanti –aku sepertinya sadar bahwa kenangan itu berharga. Aku banyak melakukan perjalanan, perjalanan fisik yang membuatku darahku naik ke kepala, membuat jantungku berdegub. Ini bukanlah perjalanan spiritual yang diinginkan oleh orang-orang yang bijaksana. Aku hanya melakukan perjalanan dengan sungguh-sungguh. Hanya melakukan perjalanan saja. Tidak ada niat lain yang tersembunyi. Hingga aku melarungi gunung, juga mengelilingi pulau-pulau eksotis. Berdiam di pantai, hutan, dan gubuk-gubuk buatan sendiri beratap batang padi yang baru selesai di panen.

Aku juga hidup di sebuah dusun yang dikelilingi air yang tak pernah habis. Kemanapun harus menggunakan sampan. Dan rawa-rawa yang kuhuni itu mengajarkanku banyak mengenai berenang, mengolah sampan, dan tentunya mencari ikan. Kemudian datang dari desa menuju kota melewati ketakutan akan cara hidup dan tetek bengeknya. Berkeliling menggunakan ontel yang telah sekarat, dari kota kelahiranku hingga ke Surabaya, Malang, dan kembali ke kotaku melalui Kediri dan Jombang. Itu adalah kenangan, dan aku hidup di dalamnya.

Ingatan memang menjadi perjalanan yang mengasyikkan untuk menyelami kembali siapa diri kita dimasa lampau. Dan dari ingatan ini pulalah kita mendefinisikan diri, mencoba mengetahui apa minat dan bakat, lalu menyusun cita-cita. Jika kita sekarang telah merasa hidup tegak, ingatan dari kenangan masa lalu akan meluruskan niat kita. Ia akan mengenangkan kembali kepada masa yang putih, yang disana tidak ada sentimentil terhadap kehidupan. Kenangan adalah hal paling jujur yang bisa didapat manusia. Kita tidak perlu cemas bahwa kenangan kita akan dicemooh, karena ia sudahlah berlalu. Dan kenangan itu telah mati terpendam dalam kota sejarah, suatu kota yang hanya ada di beberapa catatan, foto-foto, prasasti, dan cerita lisan.

Namun itu semua adalah sebuah ingatan yang tidak bisa dipercayai. Sesuatu yang mustahil memang tidak untuk dipercayai, apalagi ini bukan masalah iman kepada yang esa. Ingatan itu subyektif, ia tidak pernah sama dengan ingatan orang lain –meskipun kejadiannya persis sama. Dan ia tidak secara lahir terlihat oleh panca indera, yang dari sini menyebabkan, suatu ingatan sangat mudah untuk dimanipulasi. Ia bisa saja benar atau bohong, dan bagiku yang telah hidup dari ingatan satu ke ingatan yang lain ini, keadaan tersebut menjadi kesulitan yang teramat sangat. Pada suatu titik, aku pernah meragukan kenanganku sendiri. Apakah aku pernah hidup di kota itu? Bahkan, aku harus membuktikannya kepada diriku sendiri, apa yang harus aku lakukan? Padahal kenangan itu abstrak, bagaimana aku harus kembali mempercayainya?

Beruntung jika kita memiliki dokumentasi yang otentik terhadap setiap kenangan. Karena dari sana kita akan bisa dipercaya, bahwa kenangan yang kita bawa adalah benar. Dari sana juga akan melahirkan kejujuran. Karena sekali lagi, ingatan siapakah yang bisa dipercayai? Bahkan diri sendiri, kalau meragukan kenangannya, dengan apakah kita akan membuktikannya?

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.