Skip to main content

Istirahat di Banten [Rumah Dunia] 2


salah satu ruangan perpustakaan rumah dunia. dulu kasurnya tidak sebagus itu. foto ini saya kopi dari internet
Perjalanan di Banten, bermula dari Sekretariat Karang Taruna Provinsi Banten. Menginap di sana semalam, mengajariku banyak hal; membuatku memandang diri sendiri semakin lama, dan tentu saja, memikirkan masa depan semakin suram.  Perjalanan yang bermula dari keputusasaan ini, sangat menyiksa.

Memang jika orang lain memandang perjalanan itu, akan terasa bahwa aku menikmatinya. Dan betul aku menikmatinya, tetapi bukan sebagai pelancong banyak uang dengan tujuan tour, aku menikmatinya sebagai pelancong gelap yang agak puitis. Banyak momen yang dihadapi oleh seorang pelancong yang menjadi bagian dari momen puitis, penuh kenangan, dan membekas.

Kesendirian dalam gerimis, adalah momen puitis, tetapi pada saat yang sama, kita bisa merasakan kesakitan yang luar biasa. Berjalan kaki atau naik angkot di suatu kota yang tidak penuh dengan harapan kepadamu, adalah hal yang puitis, namun menimbulkan kemaluan yang jahat. Kalau mau yang lebih agamis puitis, shalat di masjid tengah kota dengan seluruh seliweran kendaraannya, juga momen putis, namun tampak bahwa tuhan tidak mendamaikan hatimu.

Semua momen puitis itu, semakin meyakinkan bahwa kita tidak memiliki kuasa apapun untuk membuat hidup lebih baik. berkeliling seolah kita adalah raja, namun sejatinya kita miskin papa, bahkan kita ketakutan untuk berharap lebih baik. Karena cara mencapai kebahagiaan salah satunya adalah jangan berharap pada sesuatu yang tidak mungkin bisa diharapkan. Jika jalanan gelap, sepi, tongkrongan berandalan, jangan berharap terlalu serius akan selamat dari pemalakan.

Lalu ketika semua kontemplasi itu melewati batasnya, esok hari, aku segera berkemas. Melewati jalanan dengan sok kuat menangis adalah keahlianku. Tujuanku jelas, ke Rumah Dunia, dimana aku bisa belajar dan mungkin aku bisa hidup di dalamnya. Dari satu angkot ke angkot yang lain aku berjalan. Menelusuri tempat jauh, alon-alon, berbelok ke sana kemari, dan sampailah aku ke rumah dunia.

Turun dari becak, aku masih bergeming. Ada rasa ragu, ada kerendah dirian, dan ada semangat yang masih samar-samar. Langkahku pelan, pikiranku panjang berenang. Susana seperti di kampung dengan anak-anak yang berlarian di kejauhan. Ada satu balai kecil di depannya bernama perpustakaan. Lalu aku melewati gerbang, menengok ke kiri dan ke kanan, lalu mendapati dua lelaki sedang duduk membaca Koran di sebuah balai terbuka.

Dengan kesopanan adat ala orang jawa, aku duduk bersama mereka. Memperkenalkan diri seadanya, lalu mereka kembali sibuk membaca koran. Ada yang aneh dengan perasaanku, seperti merasa bersalah, dan seperti aku melakukan kesalahan dengan datang ke tempat itu. Beberapa menit dengan kebisuan yang membuat seluruh semangatku luruh itu, tampak lelaki lainnya datang membawa satu piring penuh nasi dengan sambal dan tempe.

Ternyata orang ini datang untuk sarapan. Dua orang lainnya langsung menghambur serta mengjakku makan bersama. Tentu saja, lagi-lagi orang jawa harus menolaknya. Tetapi karena mereka memaksa, akhirnya aku menurut juga, apalagi sejak pagi aku juga belum sarapan. Ternyata setelah makan bersama itulah, percakapan kita baru dimulai. Mereka mulai menanyakan asal usulku, dan naitku berada di rumah dunia. “aku mau belajar” itu saja jawabku.

Sejak saat itu aku belajar bersama mereka di rumah dunia. Namun jelas bahwa aku masih menjadi tamu, belum menjadi relawan rumah dunia. Sehingga pekerjaan sehari-hariku adalah berada di perpustakaan yang begitu luasnya, lalu memuaskan diri dengan membaca buku. Memang luar biasa, aku merasa berada di surga dengan seluruh buku yang ada. Meskipun kehidupan belum membaik, namun aku merasa tenang dengan berada di dalam perpustakaan itu.

Tetapi apakah sesungguhnya buku bisa menggantikan makanan? Tentu saja tidak. Suatu ketika Hilman datang mengajakku makan bersama ketika mereka usai memasak. Suatu hari juga, Jack mengajakku makan di rumahnya Gol A Gong, melalui pintu belakang. Dan sampai lima hari itu, aku sering beli mie, dan merasa beruntung bila orang-orang ini mengajkku makan nasi sama lauknya.

Keesokan harinya, aku sudah terbiasa beli mie sedaap, memasaknya di adapur, membuat kopi, lalu membaca buku di perpustakaan. Keuanganku tentu saja mengkhawatirkan. Tetapi aku tidak berkata siapapun, aku hanya melihat dan menunggu. Lebih banyak begitu. Keinginan kuat menjadi relawan rumah dunia, dan tinggal di Banten semakin membuncah.

Hingga satu minggu kemudian, Gol A Gong terdengar kabar sudah datang dari keliling Nusantara bersama Taman Bacaan Masyarakatnya. Saat ia datang, kami ngobrol bertiga entah dengan siapa lagi satunya. Rambutnya gondrong, tangannya satu, dan tentu saja tidak mengesankan bahwa ia seorang santri sebagaimana buku-bukunya yang banyak mengarah pada keagamaan (FLP).

Ketika itu, aku memegangi bahwa buku yang bagus adalah buku sastra serius sebagaimana yang ditulis adalah sastrawan. Namun Gol A Gong mementahkannya, dia berucap bahwa buku yang bagus bukan hanya dari segi kualitas sastrawinya, tetapi dari berapa banyak orang yang membacanya lalu merasakan manfaatnya. Dan itulah yang dikejar oleh Rumah Dunia. Segala jenis genre penulisan fiksi dibebaskan, tidak ada pembatasan dalam berkarya.

Aku manggut-manggut, lalu menawarkan diri untuk tinggal dan menjadi salah satu relawan dunia. Namun dia menolak. Aku tahu, aku keceawa, dan sesungguhnya dia akan lebih kecewa pada pilihannya itu. Sejak itu, aku merencanakan perjalanan berikutnya, karena aku tidak bisa tinggal di rumah dunia dengan menjadi benalu selamanya. Kalau tidak bisa menjadi relawan di sana, maka akan jadi apa aku disitu?

Begitulah rumah dunia akhirnya berakhir, meskipun masih banyak kisah yang perlu diceritakan. Misalnya ketika naik gunung di Banten, dan saat aku tersesat di Pelabuhan Merak Banten dalam perjalanan berikutnya menuju Lampung, Sumatera

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.