Skip to main content

Papua dalam Bautan Ramadhan




Manusia, sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang unik sekaligus kompleks. Disebut sebagai makhluk yang sempurna, namun banyak yang perlu kita pertanyakan dari kesempurnaan tersebut –malah sebagian manusia menunjukkan kebalikan dari sempurna.

Itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang ini. Kita sering meneriakkan kemerdekaan berfikir, kebebasan bersuara dan berkumpul, tapi dengan itu pula kita menggarong kebebasan orang lain. Hari ini misalnya, adalah bulan puasa yang penuh barokah dan banyak maghfiroh. Bagi kita yang muslim, ini adalah bulan yang menggembirakan.

Di desa-desa kita mendengar bacaan alquran setiap hari mengalun merdu, dan diperkotaan tiba-tiba suara serak anak-anak berkumandang di masjid-masjid. Tidak ada yang aneh? Tentu tidak ada yang aneh karena kita muslim, hidup dilingkungan yang 100% penduduknya muslim. Kalaupun ada yang merasa terganggu dengan bacaan alquran yang keras berkumandang, maka kita akan lantang meneriakinya “kafir!”. Maka mereka menggerutu sambil memendam bara.

Di Papua, mayoritas umat beragama adalah nasrani, entah katolik atau protestan. Dalam budaya mereka tidak ada kegiatan membaca doa keras-keras di corong masjid sebagaimana umat muslim. Sedang pada bulan ramadhan ini, tiba-tiba saja bacaan alquran menggema disetiap sudut arah. Aku yang selama ini memang rajin mengaji *serius* menjadi senang bukan main, tapi ketika memandang seorang Papua yang mungin beragama Nasrani, yang sedari tadi duduk tenang di pangkalan ojek, tekaget-kaget dan langsung meninggalkan tempat itu sambil merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh orang muslim.

Aku terhanyak sesaat, menyadari bahwa aku sedang berada di Papua. Dan kalaupun aku ada di desaku yang 100% muslim, jika bacaan alquran malah mengganggu orang lain yang sedang beristirahat karena seharian bekerja di luar, akupun akan berpikir ulang mengenai hal ini. Oh iya, semoga kalian yang membaca memahami keresahanku, jangan menganggapku sudah memasuki liberal barat sebagaimana

Apakah membaca al quran keras-keras ini akan menampakkan kesungguhan kita dalam membaca al quran? Untuk jawaban pertanyaan ini, saya punya penglaman, dan jawabannya tentu saja tidak. Bahkan kadang aku –ketika mengaji alquran dengan speaker- malah ingin memerdukan suara agar calon mertuaku mendengar betapa calon menantunya rajin mengaji dengan suara mrdu mendayu-dayu.

Untuk permasalahan ibadah, saya sangat yakin bahwa ibadah sirri itu lebih aman ketimbang ibadah jahr. Aman dalam artian kita tidak akan memiliki kemungkinan untuk bersikap riya (pamer) jika kita membaca alquran didalam kamar, atau di pojok masjid di suatu malam.

Jika membaca aquran menggunakan corong sebagaimana di masjid adalah bertujuan untuk syiar islam, maka dakwah islam tidak boleh menyakiti rasa kemanusiaan terhadap umat lain. Kita umat islam sebenarnya memiliki jalan toleransi yang tertinggi, atau dalam tradisi NU (Nahdlatul Ulama’), mereka memiliki tradisi tasamuh (salah satu dari tiga pilar : tawassuth dan tawazun) yang artinya memang toleransi. Maka memang seharusnya kita memikirkan ulang apakah yang kita lakukan (sebagai umat muslim) selama ini memang menjunjung hal tersebut.

Agama islam itu agama budaya dan peradaban, tidak semata-mata mengurusi masasah ibadah dan memisahkannya dari lingkungan sekitar. Bahkan di Papua, umat Nasrani dihimbau oleh Pemerintah Kota Jayapura yang walikotanya juga Nasrani, agar tidak berjualan makanan di siang hari demi menghormati umat muslim yang sedang berpuasa. Kemudian Kapolres Kota Jayapura mendukungnya sepenuh sikap, yang bahkan meningkatkan agenda patroli keamanan dalam rangka Ramadhan. Kita yang dihormati sedemikian rupa oleh orang beragama lain, sudah seharusnya kita menghormati orang lain juga.

Namun untuk menghindari sikap yang radikal dalam mengambil keputusan, saya memiliki usualan yang lebih baik daripada sekedar melarang atau membolehkan membaca alquran keras-keras dengan pengeras suara. Caranya adalah dengan memanggil suara-suara emas untuk mengaji melalui pengeras, sedangkan orang-orang dengan suara serak mesti sadar diri, dan mengaji dengan khusyuk dibawah bayang lampu terang masjid. Dengan begitu, paling tidak, jika dimungkinkan untuk syiar agama islam, orang diluar sana akan mendengarkan lantunan tersebut dengan dada terbuka, karena Allah yang akan menimbulkan hidayah kepada mereka, bukan kita.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.