Skip to main content

Keteraturan


MRT Singapura sebagai lambang modernisme dan keteraturan
Orang indonesia pada umumnya tidak bisa hidup dengan keteraturan. Begitulah yang kita fahami bersama selama ini. Prasangka ini karena berkaitan dengan tata cara kehidupan orang luar negeri yang hendak kita pinjam. Sekaligus untuk menyalahkan bahwa karena tidak bisa hidup teratur, maka tidak bisa diatur, dan suka ngawur.

Akibatnya, lalu lintas macet. Orang miskin yang bertempat tinggal di lingkungan kumuh menumpuk. Pembuatan SIM dan KTP dan dokumen lainnya ribet berbelit. Ketidakteraturan ini disalahkan kepada penduduk Indonesia yang tidak bisa hidup teratur. Padahal jika kita tahu, petani di kampung selalu bangun pagi. Pedagang pasar juga selalu buka dagangannya pagi-pagi.

Orang bekerja juga berangkat pukul 07.00 dari rumah lalu pulang pukul 16.00 setiap harinya. Sebagian lagi berangkat lebih pagi agar tidak ketinggalan bus yang tidak bisa diatur itu. Orang-orang yang hendak bepergian juga selalu datang lebih cepat dari jadwal pesawat terbang ataupun kapal laut. Jadi siapa yang tidak bisa diatur atau tidak menyukai keteraturan?

Bisakah kita membayangkan bahwa di Indonesia, kereta api datang tepat waktu? Bus dan pesawat terbang tiba dan pergi tepat waktu hingga ke menit-menitnya. Lalu semua rute dalam kota disatukan oleh bus dan kereta yang sambung menyambung. Orang keluar dan masuk kereta menggunakan jalan yang telah disediakan. Hijau berarti (benar-benar) berjalan, dan merah berarti (benar-benar) berhenti.

Mungkin keteraturan ini patut diperjuangkan oleh seluruh pemerintahan di dunia. Bukan karena penduduk atau masyarakat yang tidak dapat diatur, tapi lebih kepada pemerintah yang tidak dapat menerapkan peraturan dengan baik kepada setiap sistemnya. Masyarakat tentu saja akan mengikuti apa kata sistem. Karena jika tidak taat pada sistem, ia tidak mendapatkan fasilitas.

Contohnya, peraturan bahwa bangsa indonesia harus sudah berada di bandara satu jam sebelum pesawat berangkat dengan tujuan domestik, dan dua jam untuk keberangkatan luar negeri. Jika tidak memenuhi peraturan ini, maka ia akan terlambat terbang dan tiketnya sia-sia. Seluruh agendanya ke depan juga akan porak poranda. Maka mana ada orang yang mau terlambat untuk hal-hal seperti ini?

Maka dari itulah, kalau ingin teratur, peraturan harus ditegakkan sedemian rupa. Kereta jangan sampai terlambat, begitupula pengurusan kebutuhan publik. Dan keteraturan yang kita harapkan ini bisa kita lihat di Singapura, misalnya. Seluruh tempat sepertinya sudah memiliki peraturannya sendiri. Untuk melakukan cap imigrasi misalnya, kita tidak diperbolehkan untuk menginjak garis kuning untuk mengantri. Sudah ada polisi yang siap mengingatkan di sana kepada pengunjung yang bandel.

Untuk masuk ke Mass Rapid Transportation (MRT) atau bahasa kerennya kereta kommuter, sudah ada tiga jalur di pintu keluarnya. Tanda panah di kanan kiri untuk orang masuk ke kereta, dan tanda panah di tengahnya untuk keluarnya orang dari dalam kereta. Memang tidak ada polisi yang menjaga di sana, tapi tatapan mata orang sudah cukup menyakitkan untuk kita ulangi : dasar indonesia!!!

Pada lampu merah, mobil akan benar-benar berhenti dan tidak bergerak lagi. Memang mobil jarang sekali, karena menurut kabar burung, pajaknya sangat besar. Jadi hanya orang kaya dan betul betul orang kaya yang punya mobil di jalanan. Sementara, tidak ada orang yang menyeberang sembarangan sebelum lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Dan sekali lagi, pendatang juga yang berlarian tidak peduli lampu merah kuning hijau.

Namun apakah keteraturan seperti ini menyehatkan? Tidak juga. Aku melihat bahwa singapura dan orang-orangnya layaknya robot. Tidak ada ekspresi mereka ketika pagi hingga sore. Yang ada mereka tidak mempedulikan orang lain. Tidak berbicara. Tidak bermain HP. Tidak tersenyum. Berjalan lurus ke satu tujuan. Seakan-akan di kaki mereka sudah ada garis yang tidak boleh di simpang. Tidak ada orang bingung karena tujuan sudah diprogramkan. 

Yang sudah menonton film Wall E barangkali akan sadar bahwa kehidupan manusia modern akan menuju pada kemonotonan. Keteraturan sepertinya akan menyebabkan kemonotonan ini. Kita makan sudah ditentukan menunya, dan pada jam berapa juga telah ditentukan. Lalu berjalan pada garisnya. Bahkan menonton film dan permainan sudah ada jadwalnya.

Untungnya, di singapura pada malam hari sangat berbeda dengan pagi atau siang atau sore. Saat malam tiba, orang-orang Singapura berjalan pelan sambil menikmati camilannya. Mereka saling menggandeng kekasihnya. Tidak jarang yang berciuman di pinggir taman. Mereka menjadi hidup. Apakah mungkin program mereka menjadi romantis saat malam saja?

Jadi selamatlah ketidakteraturan orang indonesia karena pemerintahannya memang susah untuk teratur.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.