Skip to main content

Mempertanyakan Jurnalistik Mahasiswa

Secara harfiyah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasalnya dari bahasa Yunani kuno, “du jour”yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak. Secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.

1.    Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).
2.    Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” (expertise) atau “keterampilan” (skill) menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.
3.    Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.

Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.

Mengkaji jurnalistik tidak harus dalam segi konseptual yang tidak selamanya praktis. Bahkan dalam pelaksanaannya, pekerja media lebih sering mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme untuk kepentingan individu, kelompok, atau ideologi tertentu dari pada menyampaikan fakta berdasarkan realitas. Kelompok-kelompok inilah yang sebenarnya membahayakan media massa hingga terjerumus kepada kapitalisme dan politik praktis yang sekarang berkembang pesat. Ketidakpercayaan terhadap media meningkat drastis karena adanya kegagalan jurnalis untuk mengabaikan subjektifitas dalam pencarian berita.

Ditengah krisis kepercayaan informasi ini, mahasiswa sebagai peletak dasar ideologi jurnalistik juga tidak bisa diharapkan. Mahasiswa yang tergabung dalam persatuan-perhimpunan jurnalistik malah mengarah kepada ideologi tunggal yang mereka sebut ‘rakyat’. Slogan mereka melulu pada ‘demi kepentingan rakyat’, ‘hidup rakyat’, dan ‘anti pemerintah’ padahal mereka diharapkan mampu menjembatani antara rakyat dan pemerintah.

Kita lihat perkembangan media mahasiswa saat ini. Bahkan dalam satu websitenya ‘persma.com’ mereka mengusung anti cover both side yang jelas-jelas merupakan prinsip jurnslistik dasar yang harus mereka pegang erat. Mereka mengira dengan melepaskan asas tersebut, ideologi mereka akan tetap terjaga kepada kemerdekaan berfikir. Nonsense, saya kira mereka hanyalah beralasan karena lelah dan lesu dalam mencari berita yang bermutu sehingga membesar-besarkan isu internal kampus. Memang dalam banyak case, saya melihat ada semacam kelesuan berorganisasi dikalangan mahasiswa. Pada tahun-tahun 2008-2012, tidak ada tindakan ideologis komprehensif dari mahasiswa yang patut diperhitungkan baik dalam tingkat Regional apalagi ditingkat Nasional. Tidak dari segi pers, tidak dari seni budaya, dan tidak dari kreatifitas yang lain. Yang muncul kemudian, mahasiswa-mahasiswa akademis dalam mawapres yang berakhir dengan kegagalan bersosialisasi terhadap masyarakatnya sendiri karena terlampau asyik dengan buku dan otak kiri.

Banyak hal yang harus dibicarakan kembali dalam suasana diskusi yang panas dibidang jurnalistik kampus. Sebagai basis terakhir dari kepercayaan masyarakat, mahasiswa dipandang penting untuk menuntaskan berbagai kasus “anti pemerintah” yang melanda. Cinta indonesia merupakan gagasan terpenting untuk dikaji saat ini. Saya pernah optimis terhadap munculnya sebuah geraka kepemudaan yang mampu merekonstruksi pemikiran pemuda-pemuda yang jiwanya masih labil, “Gerakan Pemuda Bangkit”, itulah yang pernah saya aktif didalamnya. Namun melihat perkembangan yang tidak stabil, tidak ada komitmen internal, serta berbagai permasalahan politik yang masih tersisa, akhirnya saya menyingkir diam-diam. Saya bersalah, tentu saja, but it’s fine.

Bahkan dikampus saya sendiri, pers mahasiswa memposisikan dirinya sebagai musuh mayoritas. Kehidupan yang amburadul dengan ideologi kritis kebablasan membuat sebagian besar mahasiswa memandang sinis terhadap kelangsungan Unit Kegiatan Mahasiswa tersebut. Tidak ketinggalan beberapa petinggi kampus juga menyangsikan kerja keras mereka, padahal saya yakin mereka memiliki kemampuan analisis yang sangat bagus, namun apalah daya, ambisi individu yang diupayakan menjadi ambisi organisasi menjadikan titik didihnya tidak merata. Perpecahan tidak jarang terjadi dalam hal ini, begitulah akhir dari kejayaan Hitler.
14 Februari 2012

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.