Skip to main content

Lelaki Harimau



Sinopsis

Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”

Overview

Judul novel ini begitu sastrawai, termasuk kisah di dalamnya. Sastrawi dalam pemahaman saya adalah gambaran karya fiksi Indonesia yang bisa membuat pembaca tidak hanya menikmati kisahnya, tapi juga mengagumi gaya kepenulisannya, dan yang paling utama, menakar penulisnya dalam kancah sastra nusantara. Maka dari itu, sulit bagi sebagian besar sastrawan menimbang sosok Andrea Hirata atau Tere Liye sebagai sastrawan; keduanya adalah novelis, sama seperti Denny JA yang bersusah payah membuat ‘puisi-esai’ yang dikagumi sebagian kalangan yang diduga ‘bayaran’.

Membaca karya sastra di Indonesia memang harus pilih-pilih supaya tidak terjebak dalam kisah membosankan, atau kisah luar biasa tetapi penuturannya membuat pembaca bodoh. Kisah dalam novel ini sangat memesona penalaran kita yang terbiasa dengan fakta-fakta biasa saja. Padahal di sekeliling kita yang hidup di pedesaan, banyak kejadian nyata, fakta, aseli, tetapi tampak seperti fiksi karena penuturan masyarakat yang terbayangi mitos dan legenda. Contohnya adalah ketika Margio, seorang remaja tanggung, membunuh Anwar Sadat, lelaki paruh baya, dengan cara menggigit lehernya hingga putus.

Begitulah kisah Lelaki Harimau bermula. Lalu kisah berjalan cepata ke kisah masing-masing tokoh beserta keluarganya: Margio, Anwar Sadat, Kyai Jahro, Mayor Sadrah, Ma Soma, hingga ke sebab musabab Margio menggigit Anwar Sadat. Meskipun terkesan cepat, tetapi bagi saya tetap lambat untuk segera mengetahui alasan Margio melakukan pembunuhan dengan cara yang tidak masuk akal tersebut. Bayangkan, kejadian Margio menggigit Sadat di halaman 1 itu baru jelas terdeskripsikan di halaman 31. Maka itu, membaca novel ini kita harus benar-benar fokus mengingat nama dan tempat, mengingat kisah satu orang lalu menimbunnya dengan kisah orang lainnya, serta tetap duduk hingga novel selesai.

Kekuatan Eka Kurniawan, selain pada kisahnya yang memukau, juga terletak pada bahasanya yang detil dan unik. Misalnya ia menulis : “Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading sebelum banjir oleh merah, saat pintu kamar tidur terkuak dan Maesa Dewi berdiri di sana, mengenakan pakaian tidur satin putih dengan motif bunga peoni, pipinya berhias garis peninggalan lipatan bantal, matanya setengah redup namun bersegera insaf, dan tangannya yang ramping terangkat, jemari menutup bibirnya yang terkuak kecil melontarkan kata tanpa bunyi,” (lhat halaman 33).

Paragraf di atas adalah penjelasan Eka semenit pasca Maesa Dewi mendapati Margio menggigit mati ayahnya di ruang tamu, di depan kamarnya. Ada cetak miring dalam paragraf di atas sengaja saya lakukan untuk menunjukkan detilitas yang unik dalam penuturan penulis. Tentu saja jarang ada penulis yang bisa mendeskripsikan detilitas yang amat bertolak belakang – kasus pembunuhan tetapi detil ke motif bunga peoni. Ditambah, satu paragraf panjang itu sebenarnya hanyalah satu kalimat. Hanya penulis yang telah melampaui penulis pemula yang mampu membuat paragraf panjang tanpa putus tapi tetap enak dibaca.

Yang paling menarik dari seluruh novel ini, adalah jawaban Margio atas pertanyaan bagaimana dan mengapa ia bisa membunuh Anwar Sadat dengan cara yang sedemikian? : “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.” Jawaban ini membuat tubuhku seperti tersengat listrik dan whuus, ada angin yang lewat di bawah telinga. Tentu itu bukan fakta, tetapi aku membayangkan jawaban seperti itu keluar dari mulut seseorang setelah memutuskan leher lelaki dewasa hanya dengan giginya, adalah sesuatu yang ajaib.

Mistisisme dari jawaban Margio, sangat diterima di pedesaan, bahkan jika ada kisah yang lebih suram dari itu. Mistis lanjutan diceritakan dalam bagian 2, tentang bagaimana Margio berkenalan dengan hewan mistis ‘harimau putih’ yang merupakan peninggalan kakeknya itu. Kisah mengenai Margio dan harimaunya memang khas pedesaan yang percaya bahwa manusia bisa memiliki kekuatan yang biasanya direpresentasikan kepada hewan-hewan. Karena itu, kisah mengenai harimau mendapatkan tempat tersendiri dalam novel ini, seakan ingin memberikan konteks yang lebih luas bagaimana seorang remaja bisa memiliki jawaban memukau tentang pembunuhan.

Kisah dan Tragedi

Hidup kita adalah sebuah tragedi yang tidak ada henti-hentinya. Hidup liar, penuh dengan tantangan, kegilaan, dan kesenangan yang segera berlalu dengan cepat; seperti matahari sore yang akan tenggelam sepanjang malam. Pembicaraan atas berbagai tragedi kehidupan, lebih sering saya omongkan dengan beberapa tetangga kos yang memiliki macam-macam profesi: supir truk, dukun pengasihan, pegawai humas pemkot batu, tukang bakso, dan seorang guru bahasa inggris. Mereka semua tentu saja hanya mengangguk-angguk karena tidak memahami kalimat saya. Dan ketidakpahaman adalah tragedi yang paling mengenaskan di dunia ini.

Padahal orang yang jelas menagalami tragedi dalam kehidupan ini adalah para tetangga saya yang terhormat. Tapi biarlah mereka tidak paham; meskipun gaji guru tidak pernah memuaskan, meskipun supir truk selalu berurusan dengan preman dan polisi, atau teman saya yang dukun pengasihan malah keterlaluan tragis karena tidak kunjung beristri. Tragedi semacam ini, bagi orang desa adalah hal yang lumrah. Mereka tidak pernah membicarakan bagaimana Jokowi harusnya begini begitu, atau mereka juga tidak pernah mempermasalahkan mengapa Khofifah yang memang di Jawa Timur. Ketidaktahuan mereka terhadap tragedi telah cukup untuk dilakukan tanpa pikiran curiga kepada tuhan.

Dan, hidup yang dialami oarng-orang di dalam novel Lelaki Harimau kesemuanya adalah sebuah tragedi pula. Tidak ada nasib baik yang dialami hingga bisa membawa kesenangan terus menerus. Margio adalah sosok remaja yang memiliki dendam kesumat kepada ayahnya –yang menghidupi Margio dengan ancaman dan pukulan. Maka ketika Margio malah membunuh Anwar Sadat –yang adalah bapak dari Maharani, gadis pujaan Margio, semua orang kaget. Seharusnya Margio membunuh ayahnya, bukan Sadat. Maharani bernasib buruk, begitu juga kedua saudarinya. Ibu Margio bernasib buruk, tak terkecuali hidup Sadat bersama istri dan mertuanya adalah suatu tragedi yang berkelindan dengan nafsu dan pengkhianatan.

Tetapi kita tidak cukup membicarakan tragedi tanpa membicarakan nilai-nilai dalam kehidupan. “Deskripsi perkembangan psikologis para tokoh Lelaki Harimau membuat kita menyadari betapa nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata terlalu sederhana, tak memadai untuk memnilai kehidupan manusia yang penuh liku-liku.” Itu adalah kutipan tulisan Katrin Bandel, di Kompas, yang menjadi salah satu testimoni di cover belakang. Saya kira penggalan komentar ini sangat pas untuk diletakkan dalam kehidupan nyata di Indonesia; dengan berbagai macam kejadian criminal unik, menyeramkan, hingga yang sadistik.

Informasi Buku
Eka Kurniawan. 2014. Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 204 halaman

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.