Skip to main content

Ukuran Kebahagiaan

 
Tuhan menciptakan kebahagiaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena itu, bahagia menjadi hak setiap orang. Bahagia tidak bisa dimonopoli oleh sebagian orang karena ukurannya yang universal. Sehingga bahagia tidak bisa diukur hanya berdasarkan hal-hal yang artificial, permukaan, parsial, atau kebendaan. Bahagia bukan berarti orang itu kaya atau keturunan Raja Salman. Orang yang tidur di kolong jembatan juga bisa merasakan kebahagiaan yang ukurannya sama 100% dengan orang yang tidur di busa empuk. 
 
Dalam perjalanan ini, ukuran-ukuran kebahagiaan akan terus mengalami perubahan. Paling tidak itulah yang saya alami. Seperti prediksi psikologi tentang pilihan pasangan berdasarkan usia seseorang, kebahagiaan juga berkembang secara dinamis. Ketika kecil, kebahagiaan kita hanyalah bagaimana memenangkan permainan kartu dan kelereng. Di sekolah, ukuran kebahagiaan mungkin berbeda, bisa karena nilai yang bagus, bisa bertemu teman sepenakalan, atau bisa juga karena kebagian uang jajan yang besar.

Ukuran yang digunakan pada waktu kecil memang tampak terlalu sederhana. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang benar-benar sederhana. Ukuran kebahagiaan ini membuat kita memiliki motivasi hidup. Kaarena tidak dapat dipungkiri, setiap manusia bertujuan untuk mencapai kebahagiaan; baik kebahagiaan semu maupun hakiki. Maka kebahagiaan tentunya bukanlah sesuatu yang sederhana. Bahagia itu rumit.

Sudah banyak orang yang memaknai kebahagiaan sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang berhubungan dengan kebajikan dan kebenaran. Aristoteles misalnya, dalam bukunya Etika Nikomachea, memaparkan banyak hal mengenai kebenaran sebagai dasar kebahagiaan. Jadi kebahagiaan menurut filsuf Yunani ini lebih banyak menyangkut hakikat menjalani hidup dengan baik. Karena itu kebahagiaan yang kemudian mengarah ke hal-hal yang materialistis merupakan suatu kemunduran yang berbahaya.

Metamorfosis

Bagiku, kebahagiaan menjadi satu tujuan yang penting. Tentu saja ada beberapa fase di mana kebahagiaan menjauh, dan kesialan menjadi kawan akrab. Tetapi tetap saja kebahagiaan adalah satu tujuan yang tidak bisa ditawar-tawar. Perubahan ukuran kebahagiaan ini baru kusadari ketika melihat bapak-bapak yang rela bekerja keras, tidak makan penuh sehari-hari, tetapi masih bisa kirim uang dalam jumlah besar ke anaknya yang sekolah.

Aku juga melihat banyak karya fotografer yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu yang rela kehujanan demi memayungi anaknya. Sering pula kita lihat pasangan suami istri yang tampak baik-baik saja meskipun uang belanja bulanannya tercekat di kerongkongan. Ada banyak kejadian di dunia ini yang menunjukkan pengorbanan-pengorbanan yang terlihat besar oleh orang lain, tetapi tak pernah dihitung oleh orang yang berkorban. Dan kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang terus-menerus meminta jawabannya.

Bagiku, jawabannya adalah cinta; adalah perbedaan ukuran kebahagiaan antara satu dengan orang lainnya. Bagi orang yang belum menikah, fakta-fakta ukuran kebahagiaan ini belum terasa secara drastis. Untuk contoh semacam ini, kita terpaksa mengesampingkan suami-istri yang menikah karena faktor selain cinta. Bagi seorang suami yang mencintai istrinya, maka ia akan rela bekerja hingga lembur untuk mendapatkan uang belanja bulanan. Sang istri yang berada di rumah pun, bekerja dengan penuh gairah: masak, cuci, didik anak, bersih-bersih, dan rela tidak tidur seharian demi menyambut sang suami.

Kondisi ini memang terasa biasa saja bagi pasangan yang sudah lama menikah. Karena bagi orang yang mengerjakan sesuatu berulang-ulang, akan kehilangan makna pekerjaannya itu. Maka cobalah meraba, bahwa aktivitas itu dikerjakan dengan penuh kesadaran. Karena ketika sang suami mampu menafkahi istrinya dengan baik, ia akan bahagia. Dan makanan sang istri yang dihabiskan oleh suami, akan membuat istri bahagia. Ada timbal balik yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sudah pengalaman.

Ukuran kebahagiaan akan berubah dengan drastis ketika sang anak lahir. Seluruh tumpuan kebahagiaan kini beralih ke anaknya. Itulah mengapa dikatakan orang rela tua peras keringat banting tulang demi membiayai seluruh kebutuhan anak. Semata-mata karena kebahagiaan mereka adalah melihat anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga sang anak bahagia. Orang tua tidak pernah berfikir, bahwa ia mengorbankan segala sesuatu untuk sang anak agar suatu saat nanti mendapat balasan dari anak. Jika orang tua mengungkit-ungkit kebaikannya, maka jelas; sang anak sudah demikian keterlaluan.

Di sini berlaku kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Bahwa 1 ibu mampu mengurus 10 anak, tetapi 100 anak sekalipun tidak akan mampu mengurus 1 ibu. Ironisnya, hal-hal semacam ini benar. Karena kebahagiaan bagi seorang anak bukanlah pada kebahagiaan orang tuanya. Anak masih belum dapat memahami kebahagiaan seorang ibu yang melihat anak berbakti. Anak masihlah anak kecil yang selalu berbuat salah ke orang tuanya. Kebahagiaan seorang anak yang sudah dewasa sekalipun, jelas; jalan-jalan, istri, anak-anaknya sendiri. Orang tua masih menjadi kebahagiann kesekian, dan hanya mengisi status ketika Hari Ibu dan Hari Ayah.

Ukuran kebahagiaan tidak akan berhenti di sini. Ia akan terus bermetamorfosis sampai kita mati. Dalam psikologi, beberapa dekade belakangan muncul Psikologi Positif yang mengonsepkan tentang authenctic happiness atau kebahagiaan yang hakiki. Martin E.P Seligman, yang memelopori kehadiran psikologi positif ini, memiliki buku luar biasa yang menjelaskan persoalan kebahagiaan hakiki ini. Ia banyak mengungkap bahwa kebahagiaan membawa usia panjang, bahagia juga membuat orang-orang lebih mudah meraih kesuksesan.

Dalam buku diberikan contoh beberapa penelitian tentang kebahagiaan dan semuanya menarik. Misalnya, penelitian kepada biarawati yang rajin menulis autobiografi. 90 persen biarawati yang menulis dengan bahagia, autobiografinya berisi hal-hal yang riang dan menyenangkan, memiliki ketahanan hidup hingga usia 85 tahun, sementara biarawati yang tidak riang hanya 34 persen yang mencapai usia tersebut. Dan 54 persen dari biarawati yang riang ini bahkan bisa hidup sampai usia 94 tahun, sedangkan lainnya hanya sisa 11 persen yang bertahan.

Penelitian lain juga terungkap pada senyuman di foto alumni 141 mahasiswa Universitas California. Ketika dihubungi pada usia 27, 43, dan 52 tahun, diketahui, mahasiswa yang memiliki senyum duchene atau senyum sejati (senyum riang yang tak dibuat-buat) memiliki tingkat kebahagiaan dan keutuhan perkawinan lebih tinggi dari mahasiswa lainnya. Bukti-bukti ini akan akan menjadikan kebahagiaan sebagai konsep yang tidak lagi abstrak. Kebahagiaan bisa dibuktikan dengan kesuksesan seorang manusia dalam membangun hubungannya dengan lingkungan.

Karena itu, kebahagiaan menjadi penting menjadi tujuan bagi setiap manusia. Meksipun ukuran-ukuran kebahagiaan bukan lagi tentang kita, tetapi tentang istri, tentang anak-anak, tentang bekerja keras, tentang menjadi manusia terbaik di depan Tuhan, maka yakinlah, bahwa ukuran itu akan membawa kita pada kebahagiaan yang sejati.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.