Skip to main content

Istirahat di Banten

Seringkali dalam perjalanan yang kutempuh, aku merasa harus beristirahat lebih lama dari yang seharusnya. Istirahat ini, mungkin sering tidak difahami oleh beberapa orang lain yang kebetulan berjalan bersamaku. Bagaimana tidak, aku terlalu bermanja dengan istirahat yang mereka rasa tidak perlu –yang sebaliknya menurutku, ketergesa-gesaan mereka sama sekali tidak berguna karena tidak ada hal yang bisa dipetik dari ketergesa-gesaan.

Salah satu perjalananku pernah sampai di Banten. Di depan kampus yang paling mentereng di sana, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, aku duduk lama di sebelah tukang ojek yang berada persis di depan kampus tersebut. Bersama salah seorang tukang ojek yang bernama Karmin, orang asli Serang, aku berbicara banyak. Tapi aku lebih dulu harus mengurus seorang mahasiwa Jepang yang waktu itu kutemukan sedang kebingungan di dalam Bus kota dari Jakarta-Banten. Mahasiswa yang kulupa namanya ini, ingin pergi ke Museum Purbakala di Banten yangnya letak ia tidak tahu –semakin bodoh lagi, aku juga tidak tahu.

Mahasiswa dari Jepang jurusan Arkeologi ini ingin pergi ke sana sebagai bekal pengetahuan, namun : tanpa peta, tanpa alamat, dan tanpa kemampuan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang baik. Untuk komunikasi, kami harus menuliskan ucapan bahasa inggris di layar hape, lalu kita sodorkan segera setelah kita selesai menulisnya. Dengan begitu, kami bisa tahu apa keinginan masing-masing, bahwa dia hendak pergi ke museum, dan saya hendak membantunya. Baru kutahu bahwa logat orang jawa dengan logat orang Jepang ketika mengucapkan kata dalam bahasa inggris, mudah sekali disalahartikan.

Setelah aku mengupah Rp 50 ribu seorang tukang ojek teman si Karmin untuk mengantarkan mahasiswa Jepang tersebut, barulah aku bisa duduk tenang memandang mahasiswi-mahasiswa yang berseliweran. Aku duduk menekuri segala sesuatu. Bayangkan, berada di tempat asing tanpa tujuan yang jelas, tanpa uang yang cukup, dan tidak memiliki siapa-siapa –aku tidak merasa lebih gila dari si mahasiswa Jepang. Di kota sesibuk ini, kamu akan merasa sebagai gelandangan yang lebih baik mati daripada ditikam oleh mata yang menyelidikimu sebagai orang tersesat yang butuh belas kasihan.

“Di kota besar sama saja kok dik, orang-orang itu pelit. Malah kebanyakan yang suka ngasih itu orang miskin,”kata Karmin sambil mengisap rokok kreteknya seharga Rp 1.250 perbatang. Kebetulan aku tidak suka rokok, jadi aku mencari posisi angin yang berlawanan dengan asapnya. Aku tersenyum saja mendengar hal itu karena memang apa yang diucapkannya adalah benar. Kalau aku bisa mengingat, aku tidak punya banyak uang untuk bisa membantu mahasiswa jepang itu, lagi pula aku tidak punya banyak waktu memikirkan ketersesatan orang lain sementara di saat yang sama aku juga tersesat. Aku miskin tapi aku peduli = narsisme, ini ilmu dari Karmin.

Di depan itu adalah kampus yang kata Karmin, anaknya tidak bisa kuliah di sana padahal dia ingin sekali. Mendengar ceritanya, aku merasa akrab sekali dengan Karmin ini. Dia seperti Bapakku, yang menghendaki aku kuliah tapi tidak punya apa-apa selain doa. Aku merasa akrab dengan seluruh suasana ini, apakah orang yang kecewa, atau orang yang beruntung bisa menjadi mahasiswa. Dan ngomong-ngomong, begini-begini juga aku adalah bekas mahasiwa. Dimanapun kampus berada, mahasiswa dan mahasiswi selalu tampak sibuk dengan segala keperluannya. Tapi terus terang, daripada di kampusku dulu, mahasiswi di sini lebih cantik –lebih banyak yang tidak cacat produksi.

Dengan beristirahat ini aku lebih banyak melihat, aku lebih banyak mendengar, dan aku lebih banyak menyimpan tenaga. Mencium udara Banten membuatku betah. Aku merasa cocok dengan atmosfirnya. Lalu Karmin mendapat giliran untuk membawa penumpang seorang ibu-ibu dengan barang belanjaan. Dia mengatakan kalau aku butuh tumpangan hidup, aku boleh ke rumahnya. Dia mengatakan itu tulus sekali, terlihat dari sorot matanya dan senyumnya, tetapi aku tidak meminta alamatnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Jam menunjukkan pukul 11.30 WIB. Itu hari Jumat, aku ingat betapa panasnya hari Jumat di sana. Mengingat bagaimana panasnya Jumat itu, membuatku ingat juga kepada seorang anggota komunitas backpacker indonesia yang katanya orang Banten. Aku mencari website backpackerindonesia[dot]com di sebuah warnet yang tidak jauh dari tempat mangkal ojek, ku kirim pesan singkat kepada seseorang itu, lalu pergi Jumatan bersama seorang tukang ojek lainnya yang berkenan memboncengku ke sebuah masjid dengan gratis.

Selepas dari masjid, aku telah mendapati pesan di akunku bahwa aku harus menuju ke sebuah alamat. Teman dunia maya yang tidak pernah saling sapa itu, katanya sedang tidak berada di Banten, tapi aku dipersilahkan menginap di sekretariatannya : sekretariat Karang Taruna Provinsi Banten. Aku langsung bertanya-tanya dengan semangat dan berakhir dengan angkutan kota yang telah berputar sebanyak dua kali di daerah yang sama. Kami tidak menemukan alamat itu hingga pukul setengah dua, aku turun dari angkutan untuk berjalan kaki hingga ke sekretariat yang berada dalam kompleks perkantoran dan kedinasan.

Itu rumah yang besar, dan aku disambut dengan agak dingin oleh salah seorang pengurus Karang Taruna yang ada di sana. Ketika kusebutkan nama yang memberi rekomendasi, penghuni itu mengatakan bahwa nama yang kusebutkan adalah Sekretaris Karang Taruna Provinsi Banten. Lalu aku diberikan sebuah kamar di lantai dua yang tanpa lampu –karena di kamar lainnya juga tiada lampu. Aku seperti tinggal diloteng, disebuah loteng yang penuh hantu dan gelap.

Tetapi aku mampu tertidur nyenyak di sana hingga aku bangun tiba-tiba, ternyata hari telah gelap. Jam setengah tujuh malam, rutinitas seorang muslim kujalankan dengan khusyuk. Kuganti semua waktu yang terlewat dengan perasaan bersalah. Setelah selesai urusan itu, aku datang ke lantai pertama dan telah ada beberapa orang yang saling bercerita tertawa-tawa. Aku ikut nimbrung hingga aku diminta bercerita oleh mereka mengenai perjalananku, otomatis mereka ternganga seperti gua.

Ngobrol dengan orang-orang yang hanya sombong tentang perjalanan membuatku jijik. Aku lebih memilih keluar rumah dan duduk di teras sambil membaca Majalah National Geographic berbahasa Inggris. Ah bukan membaca, hanya memegangnya, karena aku lebih menikmati malam di beranda waktu itu, dengan gerimis sebagai bumbunya. Aku kembali tertegun, teringat bagaimana semua kisah terangkai menjadi diriku.

Bersambung ke Rumah Dunia.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.