Skip to main content

Rumah Dunia


Banten menerimaku dengan lapang dada, kotanya begitu tua, orangnya macam orang tempo dulu. Saya agaknya dimanja dengan pelayanannya, teman yang ramah, gunung, rumah dunia, juga benteng ambruk yang eksotis.

Banten, aku seperti tidak ingin pulang. Ini adalah mimpi, perjalanan adalah mimpi, dan kata ‘pulang’  menjadi ragu. Realitas kadang meragukan karena mimpi lebih menggiurkan.

Rumah Dunia. Itulah komunitas yang kali ini kujadikan lahan kunjungan tidak resmi. Dari sekian banyak perjalanan kutempuh, selain akan mati di kawah Bromo dan pendakian maut Arjuno, Rumah Dunia adalah salah satu perjalanan yang paling mengesankan. Karena kunjungan ke rumah dunia bukan semacam perjalanan mencari makna dari alam, lebih dari itu, buku-buku yang sejatinya menggambarkan berbagai cara yang dilakukan oleh manusia dalam upayanya menjadi manusia sejati.

Rumah dunia, sebagaimana yang kita ketahui merupakan komunitas (yang tidak lagi) kecil yang fokus menggarap masyarakat agar memiliki budaya literasi yang tinggi demi masa depan bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam seluruh kegiatannya yang betul-betul murni demi kecerdasan masyarakat –terutama mayarakat sekitar rumah dunia sendiri.

Perpustakaan rumah dunia
Waktu saya kesana, Mas Gong (Pendiri) yang menjadi Ketua Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia sedang menggarap Sembako Buku ke beberapa TBM yang ada di Jawa Barat selama dua minggu. Otomatis saya tidak bisa menimba ilmu kepada beliau dengan leluasa. Akhirnya lah saya banyak berdiam di perpustakaan rumah dunia yang berjanji mengantarkan saya ke dunia yang benar-benar lain dari dunia yang selama ini saya kenal –itulah sejatinya fungsi perpustakaan. Saya di suguhi oleh ratusan buku yang benar-benar saya dambakan selama hidup saya yang suka mencuri buku ketika masa SD.

Disini saya benar-benar dimanjakan dalam berbagai kesempatan. Saya di suruh makan sendiri di rumah Bu Tias (Tias Tatanka –penulis, istri Mas Gong), bebas mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh rumah dunia, menempati kamar luas dengan kasur busa yang hangat, juga sambutan meriah dari relawan-relawan disana. Saya sepertinya menghadapi orang Banten secara keseluruhan, semoga begitulah Banten akan terlihat selamanya.

Hana dan Saya di perpustakaan Rumah Dunia

perpustaakn rumah dunia

Disini berkumpul beberapa penulis muda bersemangat yang sehari-harinya disibukkan denga seputar buku, menulis, pers, dan kuliah. Pokoknya yang bernuansa belajar. Saking sibuknya, sering saya berputar-putar mencari mereka di rumah dunia dan tak satupun yang kulihat. Saya sendirian, tamu yang sendirian di tempat asing. Walhasil, sayapun akhirnya terbiasa karena bisa seenaknya membuat mie dan kopi/teh untuk menemani pembacaan buku yang saya lakukan.

Dalam sehari saya bisa menghabiskan dua buku setebal 300-500 halaman. Ini bukanlah hal yang mustahil dan bukan pula sesuatu yang luar biasa. Sebelumnya saya pernah mengkhatamkan Musashi dalam waktu 2 hari. Count of Monte Cristo dan Memoar Menggenggam Dunia dalam waktu 1 hari. Mungkin terlihat terlalu cepat, tepi saran saya, ini tidak untuk ditiru. Karena membaca buku (terutama sastra) tidak sama dengan membaca makalah perkuliahan yang isinya tidak terlalu penting.

Namun semua itu kulakukan karena demi melihat buku yang sedemikian banyaknya, namun waktu yang miliki hanya sedikit. Ini 100:1 (seratus buku dibandingkan waktu saya yang hanya satu hari). Jadi kalau saya masih harus menghabiskan buku setebal 500 halaman dalam waktu 1 minggu, maka saya hanya akan membaca satu buku itu selama di rumah dunia. Lihat, betapa saya tidak punya piliha untuk tidak berlaku sombong dengan membaca buku secara serampangan.

Saya menikmati setiap menit disana, baik itu waktu tidur saya maupun waktu saya sibuk membaca buku dengan perut keroncongan. Saya hampir tidak memikirkan bagaimana perut saya bisa terisi, tapi saya memikirkan bagaimana saya bisa menghabiskan buku-buku yang ada lalu pulang dengan kekayaan baru. Tapi itu semua belum cukup. Saya masih harus menyesal karena saya hanya punya waktu satu minggu, dan waktu itu akan datang dua hari lagi. Tapi sekarang, saya tidak memegang buku apapun untuk ku habiskan. Yah, setelah menyesal membaca Pappilon buku yang pertama, saya termangu-mangu ;buku apa lagi yang harus saya baca? karena dari sekian banyak buku ada beberapa yang monumental (tapi saya tidak suka atau saya tidak tahu), dan beberapa hanyalah sampah pasar demi popularitas. Jadi, apa yang akan saya baca jika referensi mengenai buku yang wajib saya baca saya tidak punya?

Banyak rupanya buku yang kelihatannya bagus, banyak di singgung, tapi saya tidak suka. Meskipun ada beberapa yang akhirnya saya baca juga. Akhirnya, sekarang ini, saya harus menengok lagi beberapa buku yang kutinggalkan. Ditemani secangkir kopi yang kubuat dengan sepenuh hati, aku membuka Politik Sastra oleh Saut Situmorang. Dengan ini, sebenarnya saya takut karena kritik itu menyakitkan. Dan sebagai pemula, sering saya mendapati diri ditengah persimpangan beberapa penulis tenar –antara berpihak dan berlepas. Bahwa sastra, begitu pula politik, tengah mengalami suatu pergulatan yang serius.

Comments

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.