Skip to main content

Membicarakan Ke - Mahasiswa - an

Ada yang tidak beres di program studi kita. Sungguh. Tanpa saya sadari saya sudah lulus cepat-cepat meninggalkan segala hal yang berbau pendidikan. Meskipun begitu saya melanjutkan membaca beberapa orang, beberapa buku, dan terngiang dalam sejarah kemahasiswaan saya, saya gagal berkuliah.

Kegagalan pertama bersumber dalam diri setiap mahasiswa, yaitu ketidakfahaman menjadi mahasiswa itu sendiri. Secara tidak langsung kitalah yang akan di baca sebagai bangsa yang besar, bukan masyarakat yang pendidikannya cuma SR (Sekolah Rakyat), ataupun pemerintahan yang sarat dengan korupsi. Dua hal yang terakhir adalah momok paling menyakitkan bagi bangunan bangsa Indonesia, dan kita tidak menyadari apa-apa mengenai diri sendiri bahwa kita adalah mahasiswa.
Ketika membaca orang-orang –sebutlah, Einstein, Habermas, Marx, Nietzsche, Barthes, saya bertemu dalam biografi mereka, ada tulisan “tesis kesarjanaannya yang berada di bawah bimbingan Prof… “. Dari sana saya menyimpulkan bahwa sejatinya, tesis (kita menyebutnya sebagai skripsi) sangat-sangat penting sebagai dasar keilmuan mereka. Dan penyebutan pembimbing tesis tersebut juga merupakan sesuatu yang penting.

Kejadian yang saya alami ternyata bukan seperti itu. Proses pembuatan skripsi saya sungguhlah berat, namun tidak seperti yang sekarang saya bayangkan, hampa dan kosong. Bahkan kalau saya menjadi seseorang, saya tidak akan menyebut Tatag Handaka dan Farida Nurul R, sebagai pembimbing dan juga tidak menyebut skripsi saya. Betapa memalukannya jika saya harus menyebut skripsi beserta pembimbing saya namun saya tidak tahu apa-apa tentang teori yang ada dalam skripsi itu.
Ini benar-benar sebuah kesalahan. Untuk itulah kiranya perlu perombakan pemikiran yang besar dalam pengurusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa.

Mahasiswa yang memilih lulus dengan skripsi harus menyiapkan benar mental rasionalitas dan intuisinya. Memilih permasalahan dan teori yang benar-benar menyentil nuraninya, mengusik pemikirannya, dan lebih dari itu, didalaminya sebagai sesuatu yang sakral. Begitu pula dosen pembimbing yang menjadi tulang punggung kelurusan struktur karya tulis, mereka harus benar-benar faham mengenai keilmuan tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak dosen yang menjadi dosen hanya karena telah lulus magister. Hal ini juga menyakitkan, apalagi mengingat beberapa dosen yang seharusnya tidak patut menjadi pembimbing dan malah menyesatkan mahasiswanya –bahkan sejak memilih judul. Anda tidak asing dengan hal ini bukan?

Maaf kalau tulisan ini tidak runut. Yang saya ingin tekankan disini adalah tentang peran skripsi dan dosen pembimbing dalam meraih keilmuan pertama mahasiswanya. Jikapun pada masa lalu si dosen pembimbing adalah produk gagal dari universitasnya, maka mulai saat membaca tulisan ini dosen tersebut harus jujur dan profesional dalam membimbing.

Mungkin beberapa dosen meluluskan mahasiswanya karena kasihan. Hal ini wajar sebagai mahasiswa, dan bagi saya itu tidak masalah. Saran saya dosen pembimbing mesti tahu kemampuan mahasiswanya tersebut. jika memang mahasiswanya tidak bisa berfikir secara holistik mengenai teori dan permasalahannya, maka kasihanilah dia dan luluskanlah dengan nasehat-nasehat yang relevan. Jika ada mahasiswa yang ideologi dan kemampuan akademisnya tinggi, junjunglah dia hingga melampaui dosen itu sendiri. Kasih motivasi yang serius sehingga dia akan membayangkan masa depannya sebagai masa depan sebuah pencerahan.

Dengan demikian, tidak terjadi perasaan gagal dalam diri lulusan yang tengah mengulas kembali romantisme perkuliahannya. Sebagaimana saya yang merasa bahwa seharusnya saya bisa menyusun skripsi lebih baik sehingga nantinya bisa saya gunakan sebagai dasar keilmuan saya. Namun itu tidak masalah, meskipun dengan bangga saya menyebutkan bahwa “program ilmu komunikasi adalah program studi terbaik bagi orang yang hidupnya semangat, atraktif, ekspresif, kreatif, inovatif, global…” tapi saya tidak mendalaminya sama sekali. Itu karena saya sebenarnya masih belum mengetahui apa itu ilmu komunikasi.

Mulai sekarang, pak dosen, saya mohon, luluskanlah mahasiswa yang sebenarnya. Bukan mahasiswa yang tergesa-gesa kerja, bukan mahasiswa yang gandrung berorganisasi namun pemikirannya nihil, tapi mahasiswa akademis yang menyusun skripsinya dengan sepenuh hati, ahli, dan menjadi dasar keilmuannya suatu saat nanti.

Dan bersama ini, saya berikan saran mengenai bagaimana seorang mahasiswa yang kerjanya berorganisasi, (dalam konteks ilmu komunikasi, kerjaannya cuma menulis jurnalistik –aktif di pers, suka otak atik fotografi, membuat film, ataupun jalan-jalan) agar bisa lulus dan dapat juga dibanggakan dengan kemampuannya, lihat di http://www.fathulqorib.com/2012/10/membicarakan-ke-mahasiswa-an.html.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.