Skip to main content

Kebenaran



Banyak jalan yang harus ditempuh menuju jalan kebenaran. Tetapi tidak banyak orang yang mau menempuhnya, semata-mata karena kita tidak suka dengan kebenaran itu sendiri. Ketidaksukaan kita cenderung tidak beralasan, terutama karena sebagai manusia, lebih banyak yang enggan berfikir dibanding manusia yang mau berfikir. Dan berfikir sendiri, adalah aktivitas paling sulit yang bisa dialami manusia, khususnya ketika membahas kebenaran itu sendiri.

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia merupakan contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana kebenaran disempitkan artinya, dan dipaksakan untuk seragam kepada setiap warga. Kejahatan kata-kata yang dilakukan oleh beberapa akun di media social sangat menciderai kebenaran itu sendiri. Kasus yang dialami Ahok, Sukmawati, Rocky Gerung, hingga persoalan teroris, menjadi viral bukan karena kebenaran yang ingin ditemukan, tetapi karena kebenaran ingin dipaksakan kepada lawan.

Kebenaran yang paling mudah disalahartikan yang kemudian disalahgunakan adalah kebenaran yang bersifat keyakinan. Gerung yang menyebut bahwa ‘kita suci itu fiksi’ menjadi kontroversi karena pernyataannya berurusan dengan keyakinan. Gerung selama ini mampu berargumen terhadap setiap pernyataannya, juga tidak bisa selamat dari caci maki. Maka, keyakinan seringkali membuat orang suka membabi buta dalam berpendapat, memaksakan kehendak, dan tidak mau tahu terhadap argumen orang yang dilawannya.

Semua ini terjadi karena kita tidak menetapkan standar kebenaran itu sendiri. Kebenaran –yang mestinya tunggal-, kenyataannya sangat subyektif. Kita bisa menetapkan standar yang umum pada diri kita masing-masing, misalnya,: bahwa suatu aktivitas menjadi benar jika tidak menyakiti orang lain. Jika tidak ada standar semacam ini, maka konflik yang memperebutkan kebenaran akan terus terjadi. Karena selama ini kita sering memperdebatkan kebenaran dalam perspektif ciut yang menyebabkan perang, ketidakadilan, penjajahan, cemoohan, ucapan kotor, hingga laporan-laporan ke polisi.

Semuanya menjadi tidak masuk akal, terutama karena kita memperjuangkan kebenaran tetapi menggunakan cara-cara yang tidak benar.

Pencarian kebenaran bisa disandingkan dengan pencarian terhadap tuhan. Dalam artian, tuhan itu adalah kebenaran mutlak yang pasti ada, namun demikian, orang tidak pernah benar-benar bertemu dengan tuhan, bukan? Hanya nabi yang sangat mungkin bertemu tuhan dalam dunia ini. Nah, bahkan Nabi saja mungkin bertemu dengan tuhan di dunia ini. Mengapa mungkin? Karena seperti dikisahkan, Nabi Musa sekalipun tidak sanggup melihat tuhan di Bukit Tursina. Gunung hancur, Musa pingsan, dan langit redup. Jadi apakah Musa bertemu tuhan?

Orang yang menemukan kebenaran juga bisa memiliki kisah demikian, kebenaran yang ia temukan, berbeda dengan kebenaran yang kita anut. Kendalinya sekarang, kita harus menghormati kebenaran orang lain dan tidak memaksa kebenaran dari sudut pandang kita.

Maka sekali lagi, kebenaran itu menjadi subyektif tergantung jalan yang kita pilih. Orang yang merasa kebenaran harus ditempuh melalui jalan sunyi, maka ia akan bertapa di gua. Begitupula jika kita merasa kebenaran bisa ditempuh dengan ibadah, maka beribadahlah kita siang malam. Nabi saya, Muhammad, mendapatkan wahyu setelah berkhalwat (menyendiri, merenung, bertapa) di Gua Hira. Sidharta, mendapatkan pencerahan di bawah Pohon Sabodi setelah bertapa dan berpuasa. Gandhi menjalankan kebenaran dengan puasa bekerjasama dengan penjajah.

Kebenaran bisa dibayangkan memiliki tingkatannya masing-masing. Misalnya, yang paling rendah adalah kebenaran yang bersifat kesenangan. Yang untuk mencapai hal ini, kita harus menjadi orang sukses di dunia fana–yang cenderung diukur dengan harta, tahta, dan wanita/jodoh yang layak dibanggakan. Kebenaran dalam hal ini tidak mengubah kehidupan menjadi lebih baik, kecuali hidup menjadi lebih mudah. Karena itu, kebenaran dalam level ini tidak betul-betul dijadikan tolok ukur kebahagiaan yang hakiki karena orang sering terjebak dalam anarkisme ketika memiliki level kesenangan yang kelewat batas.

Kebenaran yang lebih baik dari ‘kesenangan’ belaka adalah keinginan untuk menapaki jalan kebenaran yang lebih hakiki. Orang-orang yang mulai mencari cara mencari kebenaran kemudian belajar untuk tidak merasa kehilangan terhadap sesuatu yang telah kita punyai. Kita sudah harus belajar bahwa rasa sakit diciptakan untuk mengingatkan manusia akan batasan dan kelemahan diri. Sama seperti kantuk yang mengingatkan akan istirahat, maka sakit hati digunakan untuk pengingat lemahnya jiwa. Pencarian-pencarian ini sudah bisa dikatakan sebagai ‘jalan setapak’ menuju kebenaran.

Kebenaran tingkat ketiga, adalah kebenaran yang ada dalam hati kita masing-masing. Suatu kondisi di mana kita mencapai kepuasan dari ‘pertemuan-penemuan’ spiritual. Spiritual tidak selalu diarahkan pada mistis, ketuhanan, atau rohani, tetapi lebih kepada ketenangan batin. Kita sudah hampir selesai dalam pencarian sesuatu yang hakiki –ruh dari dunia ini, jiwa dari setiap benda yang mengelilingi kita. Perbedaan menonjol antara level satu dan level ketiga ini adalah dalam hal ketergantungan kepada sesuatu yang tampak. Semakin tidak tergantung kita kepada uang, maka kita semakin bahagia dalam level ini.

Kebenaran yang tercapai dari ketenangan hati ini diejawantahkan dalam hidup yang menghargai ciptaan tuhan, bahkan hewan dan tumbuhan, apalagi sesama manusia. Karena itu, orang-orang yang mencapai level ini lebih mudah untuk mencapai kebenaran ditingkat terakhir, yaitu kemampuan untuk tidak membutuhkan apa-apa. Tentu hal ini sangat sulit dan hampir mustahil dilakukan oleh orang yang bukan nabi dan rasul. Kemampuan untuk tidak sakit ketika dipukul dan tidak terbuai ketika dijunjung, merupakan pencapaian jiwa yang sempurna. Karena tujuan sebenarnya dari hidup sudahlah dipegang: untuk mengabdi kepada kebenaran tunggal (tuhan), atau untuk membebaskan jiwa manusia dari kesengsaraan duniawi.

Maka orang yang berteriak-teriak memaksakan kebenaran kepada orang lain hingga menimbulkan konflik merupakan kondisi yang salah. Kita harus selalu melihat konteks kebenaran dari sudut pandang yang universal. Karena bahkan kebenaran yang kita yakini masih belum dapat dipastikan hingga kita harus bertoleransi dengan kebenaran orang lain. Dengan rendah hati, dikatakan oleh Imam Syafi’I (ahli fikih) : pendapat saya benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar. Karena itu, sisakanlah kerendah-hatian ini di satu titik dalam setiap judgement terhadap orang lain.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.