Skip to main content

Menuju Puncak Bukit


Di suatu pagi pukul 08.00, ketika matahari tengah hangat, dan kabut-kabut gunung terangkat; aku berangkat dengan gentar menapaki jalanan beton menuju sebuah bukit. Itu pagi yang benar-benar menakjubkan setelah sekian lama aku terkurung dalam perjalanan yang membosankan di atas kapal.

Dengan ucapan bismillah, kumulai langkah pertama. Kutinggalkan sekelompok mahasiswa universitas hasanuddin yang berjubel di aula pertemuan pada gedung megah tersebut. Aku melambai pada beberapa orang yang tidak ku kenal, dan mereka tidak mengenalku, mereka hanya memandangiku dari kejauhan –menerka, berharap mereka juga mengenalku, tapi tidak ada kenangan apapun yang muncul di kepala mereka. Aku hanya iseng, sebagaimana Jack yang melambai kepada orang-orang yang menonton kapal Titanic, dan berteriak; “See u again… see u again… bye bye…!” padahal tak satupun dari mereka mengenalnya, begitupula sebaliknya.

Membayangkan menjadi Jack yang telah berganti kehidupan, aku tersenyum sendiri sambil mendongak ke punggung bukit yang akan kudaki. Ia serupa anak tangga menuju surga, dan aku membayangkan di ujungnya akan ada sungai madu berkelok dengan beberapa bidadari nyasar yang sedang ritual mandi. Lalu aku terkekeh, menggelengkan kepala, dan membenahi sebotol air di dalam ransel yang terasa mengganjal punggungku. Perjalananku terus bergulir dengan bahagia.

Pagi itu aku naik ke puncak sendiri saja karena tidak ada yang punya waktu luang menemaniku. Lagipula aku masih belum mengenal banyak orang, hanya beberapa saja dari mereka yang kebetulan berkenalan di dalam mobil yang mengantarkan kami ke sini. Ya, sebagaimana orang lain yang hari-harinya diisi dengan rutinitas, berdecak heran mengenai perjalananku. Mungkin aku akan di klasifikasikan sebagai ‘pengangguran yang bangga’, tidak punya uang dan nekat, kemudian mereka bertepuk tangan.

Dan nampaknya, perjalanan sendirian menembus hutan semacam ini tidak begitu baik untuk dikerjakan. Aku baru berjalan melewati dua kali tanjakan yang lumayan, dan itu sudah cukup untuk mendirikan bulu romaku mengingat ‘aku sendirian di dalam hutan’. Sekelilingku hanyalah semak yang rimbun, kemudian tumbuhan perdu, lalu pepohonan tinggi dan besar. Semakin jauh, aku melihat hutan yang menjadi gelap. Langkah kakiku tetap tegap meskipun mataku kini sedang awas mengawasi setiap pergerakan yang terjadi –bunyi daun jatuh, gemeresak angin, dan tiupan beburungan menjadi begitu jelas ditelingaku.

Tiba-tiba guntur mengguruh di langit. Aku mendongak, menebak apakah akan segera mendung dan hujan. Tapi langit tampaknya tidak perlu dikhawatirkan. Kakiku terus melangkah, sekarang adalah jalan setapak yang becek di kanan kirinya. Tampaknya hujan semalam masih menyisakan banyak kubangan air di mana-mana. Keringat muncul satu dua dikeningku tapi aku masih belum butuh istirahat. Kuusap dengan sapu tangan biruku, dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di kegelapan hutan sana.

Kutenglengkan kepalaku mencoba untuk mendengar lebih jelas, seperti ada suara gemerincing angin pedesaan. Suara itu persis seperti lonceng-lonceng karapan sapi di sawah. Lonceng itu begitu samarnya, beriringan dengan angin dingin yang bertiup lembut di tengkukku, dan membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku tahu, aku tahu, tidak akan ada hantu pada pagi jam segini, tapi kadang ketakutan muncul tanpa bisa dikontrol oleh otak. Aku hanya cukup merasa bahwa aku ketakutan, dadaku sejenak berdegup, dan suara lonceng itu hilang ditelan cericit burung.

Suara kemudian berganti dengan lengkingan jangkrik yang bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainya. Lengkingannya cukup untuk membuat kebisingan seluruh hutan, aku benar-benar harus menutup telingaku dengan kedua tangan. Guruh kembali datang, langit masih tampak baik bagiku. Tapi kali ini aku tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan. Entah masih berapa lama lagi, katanya untuk menuju puncak hanya dibutuhkan waktu setengah jam. Dan aku baru berjalan 20 menit, mungkin sedikit lagi, 10 menit lagi.

Ketika aku melirik jam di hapeku, nyaring lonceng itu kembali datang. Aku mencoba untuk menalarnya, apakah mungkin di ketinggian seperti ini, hutan gelap, lengkingan hewan aneh, terdengar bunyi lonceng yang bergemirincing? Tidak, itu hal yang mustahil. Bahkan aku tidak pernah mendengar ada mitos seperti ini pada orang-orang yang sedari tadi bercerita di dalam mobil. Dadaku kembali berdegub. Apakah ini? Aku mulai ragu.

Tetes hujan menampakkan dirinya, satu jatuh di hape yang sedang kupandangi. Lalu kudongakkan kepalaku ke langit, dan melihat mendung yang menggumpal. Dalam sekejap, hutan semakin gelap seperti telah memasuki waktu maghrib. Entah mengappa, kakiku masih melangkah ke atas, mungkin sedikit lagi ke puncak, tapi mungkin juga, semenit lagi hujan lebat akan turun. Dan bunyi lonceng itu, apakah aku yakin bahwa semua baik-baik saja?

Tidak, aku tidak yakin. Oh tuhan, kutarik nafasku dalam-dalam. Kakiku kuhentakkan agar mau berhenti. Lalu aku menyebut nama tuhan berkali-kali, inilah kelemahan manusia. Aku memfokuskan pandangan ke arah suara lonceng itu. Kini loncengnya semakin nyaring, seperti sengaja mengarah padaku, sengaja datang ke arahku. Aku tegang, darahku seperti mengalir lebih cepat, gigiku bergemetak, ludahku kutelan, dan tanganku menggenggam seperti siap siaga. Entah apa yang akan terjadi, tapi aku tidak ingin menuju surga sekarang ini meskipun surga itu sangat menggairahkan.

Pipiku menggembung mengeluarkan nafas, aku mengingat beberapa hal pada saat seperti itu. Aku mengingat rumah, tentu saja, rumah, yang selalu menerimaku kembali, dan mengantarku pergi. Kini aku sedang berjarak ratusan kilo meter, sendirian ditengah hutan, yang tidak mungkin akan ditemukan orang dalam satu-dua hari ini. Pada jarak pandang terjauhku, kusudah melihat adanya pergerakan di semak-semak yang beriring dengan bunyi lonceng. Gerimis kemudian datang, aku benar-benar harus kembali, turun, dan mungkin meringkuk tidur di kasur yang hangat.

Tapi kakiku malah terpaku di sana. Aku menjadi ingin tahu ada apa dengan lonceng yang berisik tersebut. Hujan semakin besar, aku tidak sabar menunggu; “ayo, datang, ayo ayo ayooo…” bisikku sambil menguatkan gigitan pada gigiku sendiri. Aku seperti menantang. Dadaku semakin penuh.

Lalu lonceng itu seakan di hadapanku, kusudah bisa melihat mereka. Beberapa tubuh yang besar kecoklatan, berlari kencang. Kabut lagi-lagi mengganggu. Tubuhku kian gemetar. Duh, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku mesti lari sekarang? Toh tidak ada yang melihatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya. Aku benar-benar menunggu. Semenit kemudian, bersamaan dengan kabut yang tersingkap, aku berteriak keras-keras “Haaaaaaaaaa…..”. Sumpah, aku berteriak keras-keras seakan hendak mengusir segala ketakutan akan suara lonceng pada tubuh kecoklatan tersebut. Dan benar, mereka lari ketakutan, menyebar kemana-mana, dan aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Aku terus tertawa keras-kera sampai air mataku keluar, lalu berlari turun diiringin hujan yang kian deras. Aku belum sampai ke puncaknya, dan kurasa, aku sudah merasakan ketakutan puncakku menghadapi kematian seorang diri.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.