Skip to main content

Seribu Tawon Lalu


Malam ini ada potongan kejadian yang bertubi-tubi menghujam tubuhku. Ambruk, linglung, dan segala muara air mata datang dengan kenangannya. Akhirnya aku harus mencoba mendamaikan diriku sendiri karena jika tidak aku pasti akan rubuh. Motor-motor berkejaran di jalanan, mataku tajam menyeruput udara yang berhembus di bawanya, aku seperti ingin kembali pada suatu masa yang tidak bertanggal dan bertanda. Hanya ada dua warna di masa itu, hitam dan putih.
Aku melambaikan tanganku dengan gugup untuk menghentikan truk yang hampir menubrukku. Aku berdecit dan truk itu duduk di depanku dengan gemulai, bagai perempuan. Dan ku kira tidak ada hubungan antara truk dan perempuan kecuali dalam pengembaraannya yang dalam, hati mereka jauh tertanam di rumpun kehidupan yang bahkan untuk kekasihnya masih tersembunyi. Truk itu lalu menerobos tubuhku dengan kekuatan penuh, aku tersengat layaknya aku pengganggu sarang tawon. Seketika aku berfikir tentang tawon, gumpalan besar sarangnya ku pegang dengan kegugupan yang sama. Truk itu berubah menjadi sarang tawon sebesar rangkulanku, mereka mendengung di tubuhku yang sekarat. Aku memikirkan taman, aku bukan taman, aku bukan bunga. Dan tawon-tawon itu tak seharusnya memperlakukanku sebagaimana kekasih yang lama tak bertemu, menghisap, mengusap, mendesah, melolong, dan lunglai. Akupun lunglai seperti telah mendapatkan malam pertamaku. Ia, seorang perempuan yang bertubuh kurus, berwajah tegas seperti warna merah, dan tangannya menggenggam erat tanganku dengan keyakinan. Aku memikirkan sesuatu, truk dan tawon? Apa hubungan mereka dengan gadis ini?
Ku beranikan diri untuk bangun dan melihat wajahnya. Ia sebagaimana lampu temaram di bulan januari ketika kulingkari sebuah tanggal merah di kalender. Ia juga seperti warna biru di pucuk pandang angkasa, ia seperti, dan ia hanya seperti karena aku tidak memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Aku merasa nyaman dan damai berbaring di sampingnya. Ada kekuatan pengacau di tubuhnya sehingga otakku menjadi blank, aku hanya merasa bahagia, entah karena wajahnya yang temaram atau karena ia jelmaan truk dan tawon. Lalu tubuhku bergoyang di tiup angin, bau harum disekelilingku membuat mataku hidup. Taman, ya, ada taman disekelilingku. Dan aku menjadi bunga adenium yang berakar seperti tubuh perempuan. Lalu, dimanakah perempuan itu? Perempuan yang kubayangkan memiliki wajah yang temaram dan warna biru di pucuk pandang, dimanakah ia? Kuedarkan pandangan, kulihat bunga mawar dengan durinya di arahkan padaku. Mengapa ia lakukan itu padaku? Matanya setajam durinya, mahkotanya ia susun dengan warna yang norak, namun tawon-tawon itu merebutkannya layaknya jiwa-jiwa yang kosong memperebutkan halusinasi kolam air di padang pasir.
Lalu aku berjalan karena sedetik kemudian aku merasa ingin pergi melihat padang pasir. Dan aku benar-benar melakukannya. Aku bukan adenium lagi dan tidak ada tawon, tidak ada mawar yang melihatku setajam durinya. Kerongkonganku terasa kering. Ah, matahari membakar daun-daunku. Akar-akarku serabut sehingga kesulitan berjalan. Lalu tanganku, aku melihat ke tanganku yang tengah menggenggam sebotol coca cola berwarna biru. Botol itu berwarna biru, dan airnya terasa seperti biru, lalu perempuan itu berenang di dalamnya dengan tubuhnya yang seksi, namun kenapa ia juga biru? Apakah dunianya penuh kebiru-biruan? Tunggu sebentar, pikiranku mengacau, ia tidak berwarna biru, tidak ada warna biru di padang pasir. Kupejamkan mata dan ku berkata pelan “di padang pasir tidak ada warna biru, tidak ada perempuan berenang dengan tubuh biru”.
Ya, ternyata benar. Tidak ada warna biru lagi, juga perempuan itu. Ia sudah tidak berenang dengan warna birunya lagi. Tapi ia tidak ada, tidak ada lagi. Kenapa tidak kutanyakan namanya? Oh, apakah aku menyukainya? Ah, ya ya, tentu tidak. Ia bukan siapa-siapa. Sebaiknya aku memikirkan ke hal-hal lain yang lebih masuk akal. Misalnya tentang good. Bagus kan? Hahaha...pikiranku ternyata tepat, siang terik itu berubah menjadi hijau daun yang rimbun. Pohon sebesar ragkulanku bertebaran seperti thor, dan aku kalah cepat dengannya. Alangkah baiknya bila aku seperti motor, ya, motor, mengapa tidak? Bukankah goodyear itu nama sebuah benda bundar berwarna hitam yang digunakan berlari oleh mobil-mobil Formula 1? Ya, aku kemudian berlari dan berubah bentuk persis seperti film transformer. Aku menjadi mobil pajero sport? Wow, berlari berlari berlari dengan kecepatan penuh sambil tertawa-tawa karena monster-monster pohon itu tertinggal jauh dibelakang. Dari spion kulihat mereka berhenti sambil menarik nafas jauh dan dalam. Daun-daun disekeliling mereka bertebaran seperti bencana alam. Mereka masih menafas jauh dan dalam, pohon-pohon di depan mereka tercerabut dari akarnya dan melayang ke tubuh mereka. Apa-apaan itu? Aku semakin kencang memacu lariku hingga nafasku tinggal sejengkal, aku sama sekali tidak melihat kaca spion karena itu mengerikan. Apapun yang ada dibelakangku berhamburan menuju ke mulut thor yang lebar. Aku tidak ingin seperti itu, aku terus memacu lariku hingga tak kurasakan lagi angin yang menarik-narik bokongku. Aku memelankan tubuh dan melihat spion yang hampir oleng, di kaca, benda-benda masih berterbangan dan semakin parah karena tanah-tanahnya mengelupas. Ah, mengapa ini terjadi? Tidak-tidak, aku ingin biru, aku ingin perempuan itu tetap bertubuh biru dan berbaring disampingku. Aku ingin melihat wajahnya yang temaram seperti matahari seperempat di sore yang cerah.
Lalu aku membuka mataku. Perempuan itu tidak lagi bertubuh biru. Matanya memandangku dengan tajam, senyumnya melumpuhkanku. Aku terpaku dan hanya bisa berbaring dengan kedamaian yang luar biasa. Perempuan itu tetap memandangku sambil tersenyum. Aku ingin menjadi perempuan itu, ia memiliki mata yang indah.
Seketika kudapati pisau-pisau menancap dimukanya yang kuning. Darahnya begitu segar dan melumuri bibirku dengan asin. Mataku menatap matanya, matanya melayang dan mataku seperti bercumbu dengannya dalam waktu yang tidak ada batas, seperti berhenti, seperti selamanya. Aku gelagap, nafasku membiru menyusun rangkaian mutiara heksagonal dalam bion-bion air yang terbawa udara menuju matanya –indah sekali. Aku ingin memiliki matanya, biar kupasangkan di bagian mataku yang jelek. Juga hidungnya yang mencung akan kupasangkan dengan hidungku agar mereka kawin dan beranak yang manis. Sayang, biru matamu menelanku kini. Tak kudapati truk dan tawon memperebutkan diriku, juga dirimu yang serupa asap membumbung.
Kita hilang dalam persamaan kuadrat antara ruang dan waktu yang absurd. Kita berdiam dalam jarak dan merenungi bagaimana pertemuan dan perpisahan. Kita kembai menjadi jiwa-jiwa, api yang membakar, menjadi jilat, menjadi ricik...
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintamu harus menjadi aku.
Maka aku kembali pada jalan yang menjadikanmu seperti temaram dan laut biru. Biarlah kau berenang dalam botol minuman berenergi dan menjadi warna yang membimbingmu dalam hilang. Selamat tinggal.

Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.