Skip to main content

Membuka Dunia di Papua

Pendidikan yang ada di Papua ini miris. Jika kita berfikir bahwa anak-anak yang putus sekolah itu hanya ada di pelosok Papua, terutama di Pegunungan, kita salah. Karena bahkan di Kota Jayapura sekalipun, yang notabenenya Ibu Kota Provinsi Papua, masih banyak kita temukan anak-anak yang tanpa malu-malu mengaku putus sekolah. Praktis, sekolah hanyalah milik segelintir orang.

Di samping hal itu, bisa dikatakan kalau pendidikan di Propinsi Indonesia paling timur ini berjalan mundur. Mundur karena pendidikan pada masa sekarang amat berbeda kualitas dengan pendidikan di masa dulu, terutama ditunjukkan ketika masa belanda. Paling tidak 50 tahun yang lalu, pendidikan amat diperhatikan karena orang Belanda yakin hal tersebut bisa membuat orang Papua dipekerjakan –ironis tapi manis.

Hal tersebut dengan gamblang disampaikan oleh beberapa tokoh adat maupun tokoh gereja ketika melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua. Dikatakan oleh mereka bahwa dahulu, orang Belanda membuat asrama untuk sebagai tempat tinggal siswa. Ada pengawasan ketat terhadap para guru, termasuk memberi pendidikan orang pelosok untuk dididik yang kemudian dijadikan sebagai guru. Sekarang hal tersebut hanyalah kenangan menyakitkan. Realitas sekarang, bahkan gurupun tidak lagi menempati sekolah dimana ia mengajar.

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi (Susenas) tahun 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan, sebanyak 73.729 orang dari 432.122 anak di Papua berusia 7-15 tahun tak pernah sekolah.[1] Itu baru yang tidak pernah sekolah, belum menyentuh kepada berapa ribu lagi anak-anak yang kemudian putus sekolah di tengah semester karena berbagai macam alasan; ekonomi, sosial, budaya, dll.

Pembangunan pendidikan yang sulit diharapkan dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus dicarikan solusinya. Hal itulah yang kemudian dilakukan oleh Sekolah Menulis Papua, yang dalam hal ini concern kepada pendidikan luar sekolah. Ternyata pada awalnya kami juga mengalami gagap budaya. Masih banyak anak-anak yang kita kumpulkan di Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, tidak bersekolah, atau putus sekolah.

Ketika malam Minggu, kita sengaja mengumpulkan beberapa anak yang ada di sekitar perumahan untuk bersenda gurau. Kebetulan ada ratusan buku yang telah dikirimkan oleh dermawan baik hati dari Bandung, kita perkenalkan kepada mereka buku-buku itu. Mereka kemudian berhamburan seperti kupu-kupu, memegang buku dengan rasa takjub, lalu memukulkannya ke temannya hingga buku berserakan, kulit mengelupas, dan warna menjadi kabut. Itulah fakta. Mereka kagum dan cinta kepada buku, tetapi mereka masih belum bisa memperlakukan buku dengan cara yang baik.

Berhadapan dengan anak-anak yang masih nyaman dengan tanpa sandal ini, kadang sering menjengkelkan. Tapi itulah seninya. Kita masih mengenalkan kepada mereka bahwa sebuah buku adalah harta berharga. Menyentuhnya harus dengan khidmat, membacanya harus gembira, dan memperlakukan sebuah buku harus dengan hati.

Kita masih mengenalkan kepada anak-anak ini, bahwa huruf W itu tidak sama dengan K, dan kata yang berakhiran huruf N tidak bisa dibaca seperti berakhiran huruf G. Jadi Ikan akan dibaca Ikang. Dan kata Panggang malah dibaca Panggan.[2]

Mereka rupanya begitu antusias ketika kita bercerita mengenai salah satu dongeng yang ada di buku. Mereka menganga, seakan-akan dunia itu menjadi luas seluas cakrawala. Setelah itu, mereka rutin datang ke rumah kami, Sekolah Menulis Papua, yang kemudian menjadi salah satu tempat berkunjung favorit setelah rumah mereka sendiri.

Sudah menjadi sifat manusia yang mudah bosan. Ketika buku-buku ini habis mereka lahap, terutama komik-komik berwarna yang menggerakkan imajinasi, dikhawatirkan mereka akan jarang berkunjung dan kembali kepada dunia tanpa huruf. Saya membayangkan bahwa mereka akan kembali bergumul dengan anjing-anjing, lalu bermain lumpur di sekitar danau. Itu seperti gerimis yang tiba-tiba datang mengetuk hati, tapi kita tidak memiliki rumah.

Inilah keberadaan kita sesungguhnya. Ketika pemerintah sudah sulit diharapkan, sebisanya kita memanfaatkan sisa-sisa semangat yang masih menyala. Kebutuhan akan berbagai macam buku anak untuk menggugah minat baca anak-anak Papua merupakan sebuah keniscayaan. Jika kita gagal membina mereka saat ini, kita akan menemukan mereka dijalanan dengan pikiran kacau penuh minuman keras. 10 tahun lagi, itulah fakta lain dari kehidupan pemuda Papua.

Maka dari itu, dari pemikiran dan kejernihan hati yang dalam, kami keluarga besar Sekolah Menulis Papua mengajak semua kalangan yang peduli kepada kemanusiaan untuk menyumbangkan buku-buku dari tanah sebrang. Demi kemanusiaan, menyumbang buku di sini, adalah sama dengan menyumbang dunia.


[1] Laporan Jurnalistik Kompas. 2009. Ekspedisi Tanah Papua. Penerbit Buku Kompas: Jakarta

[2] ibid

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.