Skip to main content

Lebaran : Eksistensi dan Substansi

Umat muslim telah merayakan lebaran. Meskipun di Kota Jayapura ini umat muslim masih tergolong minoritas, tapi perayaan lebaran tetap terlihat menonjol. Pertunjukan busana di jalanan seperti catwalk panjang yang memang sengaja diciptakan demikian. Dari tahun ke tahun tetap sama, kita berlomba untuk berhari raya, bersenang-senang, dan tentu saja kembali menabung apa yang hendak kita singkirkan jauh-jauh ketika Bulan Ramadhan : dosa dan kesalahan.

Pada hari raya ini kita lebih banyak membicarakan diskon khusus pada banyak tempat. Dengan embel-embel lebaran dan ramadhan, penjual berlomba memancing munculnya jiwa manusia yang paling primitif, yaitu kerakusan. Disaat yang sama, ketika puasa (shoum = menahan) mengharuskan kita untuk menahan segala bentuk nafsu dan dosa, kita malah mengumbarnya. Berpuncak pada Hari Raya Lebaran inilah, kita bukan kembali pada fitrah manusia, tapi berpaling pada sifat hewani yang konsumtif tanpa pertimbangan. Ini semacam balas dendam karena kita merasa dikekang selama Ramadhan.

Jadi Lebaran memang tetap eksis di Kota kita tercinta ini. Tetapi ada yang perlu kita perhatikan dengan serius mengenai pelaksanaannya. Karena eksistensi (keberadaan) suatu benda tidak melulu menunjukkan kualitas yang sesungguhnya.

Mari mengingat sejenak sebuah pandangan dalam ilmu filsafat mengenai beberapa orang yang memandang dirinya sebagai kaum yang menganut faham eksistensialis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eksistensialis berarti penganut faham eksistensialisme, dan eksistensialisme sendiri adalah faham yang berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Inilah kita yang sesungguhnya. Kita berupaya keras untuk selalu menjaga keberadaan sesuatu tanpa mempedulikan kualitas kebenarannya. Kita goyah, mempertahankan keberadaan Hari Raya Lebaran tapi kehilangan makna di dalamnya. Sebagaimana kita mempertahankan budaya silaturahim dan budaya berbagi di hari Lebaran, tapi kita lupa pada substansi yang sesungguhnya.

Substansi
Jika kita mendengar khutbah salah seorang khatib Jumat ketika Bulan Ramadhan atau pada saat khutbah shalat Idul Fitri, maka kita akan menemui kalimat bahwa ketika hari raya idul fitri datang, maka kita bagaikan bayi yang dilahirkan, yang artinya kita sudah tanpa dosa sama sekali. Itu memang benar. Karena kita sebulan penuh digembleng mental untuk bisa menahan nafsu, sekaligus memperbanyak amal shaleh, maka setelah selesai Bulan Ramadhan, kita adalah putih.

Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang juga bisa diartikan dengan kelahiran kembali. Harapan dari hari raya ini jelas; kita kembali menjadi fitrah, manusia yang baru dilahirkan, tanpa dosa dan salah. Di dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 172 dijelaskan mengenai perjanjian awal manusia dengan Allah. Inilah perjanjian primordial itu. Ketika kita masih di alam ruh, kita ditanya oleh Tuhan, Bukankah Aku ini Tuhanmu?, Dan kita menjawab : Benar, Engkau Tuhanku! Kami menjadi saksi. Maka sejak kita keluar dari Ramadhan, kita adalah bayi yang terlahir kembali akibat perjanjian tersebut.

Mari kita lihat pelaksanaan Idul Fitri disekeliling. Apakah sudah menampakkan bahwa kita ini manusia suci dan putih yang dilahirkan kembali?

Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa merayakan idul fitri tidak harus dengan baju baru, sepatu baru, atau juga jajanan yang melimpah ruah di ruang tamu dan meja makan, melainkan dengan cara pandang baru terhadap sesama manusia dan kepada Allah sebagai Tuhan kita. Dengan cara pandang yang baru kita akan bisa melihat dengan jelas perihal kemanusiaan yang akhir-akhir ini tenggelam. Menjadi manusia yang kembali pada tauhid, menjadikan sandaran hanya kepada Allah Tuhan Semesta Alam.

Cara pandang yang baru akan membawa kita kepada peradaban yang agung. Di samping kembali kepada fitrah manusia yang suci, kita juga bisa membawa makna berbagi yang lebih baik di Hari Lebaran ini. Selama satu bulan kita diperintahkan untuk puasa, kita akan faham bagaimana makna lapar dan dahaga. Dari sana kita bisa menjadi makhluk sosial yang paling penting yang pernah diciptakan oleh Tuhan.

Kita melihat di jalanan anak kecil membawa kantong plastik dan bahkan membawa ransel untuk berkunjung dari satu ke rumah yang lain demi minuman kaleng atau selembar uang kertas*. Sebagai tuan rumah, maka kita telah merayakan hari berbagi yang membahagiakan tersebut. Tapi bagi anak-anak pembawa kantong plastik tersebut, ini bukan pembelajaran yang baik. Disini kita ikut bertanggungjawab pada psikis anak-anak yang dilegitimasi untuk menjadi peminta-minta.

Sebagai orang tua kita harus cepat memberikan pemahaman kepada anak-anak. Menjalin silaturrahim itu baik, dianjurkan malah, tapi dengan menjadikan hal tersebut untuk ajang mencari minuman kaleng, bukanlah hal yang mulia. Sesampanya di rumah, jajarkan kaleng tersebut, dan berikan kembali kepada anak-anak yang datang. Bahkan yang lebih baik, biarkan anak-anak kita yang memberikan kaleng-kaleng itu kepada mereka yang membutuhkan, karena belajar berbagi memang harus bermula sejak dini.

Hari raya idul fitri memang bom waktu. Ia hari kemenangan yang juga memunculkan budaya konsumerisme yang tidak bisa ditolak. Jika kita tidak berhati-hati dan kembali pada fitrah manusia, maka kita akan selamanya terjebak. Semoga Tuhan membimbing kita semua.

*Tradisi di Papua

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.