Skip to main content

Sebuah Pohon di Pinggir Desa

Umurku sudah seperti padi yang selesai di panen. Mataku suka berkaca-kaca, bibirku suka bergerak-gerak sendiri meskipun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun lebih tua dari diriku, tentu saja adalah sebuah pohon yang berdiri di pinggir desa Gelomi. Dulu pohon itu diberi nama Eloh dengan huruf E yang tidak boleh dibaca sehingga hanya ada suara “loh”. Huruf O di tengah kata itu dilafalkan seperti O yang ada pada kata “orang”. Loh, sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah desa Gelomi dan juga desa-desa lain disepanjang utara, Onomi, Katau, dan Lulaby.

Namun sebagaimana kehidupan yang terus berputar, Loh yang sekarang juga demikian, sekarang dia bukan apa-apa. Yang menjadi saksi betapa gagahnya dia hanyalah orang-orang tua sepertiku, yang usianya sudah seperti padi yang selesai di panen. Bahkan istriku sendiri sudah lama meninggal bersama beberapa kawan seangkatannya. Dia meninggal duluan karena aku menikah dengannya yang lebih tua delapan tahun. Aku tidak tahu ceritanya, hanya saja dulu aku menyukai angka delapan sehingga ketika aku berjarak 8 tahun dengannya, bagiku tidak apa-apa.

Tapi sebaiknya aku menceritakan mengenai pohon Loh ini. Seingatku, saat aku berusia dibawah delapan tahun, pohon Loh itu adalah pohon yang seringkali aku datangi. Oh bukan aku saja, tetapi seluruh warga desa, mulai dari desa Gelomi hingga Lulaby. Mereka datang bukan untuk beribadah seperti ke gereja. Mereka datang untuk menangis. Lelaki perempuan datang ke pohon itu untuk menangis. Karena dulu, orang tua kami, kakek buyut kami, mengatakan bahwa menangis adalah kekuatan.

Ketika aku berusia sekitar kurang lebih 80 tahun, ada orang datang dengan menggunakan sebuah helikopter. Mengenai helikopter ini, aku juga perlu menceritakannya sekali saja. Selama hidupku yang kurang lebih 80 tahun itu, aku pernah melihatnya sekali ketika ayah mengajakku pergi ke tempat yang jauh, membutuhkan waktu tiga setengah hari berjalan kaki. Di sana ada berbagai macam mesin yang bisa mengangkut manusia, baik itu darat maupun udara. Aku takjub, tapi tidak dengan ayahku. Karena ketika ayahku datang ke tempat itu, ia langsung memegang busur bersama saudara-saudaranya setanah kelahiran untuk menghancurkan penindasan –katanya begitu.

Dari sana aku kemudian pulang sendiri menempuh hutan lebat, gunung dan lembah. Selama lima hari aku berada di hutan, akhirnya aku sampai di rumah disambut dengan pesta bakar batu. Ibuku melukis tubuhku, begitu juga tetua adat yang lain, melukis tubuhku dengan daun dan akar hutan yang tidak sembarang bisa ditemukan. Aku dianggap sebagai pahlawan. Katanya aku telah membunuh musuh kami dan pulang sebagai pahlawan. Padahal seingatku, aku tidak ingat apa-apa.

Setelah pesta itu, kami kemudian menangis bersama-sama di bawah pohon Loh. Akibat tangisan kami, pohon loh menjadi rindang daunnya, dan berbuah besar, manis, berwarna merah dan kuning menyala. Kami berpesta buah Loh hingga malam. Tetua-tetua adat bercerita mengenai asal muasal buah Loh hingga kami semua percaya bahwa Loh adalah mu’jizat dari Tuhan, buah yang juga dimakan Adam dan Hawa hingga turun ke desa ini. Begitulah hingga kami selalu menangis di bawah pohon Loh. Dari tangisan itu, muncul daun dan buah yang menjadi sumber makanan.

Disuatu hari yang panas, ketika kami sedang asyik menangis di bawah pohon loh, heli itu datang memecah kesunyian desa. Mereka turun dari sana layaknya pahlawan, rambut seorang perempuan berkelebat disapu angin membuatnya seolah-olah istimewa. Berjalan di depan orang-orang yang tinggi itu, ayahku. Dia tersenyum memegang tangan tetua adat. Tetua adat juga memegang tangannya, mengusap dadanya, dan saling membenturkan kening. Ayahku pulang.

Tiga tetua adat, termasuk aku, berkumpul dengan ayahku. Katanya mereka yang baru datang adalah penyelamat yang akan membawa desa kami menuju modernisme –modernisme? Mereka mulai dengan ajaran-ajaran yang tidak kami mengerti. Mereka membuat bangunan, mereka memberikan pengajaran, mereka membuat permainan, dan lain-lain. Yang paling mengesalkan bagiku, mereka menyebut seorang lelaki tidak boleh menangis. Itu adalah hal terlucu yang pernah kudengar di dunia ini.

Mereka membawa penduduk desa pada suatu pagi ke bukit batu. Bukit itu juga tidak jauh dari pohon Loh. Jadi seluruh orang yang sedang menangis di pohon Loh penasaran dan menghentikan tangisannya untuk menuju bukit batu. Di sana mereka berdiri sambil bertelanjang dada sebagaimana kami sambil menunjukkan otot-otot tubuhnya.

“Lihat bentuk otot laki-laki dan perempuan,”tunjuknya pada otot lengan ketika lengan itu ditekuk ke atas sambil mengerahkan tenaga. Kami semua mengamati, termasuk aku sendiri berdiri paling depan.

“Lihat, lebih besar otot laki-laki kan?” katanya lagi. Kami mengangguk, masih belum faham apa maksudnya.
Yang lebih mencengangkan dia kemudian menyuruh salah seorang perempuan kami maju bersama seorang pasangannya. Si perempuan disuruh mengangkat sebuah batu besar yang mustahil bisa diangkatnya.

Kemudian si lelaki disuruh mengangkatnya hingga sampai di atas kepalanya. Mereka orang asing menunjuk-nunjuk ke otot si lelaki bangsa kami. Katanya itulah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Lelaki punya otot yang lebih besar, kekuatan yang lebih besar.

“Seorang yang kuat tidak boleh menangis” simpul mereka. Kami semua mengangguk-angguk. Hingga mulai hari itu, perlahan-lahan lelaki yang menangis semakin berkurang. Hanya perempuan yang saban hari datang ke pohon Loh untuk menangis tanpa ada seorang lelakipun. Hingga beberapa tahun kemudian tidak ada seorang lelakipun yang datang untuk menangis di pohon Loh. Maka tanpa sadar pohon Loh pun sudah tidak pernah berbuah lagi, hanya daunnya yang rimbun mengalahkan pohon-pohon diseluruh hutan.

Ketika ku merenungi masa lalu itu, menjadi teringat juga bahwa hari ini sudah tidak ada lagi yang menangis di bawah pohon Loh. Aku terkagum-kagum bagaimana bisa tradisi sekuat itu bisa raib tidak tersisa. Bahkan perempuan-perempuan sekarang merasa kuat dengan tidak menangis. Tampaknya menangis kini dianggap sesuatu yang memalukan. Semakin kuamati perubahan itu, semakin aku dendam dengan masa datangnya helikopter tersebut.

Seakan-akan tidak pernah ada yang berubah di dunia ini, padahal setiap harinya dunia selalu berubah. Aku berniat untuk mengubah tradisi yang sudah lenyap itu, tapi bagaimana? Akhirnya aku datang ke pohon Loh yang bahkan tidak berdaun. Cabangnya sering jatuh sendiri dan dibuat kayu bakar oleh beberapa perempuan desa. Kadang-kadang sering juga kudengar beberapa lelaki yang hendak menebangnya, tetapi mereka masih bergulat tentang siapa yang harus menebang duluan. Mereka pengecut sehingga tidak ada yang berani memulainya.

Aku duduk di sana mencoba menangisi masa lalu. Tetapi beberapa orang datang dan menertawakanku. Aku jadi urung menangis. Pura-pura duduk menikmati angin sambil bersiul-siul. Setelah mereka pergi, aku menangis lagi lebih keras hingga sore hari. Aku melihat pohon Loh yang masih tetap tidak berdaun. Mataku nanar, lalu aku mulai menangis lagi hingga malam. Beberapa orang berkerumun disekitarku penasaran. Mereka masih muda, pasti tidak tahu kalau dulu tangisan telah menyirami desa ini dengan berkah dan makanan. Akhirnya aku hanya duduk termangu di sana, juga tertidur hingga pagi hari. Hanya duduk menangis yang sehari-hari kulakukan di sana. Orang-orang semakin bergunjing tentang aku yang gila. Semakin hari berita itu semakin santer hingga anak-anak kecil mulai melempariku dengan batu sambil bereriak-teriak “Gila! Gila! Gila!”.

Aku gemetaran setiap hari. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, lama-kelamaan aku menjadi akrab dengan pandangan gila yang melekat pada diriku. Mereka mulai melempariku dengan makanan. Orang tua dari anak-anak itu mulai datang memberikanku roti, nasi, talas, dan singkong. Setiap hari kerjaanku adalah menangis dan menangisi nasib penduduk desa. Saat aku menangis sambil menengadahkan kepalaku ke atas, kulihat sepucuk daun muda bertunas. Mataku semakin berkaca, aku menangis lebih keras dan lebih keras lagi. Aku menangis karena bahagia.

Keesokan harinya aku mulai berteriak menceritakan bahwa dulu pohon Loh berdaun lebat dengan buah berwarna kuning dan merah yang manis. Orang–orang tertawa, aku terus bercerita sambil menangis. Di lain waktu juga kulihat orang-orang dewasa sudah berkerumun mendengarkan ceritaku, lalu dilain waktu juga, kakek-nenek mereka datang mendengarkan ceritaku. Mereka bergetar karena meningat masa lalu. akhirnya orang-orang tua itu datang padaku sambil berpelukan dan menangis bersama-sama di bawah pohon Loh. Ku menengadah ke atas, kulihat lima tunas baru muncul. Kutunjukkan kepada mereka dan tangisan kami bertambah keras.

Hingga pada hari ke delapan, tunas-tunas kecil seperti burung gereja mulai rimbun dicabang-cabangnya. Anak-anak merasa takjub, pemuda-pemuda mula menulis puisi cinta, gadis-gadis mulai gandrung minta daun-daun muda dari pohon Loh, dan orang-orang tua mereka hanya bisa merasakan kesedihan yang sangat karena seluruh orang tua datang ke pohon Loh untuk menangis. Mereka datang kepada kami, berangkulan dan menangis bersama. Orang-orang yang dulu tidak ingin menangis karena dianggap lemah, kini menangis bersama-sama.

Pada bulan purnama yang pertama, kami tengadah dan melihat daun-daun sudah ada diseluruh pohonnya. Aku kehabisan air mata tapi tetap menangis. Sungguh, akhirnya aku bahagia. Pemuda-pemuda yang dulu tidak percaya, sekarang memiliki mata yang bulat terheran-heran melihat daun-daun yang muncul. Mereka akhirnya mencoba-coba untuk menangis bersama kami, awalnya hanya gadis-gadis muda saja yang menangis bersama ayah dan ibunya. Tetapi sebagaimana penyakit kulit, menangis juga bisa membuat orang ketularan. Seluruh orang di desa Gelomi akhirnya menangis di bawah pohon Loh hingga air mata membanjir, lalu daun-daun bersemi bersama kuncup bunga keesokan hari.

Sungguh aku bisa melihat buah yang akan berwarna merah dan kuning di purnama berikutnya. Aku kehabisan air mata. Lalu dengan bahagia aku menutup mataku sebagai padi yang usai di panen. Nafasku berkembang teratur, suara-suara yang kutangkap hanya semayup. Tangis mereka begitu kentara membakar dadaku. Dalam samarnya kedua penglihatanku, aku benar-benar melihat buah itu, buah Loh yang dimakan adam dan hawa, jatuh ke pangkuanku. Lalu tangisan mereka memecah memekik-mekik, aku yakin, tangisan mereka adalah perlambang dari kekuatan batin kami.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.