Skip to main content

"Overview I" Agama dalam Life of Pi



Saya pernah membayangkan bahwa kita sesungguhnya hanyalah tokoh-tokoh rekaan sebuah novel yang kebetulan settingnya adalah di muka bumi. Mungkin ada tokoh novel yang lain yang juga hidup di belahan galaksi yang lain. Maka sama sekali tidak ada tuhan, kecuali memang tuhan hanyalah objek rekaan seorang pengarang yang menginginkan agama dan tuhan sebagai jalan keluar dari segala persoalan.

Lalu ada seorang tokoh yang dikehendaki untuk menjalani peran ganda, atau bahkan muti peran. Dengan sangat kompleksnya, bahkan pengarang mampu membuat berbagai agama dengan segala kitab sucinya. Sepertinya aku tidak terlalu tertekan dengan hal itu, toh JK Rowling juga telah membuktikan dirinya mampu membuat dunia penyihir, juga CS Lewis yang membuat dunia Narnia. Bahkan mereka mampu membuat dunia itu, dan tokoh-tokoh mereka hidup, tak ubahnya seperti kita yang memang diciptakan dari sebuah novel.

Dan yang paling saya fikirkan adalah, bagaimana kalau kemudian, pengarang kita, membuat tokoh yang menganut beberapa agama sekaligus? Menurutku, tampaknya tidak terlalu konyol untuk menjadi tokoh utama, bahkan itu lebih baik. Saya membayangkan, meskipun sepenggal, bahwa jika seseorang menganut beberapa agama sekaligus, maka ia akan bisa memahami setiap orang karena ia mempelajari kitab suci mereka. Juga lebih memahami tentang hidup itu sendiri. Saya belum mampu membuktikannya, ini hanya bayangan saya.

Lalu pada suatu malam, film Life of Pi menjawab hal tersebut dengan bahasanya yang indah. Dia berkata, “tak satupun dari kita mengenal tuhan hingga seseorang memperkenalkannya kepada kita”. Itulah dasar dari setiap manusia, kita tidak akan mengenal apapun sebelum sesorang atau sesuatu mengenalkan kita kepada apapun tersebut. Maka jika pertama kali kita mengenal agama Hindu sebagaimana Yann Martel, maka kitapun akhirnya memeluk Hindu. Hanya karena larangan keras kepada kita, umat beragama, untuk meyakini bahwa yang benar adalah agama kita saja, maka kita tidak pernah berani menyentuh agama lain; bahkan cenderung menganggap pemeluk agama lain telah salah-sesalah-salahnya. Padahal apakah yang kita punyai? Kita hanya memiliki keberuntungan dengan mengenal Islam lebih dulu, jadi, tidak alasan untuk membenci agama lain.

Yann Martel penulis novel Life of Pi ini, membuat tokoh, yaitu Pi, yang memeluk tiga agama sekaligus; Hindu, Kristen, dan Islam. Tentu saja, Pi tidak ahli dalam beragama ketiga-tiganya, karena ia mungkin hanya kagum dengan beberapa hal dalam ketiga agama tersebut. Bahkan dengan selorohnya, kemungkinan ia juga memeluk Yahudi.

Kehidupan macam Pi pasti dilatarbelakangi dari lingkungan keluarganya yang memang melonggarkan pikiran-pikiran semacam itu. Bahkan ayahnya sama sekali tidak percaya kepada agama, ia berkata tentang dewa-dewa Hindu “Jangan percaya pada kisah dan kecantikannya yang menipu”. Memang, kisah para dewa dalam agama Hindu, atau kalau kita membaca kisah Kresha, Syiwa, dan Wishnu, benar-benar memukau, juga kecantikan mereka, para dewa, benar-benar indah. Dan dengan lebih jelas menuding, ayah Pi berkata “agama adalah kegelapan”.

Bagaimana ayahnya memiliki pemikiran seperti itu? Tentu dilatar belakangi kehidupan masa lalunya juga. Bahwa ia dilahirkan dalam keadaan polio, terpuruk di dalam kamarnya saja, dan bertanya-tanya di manakah tuhan yang katanya dekat? “Ia tidak di selamatkan tuhan” Kata Pi, “Pengobatan dari Barat yang melakukannya”. Maka jadilah keyakinan ayah Pi sebagaimana tersebut. Hal tersebut, pertanyaan mengenai kehadiran tuhan di kala kita sedang sakit, menangis, adalah hal yang lumrah. Setiap orang beragama pasti pernah berfikir, atau paling tidak menemukan orang lain yang berfikir demikian. Orang-orang yang memanggil tuhan di kala mereka membutuhkannya, namun mereka merasa bahwa tuhan tidak peduli maka tuhan tidak ada. Apakah karena tuhan tidak nampak maka mereka tidak percaya?

Telah banyak diskursus mengenai keberadaan tuhan, maka saya tidak perlu menjelaskannya di sini. Yang merisaukan saya, tetap saja, bahwa Pi memeluk tiga agama sekaligus, dan ia baik-baik saja. Bahkan cenderung, ia lebih berkeyakinan dari pada seorang “writer” yang mewawancarainya, yang ingin menulis sesuatu tapi tidak memiliki ide. Dan ia di sana dalam rangka menemui “tuha” dengan dialognya kepada Pi. Pi seperti orang ahli agama yang lain; pendeta, pastur, ataupun kiyai, yang memiliki pengetahuan lebih tentang kehidupan. Pengetahuan yang biasanya haya dipercayakan kepada para ahli agama untuk menjawab persoalan-persoalan umat manusia.

Bisakan kita memeluk beberapa agama sekaligus? Apakah itu kontardiktif; melemahkan iman, atau malah sebaliknya?

“Kau tidak bisa meyakini tiga agama berbeda dalam waktu yang sama, Pi”
“kenapa tidak?”
“karena percaya pada segala sesuatu pada saat yang sama itu sama saja dengan tidak percaya apapun sama sekali”.

Melihat percakapan tersebut, saya tertawa lebar. Benar sekali, jawaban itu benar. Meskipun agak terkesan filosofis dan tidak ternalar. “percaya pada tiga agama dalam waktu bersamaan, sama dengan tidak percaya pada ketiga-tiganya”.

Masih banyak sekali hal yang ingin saya tulis dari film ini. Namun untuk sekarang, cukup tentang ini saja.

"Overview II" Masalah dalam Life of Pi

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.