Skip to main content

Pendidikan



Saya percaya bahwa sistem pendidikan kita membunuh kreatifitas anak-anak yang berada di dalamnya. Menjadi paradox bahwa, anak-anak menginginkan sebuah pendidikan agar mereka bisa belajar tetapi pendidikan malah menjadikannya bodoh. Kita terus melakukannya berulang-ulang dan merasa baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena pendidikan – yang bertujuan untuk mampu memahami dunia lebih baik – tidak memiliki kemampuan praktis seperti ‘cara kaya dalam 2 jam’ atau ‘cara menikung pacar kawan dekat’.

Perkara seperti ini tentu menjengkelkan, terutama bagi saya yang bekerja dan hidup dalam sistem tersebut. Namun ini adalah buah simalakama-nya pendidikan: kita tahu ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus kita tahu bahwa Indonesia ‘semacam’ belum siap untuk berubah. Parahnya, hal semacam ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, tetapi juga terjadi dalam lingkup yang lebih privat. Misalnya, kita berdoa agar diberi kemudahan rizki, tetapi pada saat yang sama kita malas bekerja.

Memikirkan masalah pendidikan, bagi saya yang bukan orang dari pendidikan murni, agak mengkhawatirkan. Kebanyakan kita masih memandang bahwa pendidikan –dan perguruan tinggi lebih khusus – tidak menyediakan ruang yang cukup untuk kecakapan masing-masing mahasiswanya. Lebih banyak dari kita mengerjakan sesuatu dengan tidak memedulikan hasilnya. Barangkali, kita bisa menyebutnya sebagai alienasi dunia pendidikan.

Alienasi, merupakan konsep Marx yang diarahkan kepada kaum pekerja yang terus menuju proses keterasingan dalam bekerja. Pekerja yang bekerja untuk orang lain, menghasilkan barang dan uang untuk orang lain –baca kapitalisme– tetapi ia tetap miskin. Intinya, buruh yang bekerja, tetapi yang menikmati hasilnya adalah tuan pemodal. Maka di dunia pendidikan, baik dosen maupun mahasiswa sama-sama menuju proses keterasingan –sama-sama rugi dan tidak tahu tentang apa yang dilakukannya.

Tantangan sesungguhnya datang dari pengajar sebagai satu-satunya orang yang berkuasa di dalam kelas. Di setiap kelas yang pernah saya ikuti atau saya amati, kebanyakan dosen menyatakan harapannya agar mahasiswa aktif di kelas. Tetapi harapan itu tidak dibarengi dengan rangsangan yang cukup agar mahasiswa bisa aktif. Kebanyakan dosen hanya mengungkapkan ‘harapan’ itu sebagai prasyarat pengajaran. Semacam kontak kuliah ketika pertama memulai kelas, tetapi kontrak itu tidak berarti apa-apa.

Ini merupakan problem dosen yang kebanyakan memang tidak faham tentang teori atau praktik kependidikan, meskipun tidak menjamin pula bahwa dosen di fakultas pendidikan akan lebih baik. Dosen masih berperan sebagai center of knowledge meskipun mereka percaya bahwa pendidikan untuk mahasiswa seharusnya student center learning (berpusat pada mahasiswa). Di kelas, dosen menjadi sosok yang maha tahu, dan dengan ‘label dosen’ itu, mereka tidak mau dibantah apalagi diinterupsi.

Karena itu jangan heran jika mahasiswa mengkritik pemikiran dosen di kelas, atau di manapun, akan menimbulkan kekhawatiran pada mahasiswa. Karena dosen yang tidak suka dikritik, jelas akan mengancam nilai mahasiswa yang dinilai meremehkan dosen. Akan banyak alasan dan pembenaran yang dilakukan dosen untuk menurunkan nilai mahasiswanya, karena soal nilai, hak dosen adalah mutlak. Persoalan ini memang pelik, karena mahasiswa akan selalu salah. Dosen lain tidak akan menghakimi dosen anti kritik, karena mereka adalah kolega. Lebih baik mengorbankan empat puluh lima mahasiswa, dari pada mengorbankan satu dosen.

Selain sifat buruk itu, ada hal lain yang menjadi momok mengapa diskusi di dalam kelas tidak pernah berjalan lancar. Alasannya adalah ketidakpercayaan dosen terhadap mahasiswa bahwa mereka mampu memahami ilmu yang diajarkan lebih baik. Apalagi ketika diberi kesempatan bertanya di kelas, mahasiswa hanya menanyakan hal yang sepele, misalnya : saya masih tidak paham ketika bapak menjelaskan tentang persepsi, tologn dijelaskan lagi. Itu adalah pertanyaan sampah yang tampak jelas: mahasiswa tidak belajar secara mandiri, padahal dalam kontrak telah disebutkan ‘persepsi’ akan dibahas di pertemuan ke berapa.

Selain dosen yang tidak memiliki keseriusan, banyak mahasiswa zaman now juga tidak punya integritas sebagai pembelajar. Dasar segala pengetahuan adalah rasa ingin tahu, curiosity. Sayangnya, rasa ingin tahu itu hanya ada di film dan novel. Kenyataannya, hampir seluruh mahasiswa kehilangan daya untuk mencari sumber-sumber pengetahuan. Buku, film, dan catatan-catatan penting yang bertebaran di dunia maya tidak tersentuh. Yang terus-menerus muncul di layar hape dan pikiran mahasiswa adalah persoalan sepele : pacar, game, dan berita hoax. It is such a terrible life.

Ahli Pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, dalam talkshownya di Ted, memaparkan banyak pengetahuan baru tentang dunia pendidikan. Ia bahkan berargumen bahwa : ‘rasa ingin tahu adalah mesin menuju pencapaian’. Seperti yang kita tahu, pencapaian adalah tujuan hidup setiap manusia. Pencapaian ini akan menunjukan siapa diri kita sesungguhnya, dan mengukuhkan eksistensi kita sebagai manusia yang sebenarnya. Bahkan untuk dosen setua saya, pencapaian yang paling gemilang masihlah memiliki istri pengertian, persoalan keilmuan dan lainnya baru sebatas menginjakkan kaki.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Pertama, kenali diri sendiri. Persoalan ini hampir menjadi persoalan sepanjang hidup. Tetapi tidak ada salahnya kita menilik lagi sebenarnya diri kita terbuat dari apa dan bagaimana kita akan menjalani kehidupan ini. Masuklah kamar, duduk yang tenang di pojok, lalu bernafas secara teratur. Kita bisa melihat kembali masa lalu, apa yang membanggakan? Apa yang menyesakkan dada? Kita juga bisa melihat ke masa depan, apa yang sungguh-sungguh membuat kita bahagia? Dari sana kita akan mulai berpijak dan menekadkan diri untuk menjadi manusia seutuhnya.

Kedua, pelihara rasa ingin tahu. Kita harus menjadi anak kecil untuk tahu apa arti dari rasa ingin tahu. Saya yakin, orang-orang yang sudah dapat membaca tulisan semacam ini, kebanyakan tidak tahu lagi bagaimanakah rasa ingin tahu itu. Kita tidak pernah bertanya lagi mengapa bumi itu bulat? Atau seperti Einstein, yang bertanya apakah waktu itu absolut atau relatif? Mulailah bertanya hal-hal di sekitar kita, dan jika mau mengarah ke keilmuan, bertanya tentang asal muasal hingga kegunaan dari ilmu itu sendiri. Berat?

Ketiga, konsisten. Pilihan hidup bisa jadi bermacam-macam. Meskipun Sartre menganggap banyak pilihan sebagai beban, tetapi kita tidak mesti demikian. Apapun pilihan yang telah kita tetapkan, harus terus-menerus dipegang sampai mencapai satu titik: gagal atau berhasil. Kebanyakan kita tidak memiliki cukup ketekunan terhadap pilihan yang telah diambil. Dalam bahasa jawa, biasanya disebut isuk dele sore tempe (pagi minta kedelai, sore minta tempe). Orang yang konsisten cenderung dapat dipercaya, dan orang yang dapat dipercaya, cenderung memiliki banyak relasi, dan relasi = kesuksesan.

Tentunya, tiga hal di atas hanyalah rangkuman dari begitu banyak pilihan sikap dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pembelajar. Sudah saatnya, kita mulai serius memikirkan tujuan hidup, agar tidak menjadi buih di lautan.

Comments

  1. Keren pak, saya jatuh cinta dengan cara Bapak mengulas permasalahan dalam artikel ini.

    ReplyDelete
  2. Keren pak, saya jatuh cinta dengan cara Bapak mengulas permasalahan dalam artikel ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.