Skip to main content

Pencarian



Saya pernah mencari-cari kebenaran ini, dan tidak mendapatkan pencapaian apa-apa kecuali keyakinan bahwa kebenaran itu seringkali abstrak. Abstrak yang saya maksud bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami atau bahkan sesuatu yang tidak ada. Saya berfikir, kebenaran itu hadir dalam setiap diri manusia, tetapi manusia tidak mampu melihatnya dengan baik karena keinginan berfikirnya yang selalu berada di zona aman. Karena keraguan ini membuat kebenaran mengabut, lalu kita hidup seperti begitu saja tanpa mempertanyakan kebenaran lagi.

Doktrin Protagoras, yang menyebut bahwa ‘manusia adalah ukuran segalanya’ mungkin bisa meyakinkan bahwa kebenaran itu ambigu. Jika ukuran segala sesuatu adalah manusia, maka setiap individu bisa menggunakan ukuran tertentu yang berbeda-beda. Russel memiliki interpretasi yang agak menyengat untuk memahami doktrin Protagoras. Katanya, doktrin itu bersifat skeptis yang didasarkan pada indera yang cenderung menipu (Russel, 2016). Maka kita bisa maklum bahwa: langit berwarna biru, cakrawala memiliki batas, bumi datar, hingga cahaya berpelangi, adalah tipuan-tipuan nyata kalau kita tidak mengenal ilmu pengetahuan.

Berdasar itu, maka kita harus mencari kebenaran sendiri untuk diri sendiri –bukan untuk dipamerkan. Analoginya mungkin seperti pengertian Nabi. Bahwa Nabi mendapatkan wahyu (kebenaran) untuk dirinya sendiri, bukan untuk disebarkan sebagaimana para Rasul. Karena itulah saya akhirnya mencari-cari cara bagaimana saya menemukan kebenaran, meskipun kisah pencarian ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Perjalanan saya mencari kebenaran adalah murni pencapaian individual saya sebagai manusia yang selalu ingin belajar. Maka saya tidak menerima cemoohan apalagi pujian, karena perjalanan kita bisa jadi berbeda bahkan bertolak belakang. Dan satu hal, kebenaran bagi saya masih menapaki jalannya yang ramai.

Lagi pula, kebenaran yang saya ingin cari bukanlah kebenaran yang digunakan untuk mengukur dunia ini. Bahkan mungkin sekali kebenaran yang saya dapatkan di sepanjang perjalanan tidak bermanfaat bagi banyak orang, kecuali diriku sendiri.

Hal yang paling tampak dari diriku ketika mencari kebenaran ini adalah dimulainya perjalanan menyendiri ke kota-kota asing di Indonesia. Waktu itu saya selesai membaca Musashi dan melihat bahwa seorang ahli pedang malah mengambil kebijaksanaan dari ‘jalan pedangnya’. Maka kebenaran itu tidak biasanya tampak pada sesuatu yang apa adanya. Bahkan kekerasan yang biasanya dihasilkan oleh pedang, pun menimbulkan kebijaksanaan bagi Musashi. Yang saya tiru dari Musashi bukan di bagian pedang dan kekerasan, tapi kenyataan bahwa saya harus melakukan perjalanan. Maka malam itu selesai membaca, saya tidur, dan keesokan paginya mulai berjalan ke barat.

(time skip)

Setahun kemudian, perjalanan saya malah sampai di ujung timur Indonesia. Waktu itu, saya sangat tidak percaya pada sistem yang dibuat oleh manusia. Logikanya sederhana, siapapun presidennya, kehidupan saya dan masyarakat sekitar akan sama saja. Siapapun yang jadi menteri pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia selalu diibaratkan ikan yang dituntut memanjat pohon (lihat video di Youtube). Dan siapapun kita tidak akan bisa menembus sistem yang kompleks di pemerintahan atau lainnya, kecuali punya link dan punya uang. Dengan pandangan seperti itu, saya hanya mempercayai satu hal : membuat komunitas kecil yang berguna bagi orang sekitar.

Waktu berjalan dan saya banyak menyadari bahwa orang-orang yang memiliki pemikiran seperti saya teramat banyak, tetapi mereka juga berharap bisa hidup dari komunitas itu. Masalahnya kemudian, orang-orang yang ingin membentuk komunitas peduli, kebanyakan dari golongan pemuda yang belum bekerja, masih menjadi mahasiswa, atau pengangguran akut. Lalu komunitas itu lama-lama bubar karena mereka harus menapaki realitas: sandang, papan, pangan, dan jodoh. Lalu komunitas ini dianggap sebagai idealisasi pemikiran yang tidak realistis. Intinya adalah untuk membangun komunitas yang bisa eksis dan konsisten, dibutuhkan dana yang tidak sedikit, entah itu dari sumbangan atau dari kantong sendiri. Tanpa uang, komunitas hanya berakhir dalam diskusi tak berkopi.

Lalu saya sembari membuat komunitas yang lain, bekerja sebagai wartawan. Sebagai anak komunikasi, saya melihat jurnalis adalah sosok yang mendekati kebenaran. Dianggap sebagai sosok yang menggerakkan pilar ke empat demokrasi, maka jurnalis adalah pekerjaan ideologis yang ideal bagi saya untuk mencari kebenaran. Jurnalis adalah antitesis dari kekuasaan, di mana ada kuasa absolut, di situ jurnalis berdiri bersama masyarakat. Sudah cukup bagi saya sejarah mengenai jurnalis yang menentang penjajahan di Indonesia, lalu menyebarkan pamflet perlawanan dibantu radio bawah tanah untuk mengabarkan kemerdekaan di nusantara. Maka pekerjaan apa lagi yang lebih mulia dibanding menjadi wartawan?

Saya mengesampingkan pengetahuan bahwa media massa di Indonesia gampang dibeli –saya tahu tapi abai. Saya masih yakin bahwa seterjual-belinya media massa di Indonesia, di sana masih tersisa kontrol sosial, penjaga gerbang kebebasan, dan sumber informasi harian yang tidak ada habisnya. Maka saya bekerja dengan sungguh-sungguh di media massa, mempelajari bagaimana menjadi wartawan yang berguna, baik secara teknis maupun ideologis, saya dalami semuanya. Dan tentu saja, pengetahuan dan pengalaman ini sangat kurang –maka jangan diprotes. Sampai sekarang pun, saya masih belajar bagaimana jurnalis yang baik itu harus bertindak.

Perjalanan menjadi wartawan sungguh teramat panjang dan melelahkan. Ternyata kita tidak bisa menjadi penjaga kebenaran selama media massa masih mengandalkan iklan pemerintah dan lembaga atau organisasi lainnya. Dengan mudahnya, media massa digunakan sebagai alat meraih kekuasaan dan mengolok-olok demokrasi karena bisa dibeli seenaknya. Bagaimana cara membeli media? Tidak diperlukan memiliki uang triliunan untuk bisa menyebarkan gagasan buruk di media massa, kita hanya perlu menyiapkan Rp 500 ribu atau Rp 5-15 juta untuk tambil di halaman utama, maka gagasan kita bisa dimuat kapanpun.

Media massa sebagai perusahaan cenderung tidak membatasi jumlah iklan sehingga siapapun yang punya uang akan dimuat. Pertimbangan satu-satunya dari media massa biasanya adalah kepentingan personal pemilik perusahaan, jika aman maka meluncurlah jutaan iklan itu. Karena itu, jurnalis sebagai jalan mencapai kebenaran agak berlebihan. Semakin lama berada di media massa, saya semakin tahu bahwa sulit mencari wartawan yang betul-betul membawa kredibilitasnya di segala tempat. Bahkan organisasi wartawan pun tidak banyak berperan dalam membentuk mental pejuang di kalangan jurnalis. Karena itu, saya kemudian mencari jalan lain yang mungkin bisa lebih membanggakan saya sebagai manusia.

Prinsip saya sederhana: jika tidak bisa memberi manfaat besar kepada masyarakat, paling tidak jangan mendukung upaya menjerumuskan masyarakat kepada sesuatu yang palsu.

Jalan lain ini adalah sebuah pendidikan. Maka, dengan luka hati yang dalam saya harus meninggalkan Papua yang telah memberikan kehidupan kedua kepada saya. Maka rencana kemudian bergulir pada keinginan melanjutkan kuliah dan menjadi anak yang baik dengan lebih sering menjenguk orang tua. Beberapa kesadaran mengenai pentingnya keluarga memang saya dapatkan di perantauan. Dan saya bahagia dengan kenyataan itu. Lalu nasib membawa saya ke sana-kemari hingga kembali menjadi wartawan di malangvoice.com. Dua tahun menjadi wartawan di Malang, dua tahun itu pula akhirnya saya lulus Magister Ilmu Komunikasi dan dengan sedikit terlunta-lunta, akhirnya saya menjadi dosen.

Mengapa mengajar di lembaga pedidikan menjadi pilihan? Meskipun samar, mestinya lebih jelas bahwa dunia pendidikan merupakan kebutuhan satu-satunya masyarakat modern yang tak tergantikan. Saya percaya bahwa dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, bisa mencetak generasi yang lebih baik. Meskipun banyak sekali yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan di Indonesia, tapi paling tidak mengenyam dunia pendidikan masih lebih baik dibanding dengan tidak sama sekali. Di pendidikan tinggi saya akan lebih banyak belajar mengenai ‘apa yang seharusnya’, dan mengajari mahasiswa ‘bagaimana seharusnya’.

Setelah saya dan mahasiswa paham apa yang seharusnya bagi dunia ini, barulah kita menghadapi kenyataan yang semrawut, tapi dalam kerangka pembelajaran yang taka da habisnya. Terutama yang menarik di pendidikan tinggi adalah banyak teori yang bagi sebagian besar orang menjengkelkan, tidak berguna, atau irrelevant, malah sangat memukau. Saya malah yakin, bahwa dengan memelajari teori, kita akan lebih paham tentang kehidupan ini. Misalnya, dengan memahami Teori Komunikasi Antar Pribadi, maka kita akan berkemampuan memiliki pacar yang banyak. Atau dengan memahami Teori Jaringan, maka kita bisa menentukan siapa orang yang paling berpengaruh di suatu kelompok, sehingga politisi tidak perlu menebar uang ke setiap anggota masyarakat agar dia dikenal atau dipilih.

Teori-teori yang saya pelajari membawa saya ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup itu sendiri. Dalam banyak hal, saya selalu terselamatkan, misalnya saya memahami beberapa konsep relasi laki-laki dan perempuan, otak laki-laki dan otak perempuan, sehingga kehidupan percintaan saya menjadi tidak pernah membosankan. Saya juga akhirnya harus membaca prinsip jurnalisme yang ketat, filsafat bahasa yang berhubungan dengan hermeneutik, wacana, framing, semiotik, hingga menikmati fakta-fakta sosial yang dikupas menggunakan teori komunikasi dalam beberapa jurnal, prosiding, dan buku-buku. Berada di dunia pendidikan bagi saya adalah surga karena saya tidak perlu membentuk komunitas baca atau kepenulisan, karena semua tersedia di dalamnya.

Di atas segalanya, kepuasan mendasar saya terhadap kebutuhan akan kebenaran agak terpenuhi. Saya tinggal memantik semangat mahasiswa, membuat mereka bergolak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, membuat mereka memiliki kesadaran yang lebih tinggi, atau saling silang pendapat demi mencari solusi suatu persoalan; maka kebahagiaan saya tampaknya sudah selesai. Mungkin bagi profesi lainnya, dunia pendidikan tidak ada artinya karena hanya mengajarkan sesuatu yang tidak berguna. Memang ada benarnya karena tidak sering mahasiswa mendapatkan kesadaran ketika perkuliahan berlangsung. Mahasiswa seringkali mendapatkan pencerahan malah ketika berorganisasi atau diskusi atau ngobrol di warung kopi.

Tetapi sekali lagi, tanpa kuliah, orang yang berada di warung kopi kebanyakan tidak akan membahas tentang filsafat atau persoalan sosial dengan sistematis. Tanpa kuliah, seorang pemuda tidak akan berfikir tentang pemerataan pendidikan, pengentasan kemiskinan, tumpulnya hukum  dan tentu saja, tidak akan membahas Teori Perubahan Sosial. Maka tanpa kuliah, kita sebenarnya hidup berdasarkan pengalaman saja, yang mana pengalaman manusia amat terbatas untuk menjelaskan kondisi sosial yang maha luas ini.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.