Skip to main content

Monumen Nasional Jakarta

Monumen nasional yang menjadi lambang ibu kota jakarta memang tidak begitu ramai dibicarakan. Hingga sekarang, keinginan untuk mengunjungi monumen nasional tidak begitu menggebu sebagaimana keinginan saya melancong ke daerah lain. Ini mungkin juga berarti bahwa jakarta (indonesia) merasa sudah cukup dalam mempromosikan wisata monumen tersebut. Padahal di dalamnya terdapat berbagai macam kebanggaan indonesia, khususnya terdapat museum yang mampu menceritakan sejarah Indonesia. Inilah yang seharusnya di jual dan menjadi nilai tambah, bukan hanya sebagai ikon pariwisata Jakarta, namun juga bernuansa pendidikan nasional.

Meskipun tanpa keinginan yang berarti, saya akhirnya menyempatkan diri mengunjunginya di panas kota Jakarta. Tepat dihari kepulangan saya ke Lamongan, pagi jam 09.00 saya mengunjunginya melewati Pasar Senen yang ramai. Kebetulan saya bisa pinjam sepeda motor dari seorang supir yang baik di wilayah Tampak Siring. Akhirnya meluncurlah sepeda motor saya ke jalanan kota Jakarta. Menggunakan sepeda motor kadang menjadi dua pilihan yang berkebalikan : panasnya luar biasa apalagi ketika Lampu Merah yang mencapai 120 detik, namun menjanjikan perjalanan yang lebih mengesankan mengingat wisata kota jakarta satu-satunya adalah kepadatan dan gedung bertingkatnya.

Bagi orang yang pertama datang, jika tidak menggunakan jasa pemandu wisata, cenderung akan terjebak mencari pintu masuk museum. Disana tidak ada papan petunjuk khusus mengenai tempat masuk pertama, atau tempat pertama untuk memulai wisata Monumen Nasional. Saya pun begitu, hanya karena kebetulan menemukan sebuah papan biru bertuliskan “Pintu Masuk”, entah disebelah mananya monas. Sepeda saya parkir dekat pintu masuk. Hebatnya, saya mencari-cari petugas parkir namun tidak ada. Saya sampai ragu apakah tempat parkir yang saya tempati ini legal atau tidak. Ini juga tidak biasa di negeri Indonesia, melihat dimanapun terdapat tukang parkir yang menarik bayaran, mulai dari restoran, pasar, toko, bahkan di Masjid sekalipun.

Setelah melihat sekeliling dan merasa aman-aman saja, saya mencari-cari papan petunjuk yang lain dimana pintu masuknya. Saya sebagai orang yang baru kesana ingin segera mendatangi badan monas yang tinggi besar. Namun saya masih penasaran dengan tulisan “pintu masuk” tersebut. Akhirnya saya menunggu, lalu kereta warna-warni datang membawa puluhan anak kecil sambil guidenya nyerocos : yah, disamping kiri adik-adik adalah pintu masuk menuju gedung monumen nasional bla…bla…bla (seterusnya saya tidak butuh).

Pintu masuk ini memang terlalu jauh dari monas dan tidak terlihat sama sekali dari jauh. Jelas-jelas pintu ini tidak masuk akal, tulisannya pun kecil. Akhirnya saya masuk, menuruni tangga, dan sampai pada terowongan sepanjang ±200 meter. Disana berkumpul orang-orang yang juga celingukan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Saya melihat-lihat lagi, diseberang ada dua loket tersedia, untuk pelajar (Rp 1.000) dan untuk umum (Rp 2.500). Saya mendatanginya dan membayar Rp 2.500 untuk tiket dewasa. Eh ternyata kurang Rp 500. Lho, jadinya Rp 3.000 dong? Korupsi lagi nih. Meskipun harga “murah sekali”, tetap saja saya tidak enak, masak hal begini saja di korupsi.

Lalu sayapun naik tangga dan sampai dipelataran lagi. Jaraknya sekarang tinggal 50 meter dari Monas. Lalu tiket disobek dan saya masih harus berjalan untuk masuk ke dalam museum melewati relief-relief kerajaan majapahit. Tidak ada yang menarik disini karena udaranya yang panas. Sambil cepat-cepat saya berjalan dan masuk ke ruang bawah tanah lagi. Disini lebih adem karena AC menyala normal. Lumayan. Disana, sepanjang sisi tembok terdapat diorama mengenai sejarah kemerdekaan RI. Lumayan bagus dibandingkan diorama di tempat pariwsata sejarah yang lain karena saya lihat, pada saat itu ada juga petugas kebersihan yang masuk ke dalamnya dan membersihkan patung-patung dan perangkatnya.

Diorama
Ruang Museum yang Berisi Diorama
Diorama Ibu Kartini

Menyenangkan ketika melihat negara ini dirawat dengan baik begitu, andaikan kementrian dan DPR dirawat seperti ini (ngayal). Setelah berkeliling melihat diorama yang bagus-bagus, akhirnya saya naik ke tagga berikutnya. Ternyata disana saya mesti bayar karcis masuk lagi. Jadi yang Rp 2.500 (bayar Rp 3.000) tadi itu hanya tiket museum? Hah, ku kira sudah lengkalp semua sampai ke puncak monas.

Di loket ini saya mesti bayar Rp 7.500 (tanpa korupsi) untuk dewasa, sedangkan untuk pelajar dan anak-anak harus bayar (Rp 2.500). Saya naik ke atas dan kembali ke pelataran yang lebih benar –pelataran monumen nasional yang lebar. Di atas saya lihat sayap monas yang berbentuk miring 750. Dengan keadaan yang keren itu, saya dihadapkan pada antrian yang panjang. Wah, menjengkelkan kalau begini. Padahal sudah jam 11.00 dan saya mesti balik ke Lamongan jam 15.00. Mau tidak mau antrilah saya dari pukul 11.00 hingga pukul 12.00. Lama sekali. Diujungnya ternyata dari tadi saya mengantri untuk naik lift menuju ke tempat paling atas dari Monas.

Tiket Untuk Naik Ke Monumen Nasional
Antrian Mengular

Dari sana, Jakarta terlihat luas dengan gedung-gedung yang megah. Tidak ada yang menyadari bahwa kita tengah ditipu karena Jakarta tidak hanya terdiri dari gedung bertingkat. Bahkan Jakarta memiliki jumlah lingkungan kumuh terluas di indonesia. Saya menjadi ngeri sendiri melihat Jakarta yang mempercepat pembangunan kawasan perumahan yang hanya orang kaya yang bisa menghuninya. Akan kemakah angin berhembus? Didada orang kayakah?

Monumen Nasional, adalah sejarah bangsa Indonesia. Didalamnya, ada kebanggaan dan juga kengerian. Indonesiaku, sembuhlah.


Pemandangan Kota Jakarta dari Atas Monumen Nasional

Bukan Promosi, tapi Jakarta benar-benar panas, jadi membawa minuman dingin adalah ide semerlang


Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.