Skip to main content

Imigrasi dan Lamongan

Benar bahwa lebih mudah berurusan dengan tuhan, dari pada berurusan dengan manusia. Dan manusia yang paling susah kita takhlukkan adalah saat mereka tidak membutuhkan kita, dan kita (sangat) membutuhkan mereka. Ternyata psikologis kebutuhan mempengaruhi sikap dan penilaian seseorang.

Hal inilah rasa-rasanya yang kurasakan di imigrasi indonesia. Persis saat pertama kali aku mengurus pasport tahun 2012 lalu, kejadian itu terjadi kembali. Saat aku mengurus pasport, aku ditanya tujuan dan tiket keberangkatan. Tentu aku berbohong bahwa aku akan ke Malaysia dan hendak kuliah. Setelah berbagai macam basa-basi, aku diminta menunggu hingga dua hari ke depan untuk kembali lagi.

Secara singkat, sudah dua kali diminta menunggu dua hari-dua hari, tetap juga diminta menunggu. Akhirnya aku putus asa karena aku harus bolak-balik Lamongan-Surabaya hanya untuk mengurusi hal ini. Berakhirlah aku di calo pasport yang membutuhkan waktu hanya sehari, langsung foto, dan punyalah saya sebuah KTP Internasional.

Saat aku menggunakan pasport pertama kali ke Singapura pada tahun 2015 ini, pertanyaan yang sama, dan kerumitan yang sama terjadi padaku. Keberangkatanku tidaklah sendirian. Namun dari sekian banyak orang ini, hanya akulah yang sempat tertahan di imigrasi Indonesia. Setelah salah satu mamak-mamak jawa berwajah Chinese menjelaskan macam-macma, barulah Pasportku dicap untuk pertama kalinya.

Kegentingan belum berakhir karena menurut informasi, imigrasi singapura akan lebih ketat lagi. Sejak lepas dari imigrasi indonesia, di pesawat, hingga turun dari sana, aku semakin berdebar. Sesungguhnya keberuntungan mungkin sampai padaku akhirnya. Karena saat berdebar menghadapi lelaki berseragam imigrasi singapura ini, aku hanya diminta form yang kurang, lalu cap keimigrasian menembus keperawanan pasportku.

Langsung bibirku bersungging lima centi meter ke kanan dan ke kiri. Senyum yang sama saat aku diberi kepercayaan untuk presentasi lomba esai tingkat nasional saat jaman kuliah dulu. Sampai beberapa langkah, senyum masih mengembang dan dadaku seperti tidak menahan beban satupun. Tas carrier seberat 10 kg langsung terasa melayang, dan bebas berteriak : i’m asean backpacker now!
ISIS

Saat aku dan dua orang temenku yang paspornya masih perawan di tahan di petugas tiket Tiger Air, mereka membisikkan bahwa keluar negeri harus diperketat karena adanya beberapa warga Indonesia yang hendak berjuang bersama ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) atau Daulah Islam Iraq dan Syiria.

Pertama aku dan kawan-kawana berfikir kenapa bisa aku dua kali tertahan, adalah gara-gara namaku yang islami banget. Fathul Qorib, semua orang berfikir bahwa aku mungkin saja pergi ke luar negeri, lalu tiba-tiba terbang ke Syiria atau Iraq untuk membangun daulah islam di bawah naungan ISIS. Bahkan jika memang aku ingin membangun Daulah Islamiyah, aku akan bergabung dengan kelompok lain, bukan ISIS.

Namun setelah kutelisik lagi, beberapa hari lalu ada 16 orang yang terdeteksi bergabung dengan ISIS, yang sebagian besar adalah warga Lamongan. Saya kira hal inilah yang membuat orang lamongan kesulitan ke luar negeri. Lagi-lagi, gara-gara kelompok Islam garis keras, orang lamongan yang lain terkena imbasnya. Sama dengan ketika Amrozi dkk membom bali, lalu aku dilarang berkunjung ke Bali untuk batas waktu tertentu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa stereotype akan tetap menjadi masalah karena manusia tidak bisa melepaskan kebencian dari dalam hatinya. Stereorype adalah pandangan negatif kita terhadap seseorang atau sekelompok orang. Stereot berarti kaku, dan type adalah kesan. Sehingga kesan kaku –negatif kita terhadap orang lain.

Dan semua orang, yang berusaha menjadi baik sekalipun, gampang sekali terjebak dalam stereotype seperti ini. Misalnya, orang berjilbab lebar terkesan inclusive dan tidak mudah bergaul, atau orang berjenggot adalah teroris. Itu dari segi agama. Kita juga memiliki stereotype yang harus kita hilangkan dalam segi kebangsaan yang contohnya tidak perlu kusampaikan agar tidak menyinggung satu bangsa tertentu.

Namun dapat kupahami –dan semoga demikian- bahwa petugas imigrasi indonesia tidak sengaja hendka mempersulit. Namun hanya karena tuntutan pekerjaan, maka ia terpaksa berusaha tampak mempersulit orang lamongan untuk ke luar negeri. Dan bagiku, apalah daya bila orang imigrasi ini bersikeras bahwa aku tidak boleh ke Singapura dengan alasan kehati-hatian terhadap ISIS.

Inilah yang dinamakan kekuatan kebutuhan. Yang membutuhkan akan selalu kalah dengan orang yang dibutuhkan.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.