Skip to main content

Kereta Ekonomi Part 1


Benar kata beberapa teman saya bahwa kereta api telah diperbaiki kualitasnya. Kemarin, sebuah perjalanan yang cukup menyenangkan membuat saya yakin bahwa kereta api di indonesia memang menuju perbaikan yang hebat. Sungguh tidak pernah saya sangka, melihat kondisi indonesia yang seperti tidak pernah beranjak dari “kesakitan”, kereta api kelas ekonomi mampu memperbaiki dirinya sendiri.

Pertama naik kereta api ekonomi, dahulu, ketika saya  ke Jakarta. Bermodal uang pas-pasan, saya berteman dengan beberapa pemuda yang terlihat seperti berandal jalanan –rambut panjang, anting, dan beberapa tato yang memenuhi lengannya. Saya berkenalan di warung kopi dekat Mushola stasiun, lalu diajak naik kereta Kertajaya jurusan Surabaya-Jakarta. Dua orang itu membawa setumpuk koran bekas dari rumah. Sebagai orang yang tidak berpengalaman, nyaris saya menyerahkan hidup saya di kereta kepada orang tersebut. Mulai dari tidak membeli tiket kereta hingga berjuang menghindari kejaran petugas pemeriksaan.

Yang tidak kuduga kemudian, mereka menyulap tempat yang paling mengerikan di kereta api menjadi hotel kelas melati. WC, water closed yang pesing itu dilapisi bertumpuk-tumpuk koran mulai dari lantai hingga dinding setengah badan, lalu minyak wangi botolan seharga Rp 2.500 ditabur mengelilingi ruangan. Jadilah, bau busuk berganti minyak wangi. Kami duduk disana, saling bercerita perjalanan, dan saling menjaga (melongok keluar) dari petugas karcis.

Dan untuk ke sekian kalinya, saya kembali melakukan ritual perjalanan ke Jakarta dengan kereta yang sama –Kertajaya- namun berbeda kualitasnya. Pertama kali naik, yang saya lirik adalah WC, rupanya airnya terus mengalir memenuhi bak kecil berwarna hitam. Dada saya langsung plong karena saya tidak perlu takut untuk minum terlalu banyak karena stok kamar kecil tidak akan kehabisan.

Sayapun tidak perlu ikut berdesakan seperti dulu. Dengan santai saya menaiki kereta setelah semua orang berada di dalamnya. Setelah memilih gerbong, dalam hitungan detik saya menemukan pendaratan yang sempurna -12E, dengan dua cewek cantik di depan saya. Sayangnya, saya tidak punya pengalaman dengan hal begituan, jadilah cuek sepanjang jalan.

Hal yang menggelikan terjadi ketika kereta yang saya naiki memasuki Bojoegoro. Tiba-tiba tiga penjual nasi tergopoh-gopoh memasukkan nasi+sayur+lauknya ke bawah tempat duduk kami. Otomatis kami mengangkat kaki tinggi-tinggi sambil menghindari dengusan nafas penjual yang seperti di buru. Mereka langsung saja duduk mendesak kami tanpa pamit. Katanya ada pengawas yang sedang melakukan razia. Waduh, ternyata di kereta api ekonomi sekarang, penjual di larang berkeliaran ya? Saya baru tahu.

Beberapa menit tanpa terjadi apa-apa, ketegangan berangsur menurun. Ibu-ibu bongsor penjual nasi itupun menarik-narik jualannya dari bawah kursi. Salah satunya, orang yang tepat disebelah saya, berteriak memaki-maki. Saya kaget, dua cewek cantik didepan saya juga ketakutan. Ada apa?

“Waduuuh, lha iki kok daganganku utah kabeh… gara-gara Mak Ti iki, kurang ajar, juancok…!!!” (Waduuh, lha ini daganganku kok tumpah semua, gara-gara Mak Ti ini, kurang ajar, juancok…!!!).

Luar biasa kacau sore itu. Sandal saya yang habis saya cuci bersih itu sekarang tidak karuan, berlumur pecel dan sayur mayur. Kayaknya saya bisa merasakan tangisan si Ibu itu. Tapi bagaimanapun saya kecewa karena setengah jam kemudian, si ibu itu datang lagi dan terang-terangan bicara “Alhamdulillah, habis tumpah itu mas, malah laku sepuluh bungkus…!” gubrakkk!!!! Apa-apaan ibu ini. Saya jadi kecut, malas yang mau beli nasi begituan. –ini bukan berarti saya menyarankan untuk tidak membeli lho ya…

Setelah itu, saya berusaha untuk tidur meskipun hati agak sedikit tidak tenang. Lha saya tidak pernah bercermin bagaimana muka saya kalau tidur, sedangkan didepan saya ada dua orang yang menggelisahkan hati. Hm…saya berdoa semoga dua cewek itu juga cepat tidur agar saya bisa menikmati tidur berselimut gerbong kereta ekonomi.

Kereta Ekonomi Part 2

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.