Skip to main content

Live In Lembaga Dakwah Kampus


Saya tidak terbiasa menulis tentang keagamaan karena hal ini tidak banyak disukai di dunia luar. Kita mesti mengakui bahwa agama, dalam banyak case, dianggap memperjauh masalah keduniawian. Betapa sering kita mendengar lontaran bahwa “agama adalah kegelapan”. Dan agama, jika di sandingkan dengan ilmu pengetahuan, akan dianggap sebagai sesuatu yang kolot, bau, kuno, dan tidak memperbaiki keadaan.  Di Ambon yang pernah terjadi perang itu, agama malah dijadikan isu pemecah belah.

Dalam film Life of Pi (based on novel by Yann Martel), seorang ayah menasehati anaknya yang bahkan memeluk tiga agama sekaligus pada satu waktu, bahwa “selama ratusan tahun ilmu pengetahuan telah membawa kita untuk lebih mengenal alam semesta dibandingkan dengan agama yang telah berusia ratusan ribu tahun”. Lihat, agama seakan-akan perkara bodoh yang seharusnya tidak untuk dipercaya. Saya takut itu keyakinan yang tidak hanya muncul dari mulut belaka. Bahwa agama seakan-akan kambing hitam dari semua ketidakmajuan yang diperoleh manusia. Agama dipandang sebagai sesuatu yang destruktif, mengenaskan bukan?

Maka kita harus menjawab semua itu. Ada beberapa lubang dalam agama yang tidak bisa kita jelaskan dengan gamblang kepada orang-orang yang mengaku atheis. Mengapa harus kita? Ya, karena kita yang mestinya faham tentang kebermanfaatan agama itu sendiri. Kita yang bergerak “seolah” menjadi tangan kanan tuhan di muka bumi ini, sekumpulan orang yang masih percaya bahwa ada tujuan kebahagiaan mutlak dari keberadaan agama; terutama Islam, yang tidak ada yang lebih tinggi darinya, adalah satu-satunya hal paling benar yang tidak bisa kita tolak.

Sebagai sebuah organisasi keislaman, lembaga dakwah kampus kita ini harus membuktikan bahwa kita manusia beragama bukanlah manusia kuno dan ketinggalan zaman. Dan benar, dalam tiga tahun terakhir, lembaga dakwah kampus universitas trunojoyo ini telah melakukan gerakan -yang menurut saya- lebih besar dari organisasi mahasiswa manapun. Saya melihatnya dari jauh, dari luar lembaga yang memang waktu itu merupakan keterbatasan saya untuk aktif di LDK. Ketika membandingkannya dengan semester pertama saya masuk lembaga ini, LDK benar-benar telah berkembang pesat.

Ditengah-tengah semangat dakwah itulah, pada semester lima saya menggabungkan diri di lembaga ini -lagi. Saya merasa menjadi anggota baru yang langsung di serahi (bahasa LDK-nya adalah di amanahi) menjadi Ketua Departemen Pers dan IT. Saya yakin pada saat saya diserahi jabatan panas tersebut, lebih dikarenakan tidak ada yang lain selain saya. Hanya saya satu-satunya orang tua dan masih ingin aktif di LDK. Saya tidak ingat tahunnya, tapi saya mengingat persis bagaimana Agil Asyrofi dengan agak gemetar membuat saya yakin bahwa Pers dan IT akan menjadi rumah saya.

Sebagai seorang aktivis kesenian universitas trunojoyo, yang secara jamak telah kita ketahui, tidak begitu kerasan hidup dengan tata cara keislaman, maka tidak heran kalau saya masih berusaha beradabtasi dengan sebenar-benarnya mencoba hidup ala lembaga dakwah kampus. Waktu itu, menjadilah saya satu-satunya orang yang bengal, tidak shaleh, dan suka mempercandakan agama islam itu sendiri. Sungguh, itu perbuatan yang tidak patut ditiru sama sekali. Namun demikian, di balik itu semua, saya sangat-sangat mencela diri saya sendiri –yang meskipun saya yakin bahwa islam adalah jalan cahaya satu-satunya, tidak bisa saya ikuti secara menyeluruh.

Tapi segala sesuatu pasti ada bagian terbaiknya, bukan? Karena dengan cara ini pulalah, saya kemudian menunjukkan kepada orang lain bahwa lembaga dakwah kampus bukan hanya tempat bagi ikhwan[1] dan akhwat saja –tentu saya menolaknya. Karena lembaga dakwah kampus bisa saja menjadi rumah sakit jiwa yang menangani pasien ‘gila’ dan menyembuhkannya. Jika kemudian orang itu sembuh, dan lalu memakai baju koko dan memelihara jenggot, itu adalah pilihan logis lainnya.

Menjadi bagian dari keluarga besar ini, akhirnya saya sadar bahwa ikut dan aktif di Lembaga Dakwah Kampus adalah sebuah kewajiban moral saya sebagai orang islam. Ini adalah organisasi yang harus dihidupkan, dan lalu menjadi harga mati untuk diluaskan. Dibandingkan organisasi kemahasiswaan lainnya, saya menganggap LDK harus menjadi ujung tombak kebanggaan siapapun yang berada di Trunojoyo. Kita hidup di tanah seribu pesantren, yang mana, pesantren adalah basis awal mula berkembangnya islam di bumi nusantara. Maka dalam diri saya waktu itu menganggap, sementara organisasi mahasiswa yang lain berbasiskan skill dan minat, di LDK mestilah berbasiskan hidup dan mati.

Lalu saya melihatnya pada banyak orang, yang santun seperti Yanuari (di masa sekarang), yang tangguh sebagaimana Agil, yang khusyuk seperti Jakfar, dan yang aneh seperti manusia Fendi. Saya meyakini, meskipun saya sendiri tidak bisa menyumbangkan sebagian besar waktu saya sebagaimana mereka, kehadiran mereka pada lembaga dakwah kampus ini telah menciptakan lombatan yang besar. Saat mengatakan ‘lompatan’ ini, saya mengingat bagaimana Newton pada masa lalu, dan Einsten pada masa yang lebih modern, telah melompatkan ilmu pengetahuan kepada sinar keemasannya. Maka, Agama Islam, ditangan mereka –semoga Allah menolong kita, akan benar-benar melesat seperti busur panah.

*

Saat tahun berganti, saya telah mencapai usia udzur untuk lebih aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Lagi-lagi saya harus menyaksikan lembaga ini sebagai outsider –yang dalam waktu yang sama saya adalah penghuni sekretariat ldk selama masa akhir studi. Saya masih bisa melihat bagaimana semangat yang begitu membara menghiasi setiap takbir. Adik-adik yang mengisi pos penting organisasi juga telah menciptakan inovasi-inovasi yang pada waktu itu sulit sekali saya membayangkannya, tapi mereka berhasil. Maka saya percaya, sungguh, bahwa islam telah kembali lahir dengan gemilang di trunojoyo.

Jadi benar bahwa lembaga ini telah menciptakan suatu kerinduan tersendiri bagi kita yang ikhlas menerima semua perbedaan dan persamaan. Lembaga dakwah kampus, andaikan saya tidak pernah mengenalnya, saya akan menjadi orang yang paling menyesal. Dan menyesal adalah suatu sikap diri yang sangat-sangat saya benci –karena saya hidup tidak untuk menyesalinya.

Makassar, 25 Januari 2013


[1] Menurut terminologi Fendi, Ikwan itu bukan sekadar lelaki, ia adalah lelaki yang sudah ditata moralnya dan pandangan hidupnya berdasarkan syariat Islam; begitu pula untuk sebutan akhwat bagi perempuan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.