Skip to main content

Ruang Kelas



Pikiran-pikiran manusia intelektual perguruan tinggi di Indonesia mudah ditebak : kubus, berisi coretan yang tidak teratur, keras seperti kursi kayu, pendiam seperti anak semester satu. Pikiran-pikiran kita dibatasi hanya 8 x 9 meter dan tidak boleh keluar dari ruangan itu. Dosen setuju dan merasa aman jika pikiran seluruh anggota kelas tidak liar, mengikuti metode yang telah dipatenkan dengan argumentasi kaku yang tak (boleh) terbantahkan.

Semua berjalan sesuai dengan kontrak kuliah, dan yang boleh melanggar kontrak hanyalah dosen. Keterlambatan mahasiswa adalah amunisi bagi dosen untuk marah sepanjang 3 SKS pertemuan, yang akhirnya membuat seluruh kelas terlihat bodoh dan terancam. Sedangkan keterlambatan dosen bisa dimaklumi; dosen itu sibuk dan banyak aktivitas yang tidak bisa dikalahkan oleh ruang kelas.

Pendidikan semacam ini adalah versi terbaik dari yang pernah didapatkan mahasiswa sepanjang masa. Untungnya, perjalanan kuliah semacam itu sudah dilaksanakan selama ratusan tahun. Karena itu tidak akan ada yang protes. Sebagai mahasiswa kita akrab dengan kejadian-kejadian tersebut sehingga tidak memermasalahkannya. Kita selalu menjadi asing terhadap rutinitas, karena itu rutinitas harus digugat karena tidak menumbuhkan kekritisan se-senti pun.

Sebagai ruang publik, kelas harusnya menjadi tempat diskusi yang memuja akal dan argumentasi. Di dalamnya tidak ada lagi dogma dan struktur kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir mahasiswa. Meskipun kondisi ini –tampaknya- tidak indonesiawi, tetapi hal itu perlu karena mental bangsa jajahan harus segera dipatahkan. Sebagai dosen, mereka sangat takut untuk dilawan lalu diketahui kedunguannya, dan sebagai mahasiswa, mereka juga takut jika nilai luntur warnanya.

Gejala ruang kelas yang tidak layak menjadi raung intelektualitas ini merembet ke seluruh perguruan tinggi. Argumen lain yang popular adalah mahasiswa harusnya tidak mengharapkan apapun dari ruang kelasnya, tetapi harus mencari sendiri di luar akademik kampus. Dia harus berorganisasi, beradu debat dan pikir di organisasi mahasiswa di luar kampus, termasuk menyelenggarakan kuliah-kuliah tamu mini mengundang sarjana dan ahli untuk diskusi.

Lalu apa gunanya ruang kelas jika kita harus mencari segala sesuatunya di luar kelas? perkuliahan harus menjadi lembaga pendidikan yang berisi orang-orang kritis sehingga bisa memikirkan negara dan bangsa ini lebih baik. Ruang kelas harus bisa mengevaluasi keadaan sehingga bisa melahirkan pemikiran baru. Mahasiswa dan dosen sebagai pemilik ruang kelas, harus dapat berkolaborasi memunculkan opini yang menumbangkan otoritarianisme dan menumbuhkan optimisme berpolitik dan berbangsa.

Mahasiswa merupakan manusia yang paling beruntung karena bisa menikmati pendidikan sampai perguruan tinggi. Karena itu beban berat bagi pemuda yang bisa kuliah untuk dapat melakukan perubahan sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya. Mahasiswa tidak boleh picik, manja, mengikuti pendapat umum yang keliru, apalagi membuat kerumunan sendiri yang bisa dibawa arus ke sana-kemari seperti buih.

Memang tanggung jawab ini berat, terutama mahasiswa yang baru saja keluar dari rumah untuk menjalani pendidikan tingkat tinggi di perantauan. Tetapi mahasiswa harus cepat beradaptasi karena perkuliahan dihitung dari waktu dan kebanggaan akan lulus tujuh semester. Waktu benar-benar menjadi pisau tajam yang mengiris nadi mahasiswa semester akhir. Mahasiswa akan merasakan waktu yang menjalar serba mendadak; tiba-tiba sudah perkuliahan minggu kelima, dan tiba-tiba sudah semester delapan.

Ruang kelas harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh mahasiswa untuk membangun basis pengetahuan yang kuat. Persoalan klasik mengenai dosen otoriter dan mau menang sendiri bisa dilawan dengan pertanyaan-pertanyaan santun sehingga tidak tampak melawan, apalagi menggurui dan justifikasi. Dosen juga manusai, sebagaimana mahasiswa yang manusia. Jika pertanyaan mahasiswa terlihat marah dan berapi-api, dosen pun akan bersiap dengan meningkatkan kewaspadaan pengetahuannya, atau pertahanan diri semacam rusa di alam bebas.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.