Skip to main content

The Raven : Kisah Sedih Penyair Dunia


The Raven; jika seseorang gemar membaca dengan pembacaan yang serius, maka akan langsung teringat kepada seorang penyair yang terkenal dengan kisah-kisah macabre-nya, Edgar Allan Poe. Dan The Raven kali ini bukanlah judul sebuah puisinya yang menceritakan tentang gagak misterius yang berbicara kepada seorang narator, namun sebuah film pembunuhan yang hampir mirip dengan kisah detektif Sherlock Holmes. Jika anda pembaca buku atau penonton film Sherlock Holmes, maka The Raven tidak akan menarik perhatian anda.

Satu-satunya hal yang menarik dari film The Raven ini adalah, karena kisahnya merupakan kisah menakutkan tentang kematian Edgar Allan Poe; yang dalam kenyataannya kematiannya masihlah misterius. Kematian dari Poe di duga karena peyakit Kolera, TBC, alkohol, obat bius, rabies dan lain-lain. Mungkin karena kematiannya yang misterius itulah, film ini kemudian di buat untuk semakin mengklasifikasikan Poe ke dalam penyair/penulis kisah-kisah horror; yang bahkan kematiannya sendiripun menjadi menakutkan.

The Raven, dalam versi puisinya mengisahkan (dalam hal ini saya tidak begitu yakin dengan kemampuan bahasa inggris saya) seseorang yang sedang tidur lalu datang ‘seseorang’ mengetuk pintu dengan halus. Dan ‘seseorang’ itu adalah seekor gagak yang kemudian melakukan percakapan misterius dengan orang yang sedang tidur tadi. Andaikan bahasa inggris saya lebih bagus lagi, saya akan benar-benar ngeri dan ketakutan membaca karya Poe kali ini. Karena bahkan di Amerika, burung gagak hitam menjadi penting dalam dunia horror. Apalagi saya yang berasal dari tanah Jawa, Indonesia, di mana semua binatang memiliki tanda-tanda gaib yang aneh; terutama gagak adalah seekor hewan yang menakutkan bagi anak kecil pada masa lalu saya.

Kisah kehidupan memang hal yang menarik. Bahkan saya hampir berfikir untuk setuju ketika Ethan Hawke dalam film Before Sunrise untuk memfilmkan kehidupan kita yang membosankan. Itu persis perti buku yang saya baca beberapa tahun lalu, saya agak lupa judulnya, sepertinya “The (Un)Reality Show” karya Clara Ng. Mengisahkan kehidupan yang biasa, orang-orang yang di syuting selama 24 jam. Yah, benar, itu seperti Discovery Channel tapi menayangkan manusia.

Maka kehidupan yang aneh seperti milik Poe adalah kisah yang menarik. Sangat menarik bahkan. Bahwa ada kehidupan serupa fiksi horor yang menghinggapi salah satu penyair terbaik dunia. Dan film-film seperti ini patut untuk di apresiasi lebih jauh lagi. Saya mengagumi film ini, lebih karena pengungkapan sosok Poe yang benar-benar memberi kesan yang hampir sempurna –meskipun dalam penokohannya tidak semirip aslinya. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh eksotis ‘Hemingway, Porter, Fitzgerald, Picasso, Dali” dalam film Midnight In Paris.

Setelah menulis resensi ini, saya harap kehidupan penyair Poe ini lebih digali lagi dan dijadikan film yang benar-benar seperti kehidupan Poe pada era itu. Sebagaimana film Downfall (2004) tentang kisah akhir Sang Diktator Adolf Hitler yang sangat mengharukan dan berbeda dari pandangan kita selama ini mengenai beliau, juga film When Nietzsche Wept (2007) yang menggelitik lebih dalam ketika Nietzsche bergelut dengan sakit migrain dan kegilaannya; yang memberikan kita perspektif baru dalam memandang pembunuh tuhan ini. Ya, tentu kita boleh berharap banyak kepada dunia hollywood, selama kita memiliki referensi yang seimbang untuk menerima setiap hipodermic needle media massa.

Review Film “The Raven”

Kisah ini bermula pada saat Poe (duduk di taman dengan kepala tengadah ke atas, tatapan matanya kosong, pekat, dan seekor gagak di dahan yang agak jauh, terbang menghilang. Lalu dimulailah kisah itu dari awal (flashback).

Poe yang yang selalu memiliki cara aneh untuk meneliti hal-hal yang menjijikkan. Ada dua scene dalam film ini yang mengisahkan Poe sedang melakukan hal tersebut. Pertama, Poe tampak berjalan mendekati burung gagak yang tengah memakan bangkai entah anjing atau kucing. Lalu Poe tanpa rasa jijik memeriksa kucing tersebut yang telah terbelah perutnya, ususnya keluar, dan seekor kucing kecil dikeluarkannya. Ia berkata “dia sedang mengandung”. Dan ia pergi begitu saja. Lalu kedua, Poe sedang mengotak-atik seonggok daging mentah di ruang kerjanya. Kemudian setelah puas, ia memberikan daging (yang ternyata sebuah jantung manusia) ke kucingnya.

Dua hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bagaimana Poe ketika hidup. Juga scene-scene lain yang menceritkan kemiskinan Poe; hal ini jamak kita ketahui dari penyair-penyair yang lain. Sepertinya penyair di mana-mana selalu miskin dan patut dikasihani. Ia kerap marah-marah, pemabuk, dan menantang editor koran karena tulisannya tidak di muat sedang tulisan lawan menulisnya sedang di muat. Begitulah kehidupan seorang penulis, mereka juga sering di teror oleh dunia politik kepenulisan mereka sendiri.

Lalu tiba-tiba muncul penangkapan kepada Poe karena seorang detektif mendeteksi pembunuhan berdasarkan karya Poe. Maka dimulailah kisah drama layaknya Sherlock Holmes (Poe = Holmes, Detektif Fields = Watson). Semua kisah pembunuhan berantai di sini didasarkan pada karya-karya Poe yang lain, yaitu : The Murders In The Rue Morgue, The Masque of Death, The Pit and The Pendulum, dan The Tell Tale Heart. Kisah seperti sudah sering terjadi pada kisah detektif-detektif lain  yang mendasarkan pembunuhannya pada sebuah buku. Pembunuhannya di buat persis sebagaimana yang ada dalam buku, dan detektif harus berpacu dengan pembunuh pada teka-teki buku selanjutnya, dan kematian siapa berikutnya.

Yang mencengangkan adalah bagaimana kisah tersebut sebenarnya terjadi karena Poe tidak lagi memiliki inspirasi untuk menulis. Maka karena kejadian ini, ia dituntut menulis lagi dan seolah-olah menjadi seorang pembunuh yang sedang merencanakan pembunuhan berikutnya. Terjadilah kisah-kisahnya pembunuhan lain yang langsung di muat oleh koran lokal di sana, lalu terjadi juga pembunuhan di dunia nyata berdasarkan tulisan Poe tersebut. Dan pembunuhan tetap berlanjut hingga kekasih Poe (Emily) di culik dan Poe kehilangan akal untuk mencari jalan keluar. Akhirnya ia menulis untuk yang terakhir, ia rela menggantikan posisi Poe dengan posisi kekasihnya tersebut -menggantikan diri untuk mati. Dan itulah yang terjadi, Poe pada akhirnya mengetahui bahwa pembunuhnya adalah penggemar beratnya, yang sekaligus tukang ketik di koran tersebut. Poe mati menenggak racun yang ditawarkan oleh pembunuh tersebut, dan Emily, kekasihnya itu kemudian selamat berkat kekuatan Poe yang terus mencari kekasihnya.

Sebuah ending yang sempurna untuk kehidupan Poe. Kisah yang memang pantas untuk ditulis, di filmkan, dan bahkan di abadikan. Karena ini bukan kisah fiksi sebagaimana pekerjaan Hollywood, ini adalah kisah nyata kematian seorang penyair masyhur di zamannya hingga sekarang. Edgar Allan Poe meninggal dalam keadaan yang persis seperti karya-karyanya; tragis. 

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.