Skip to main content

Kebahagiaan

Too many people are thinking of security instead of opportunity. They seem to be more afraid of life than death - James F. Bymes
Tanpa sadar kita kadang-kadang membayangkan kebahagiaan yang ingin kita miliki esok ketika dewasa. Jika kita masih remaja, jiwa-jiwa masih begitu hebat mengendalikan seluruh emos hingga menapakbatas cakrawala. Masa remaja menjadi awal dari seluruh cita-cita pada akhrnya. Ia bagai gumpalan magma gunung berapi yang mengendap hingga mencapai puncak didihnya yang paling tinggi, lalu, ketika mendapatkan jalan satu titik saja, ia akan menerobos dan menciptakan bunga api yang berpijar ke seluruh penjaru. Jalan-jalan dengan sendirinya terbuka, muncul ribuan titik serupa di sisi yang lain yang akhirnya pijaran menjadi semburan lahar yang menyapu seluruh benda yang menghalangi.

Dimasa remaja tidak ada pikiran untuk menyerah karena keadaan yang papa. Kebodohan tidak menjadi soal, kemiskinan tidak terpikirkan, penderitaan makanan sehari-hari, yang ada hanyalah berjuang, berjuang mendapatkan apa yang diinginkan selama ini. Masa itulah yang sebenarnya dikatakan hidup. Karena semenjak kita dewasa lalu menikah, kita akan kehilangan seluruh kesempatan untuk berfikir bebas. Perubahan jiwa dari remaja ke dewasa menuntut banyak sekali kewajiban-kewajiban yang menjadikan jiwa lemah. Kewajiban-kewajiban yang dimaknai sebagai beban inilah yang menjadikan orang-orang lelah. Kebahagiaan itu hal yang subyektif, begitupula sedih dan penderitaan.

Bagaimana bisa kebahagiaan dan penderitaan di maknai sebagai hal subyektif? Saya sepenuhnya membaca dari buku “meraih kebahagiaan” kang Jalal yang luar biasa membuka pikiran mengenai arti bahagia dan derita. Mari membuat contoh. Metamorfosis yang kerap menjadi permasalahan adalah menikah. Guru-guru saya, demikian juga orang tua, yang mengetahui cita-cita anaknya demikian besar dan menjulang tinggi, mereka tidak akan memperbolehkan menikah dini. Menikah dijadikan halangan untuk menjadi orang besar, dijadikan kambing hitam untuk tidak mampu menjadi luar biasa. Ia serasa dengan tanggungan dan kewajiban yang membebani kehidupan. Apakah dikeluarga anda juga demikian?

Dilain pihak, keluarga teman saya, seorang ikhwan malah berfikir sebaliknya. Mereka menganjurkan agar cepat-cepat menikah untuk :disamping membentengi diri dari kemakshiatan, juga agar dalam perjalanan ada seorang istri/suami yang mendampingi, saling menguatkan dan bertukar motivasi.

Kita akan bisa membayangkan dua keluarga yang berbeda tersebut akan menapaki jalurnya masing-masing dalam hal pernikahan. Menikah adalah hal yang obyektif, dalam arti semua orang pasti akan menikah. Atau minimal, semua orang merencanakan sebuah pernikahan. Namun, apakah setiap orang yang menikah tersebut mencapai kebahagiaannya? Tidak mesti, bahkan guru saya mengatakan “Jangan tiru saya, saya tidak bisa sekolah tinggi karena terlalu cepat menikah. Kalau saya tidak menikah muda, tentu saya akan menjadi profesor dan mengajar disini”. Sungguh mencengangkan kata-katanya. Dulu saya begitu percaya, namun pada akhirnya, kebahagiaan dan keberhasilan itu subyektif, yang berarti meskipun musibahnya sama, penderitaan itu beda-beda kadarnya.

Ada anak yang ditinggal mati orang tuanya hanya meneteskan air mata, ia mampu menguasai hatinya dan menenangkan keluarganya. Ada anak yang ditinggal mati orang tuanya lalu menangis keras-keras dijenazah orang tuanya sambil memukul-mukul dirinya sendiri. Kita mau memilih yang mana?

Dalam menghadapi kehidupan, banyak orang hanya memfokuskan diri pada kejadian-kejadian buruk yang akan menimpa. Padahal kehidupan banyak menyimpan rahasia-rahasia yang mestinya kita ungkapkan. Semua sisi permasalahan akan ada ada baik dan buruknya, namun sangat sulit mencari sisi kebaikan dari permasalahan tersebut. kita tidak boleh takut dan hanya bersembunyi dalam zona aman yang telah kita bangun sendiri. Hidup itu petualangan, jika kita tidak banyak beranjak dan berpetualang, maka kita tidak hidup.

Dipenghujung kehidupan ada kematian yang menanti. Maka, hiduplah yang luar biasa dengan berani mengambil resiko. Resiko ada untuk dihadapi. Jika kita takut untuk hidup, mengapa kita tidak mati sekarang saja?
He who is not everyday conquering some fear has not learned the secret of life.- Ralph Waldo Emerson
Kita semestinya lebih banyak belajar mengenai kehidupan.
14 Februari 2012

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.