Skip to main content

Mengenang Komunikasi '08


Suatu saat aku akan kembali ke persimpangan itu, bertemu dengan kalian lalu menjabat tangan. Sungguh, impian ini begitu menggebu. Aku sekarang tidak lagi sabar bagaimana aku wisuda lalu pergi berkelana lagi. Istilah berkelana rasanya tidak tepat juga. Ah, bersama orang-orang yang akhirnya begitu menghargaiku rasa-rasanya menyenangkan. Kalian masih ingat ketika masih semester-semester awal? Aku selalu menyangka bahwa aku akan bisa melampaui ini semua sendirian.

Aku melihat sekeliling yang begitu ramai. Kelompok-kelompok mahasiswa begitu menggoda namun terlihat menjijikkan. Bagaimana bisa hidup itu harus didasarkan pada hubungan-hubungan yang terintegrasi dengan segala mood dan kelakuan. Bahkan sekumpulan orang itu mampu menciptakan relasi sesamanya melebihi keluarganya. Itu bukan sekedar komunitas dimana sesama anggotanya terikat dengan hobi yang sama –atau seperti sebuah organisasi yang mengikat anggotanya dengan AD/ART. Itu hanyalah sekelompok orang yang kebetulan dipertemukan oleh keadaan, kemudian mereka memandang bahwa ada berbagai kecocokan.

Lihatlah, aku tidak memiliki apa yang kalian ciptakan itu. Aku lebih merasa bahwa hidupku sendiri mampu kuputuskan dengan pemikiran dan hatiku. Dalam teori komunikasi, aku tidak mempercayai komunikasi kelompok semacam itu. Bahkan, kelompok kalian bukanlah sebuah kelompok sebagaimana yang dibahas dalam komunikasi kelompok. Kalian hanyalah sekumpulan orang yang tiba-tiba bertemu, memiliki komitmen untuk makan bareng, ngopi bareng, pergi kuliah bareng, mengerjakan tugas bareng, merencanakan sesuatu bareng, nyanyi bareng, menyukai hobi temennya yang lain juga bareng.

Aku menyangka bahwa kalian tidaklah percaya diri dengan kehidupan kalian sendiri. Kalian tidak percaya dengan kekuatan kalian sendiri sehingga membutuhkan orang lain yang mampu mempercayai diri kalian. Kalian membutuhkan orang lain untuk menegaskan bahwa kalian ada. Kalian ingat? Itulah teori kebutuha Maslow –eksistensi diri merupakan kebutuhan tertinggi dari manusia.

Sebenarnya aku tidak ingin munafik membicarakan ini. Sepertinya Maslow dalam menciptakan konsep tersebut juga sudah meneliti ribuan orang sehingga kita yang di Indonesiapun kemudian membenarkan teorinya. Begitu pula aku, yang diam-diam sebenarnya sedang mencari celah bagaimana aku akan memasuki komunitas kelas kita lalu menjadi tenar. Awal itu, aku tidak memiliki kesempatan yang baik sebagaimana –mungkin aku perlu menyebutkan beberapa : Mas Shohib, Hasin, Rasyid, Yuliana, dan Defy. Merekalah raja kelas kita, memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan eksistensinya terlebih dahulu.

Orang yang waktu itu terasa terintimidasi adalah Rose Dian. Aku mengenalnya dengan baik sebagaimana aku mengenal Desy. Dua orang yang sebenarnya menjadi incaranku. Jangan salah sangka, aku mengincar orang-orang yang penyendiri, pendiam, dan orang-orang yang terkena penyakit inferioritas. Desy bukan termasuk dalam kategori terkena inferioritas, bahkan dia lebih dewasa dari yang lain sehingga ia bisa tenang menjadi dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan Dian yang benar-benar kehabisan waktu untuk berangkat lebih pagi ketika kuliah. Dia selalu telat dan dengan alasan yang sama “rumah jauh” dan dia secara spesfik menyebut nama kecamatannya “Arosbaya” sehingga dibuat gojlokan oleh teman-teman. Aku masih ingat yang paling banter ketawanya adalah Defy –waktu itu aku belum mengenalnya sebaik sekarang.

Sejak mata kuliah English for Communicatin, pandangan anak komunikasi terhadap Diam mulai berubah. Dian dengan setengah lancar melafalkan bahasa inggrisnya dalam sebuah presentasi. Aku duduk di depan waktu itu sehingga aku tahu persis. Kemudian aku melihat sekeliling dan orang-orang seperti berbisik kagum. Entah pada semester berapa, Dian kemudian memutuskan memakai jilbab dan melepaskan kawat giginya yang mengganggu. Aku tidak ingin mengatakan bahwa cara pandangku beda, tapi seluruh teman komunikasi juga berbeda. dan yang paling terobsesi ku kira adalah orang menertawakannya keras-keras waktu itu, yap betul, dialah Defy. :-peace

Desy menjadi teman pertamaku, dan Dian semakin jauh karena jarang kelihatan di kelas. Desylah yang membelikanku sebuah buku tulis yang seumur-umur tidak pernah terbayang dalam benakku, namanya Binder kan? Begitu asing, dan aku begitu terpukau. Hingga saat itu aku hanya menulis pelajaranku di kertas-kertas folio yang ku staples. Setelah itu, aku memiliki pemikiran bahwa “jika selama satu minggu aku fokus belajar dan merangkum satu mata kuliah, maka dalam waktu delapan minggu aku akan mampu menguasai seluruh mata kuliah”. Memang terlalu bersemangat, terlalu percaya diri, dan terlalu mengentengkan permasalahan. Nyatanya, aku telah merangkum buku Pengantar Ilmu Komunikasi (Kitab Suci Komunikas kata dosen waktu itu) karangan Prof. Deddy Mulyana. Jadi waktu itu, sebelum orang-orang satu kelas mengenal apa itu komunikasi, aku telah mempelajari bagaimana kegagalan teori komunikasi. Aku merasa sudah tahu, meskipun aku juga mengerti bahwa aku harus mengecualikan beberapa orang seperti : Rasyid dan mungkin saja Yuliana

Mas Shohib dan Hasin : aku yakin mereka hanya menggunakan dasar logika dan realitas dalam memahami teori komunikasi selama masa kuliah. Tidak seperti Rasyid yang mampu menghubungkan teori komunikasi plus realitas dengan apik, mencari permasalahannya sekaligus mencoba berbagai macam solusi. Ah, aku belum menemukan orang sebegitu cerdas selain dia. Mengenai Yuliana, akhir semester dua barulah muncul orang seperti apa dia itu. Oya, aku seperti melupakan mengenai Chuswatul Hanifah (Ifa) dan Mawaddah.

Chuswatul Hanifah tidaklah secerdas Yuliana. Mawaddah juga tidak secerdas Ifa. Jadi rating anak komunikasi menurutku adalah :
Berdasarkan kecerdasan :
1.    Rasyid
2.    Yuliana Setia Rahayu
3.    Rose Dian
4.    Sultony Dwi Firmansyah
5.    Chuswatul Hanifah
6.    Ayu Primanda
7.    Mawaddah
8.    Shohib
9.    Hasin
10. Fathul Qorib
Berdasarkan kepandaian
1.    Rasyid
2.    Shohib
3.    Yuliana Setia Rahayu
4.    Hasin
5.    Fathul Qorib
6.    Chuswatul Hanifah
7.    Ayu Primanda
8.    Mawaddah
9.    Sultony Dwi Firmansyah
10. Ahmad Syarifuddin
Berdasarkan Popularitas (Semester 1-3) 
1.    Defy Firman Al Hakim
2.    Yuliana Setia Rahayu
3.    Mariyanti
4.    Ayu Primanda
5.    Rasyid
6.    Mawaddah
7.    Chuswatul Hanifah
8.    Halimatus Sa’diah
9.    Aza (Hanya karena dia cowoknya Mas Citra sebagai Ketua Himakom)
10. Agung Setia Rahayu – Eh kliru, Setia hadi
Berdasarkan kebaikan padaku (ngacau :-p)
1.    Yuliana setia Rahayu (akhir semester 3 – 7)
2.    Mawaddah (akhir semester 3 – 7)
3.    Defy Firman Al Hakim (Semester 5 – 6)
4.    Halimatus Sa’diyah (akhir semester 1 – 4)
5.    Chuswatul Hanifah (akhir semester 1 – 3)
6.    Desy Purwati (Semester 1-2 –masa-masa tersulit dalam kuliahku)

Sekarang waktunya bercerita tentang orang yang paling baik kepadaku, Yuliana. Sebelumnya harus didahului oleh pernyataanku “Aku mengaguminya”. Dan ku kira itu saja, karena menceritakan mengenai seseorang yang kau kagumi lalu pelan pasti meninggalkanmu adalah sesuatu yang menyakitkan bukan?
Ah, aku lelah, sebaiknya ini saja, maafan bagi teman-teman yang tidak terdokumentasikan dalam catatan ini. Terimakasih saja.

Comments

  1. Rosedian, sepurane seng katah nggeh. ngapunten. Aku ketawa lepas sebenarnya untuk menghiburmu, agar ruang kelas jd riang. Seriang senyummu (aslinya). Intrepetasi Qorib kayaknya minta diinstal ulang. sini Rib, tak kecup mbun-mbunanmu. Terimakasih sudah menuliskan ringkasan kisah saat kuilah. Terimakasih atas ratingnya (padahal aku gak merasa populer, yang populer itu leli omplong). Apapun kisah dahulu, sekarang dan nanti, kisah tetap kisah. Toh kita pernah menjadi manusia anti racun saat se-Fisib keracunan makanan pas Ormasib. hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.