Skip to main content

Backpacker Berjilbab


2 Jilbab Backpacker di Phuket
Melakukan Backpacker bukanlah melulu pekerjaan orang kaya dan atau orang yang hobi dengan kesederhanaan. Sejak memiliki cita-cita ke luar negeri pada jaman kuliah dulu, memang yang kulihat para backpacker adalah orang yang modis dengan dandanan khas. Kalau boleh lebih tegas, biasanya dilakukan oleh orang yang sulit menjalankan agama islam secara baik.
Namun dalam perjalananku yang pertama ini, tiga orang berjilbab ikut rombongan dengan diet keagamaan yang lumayan ketat. Diet keagamaan ini adalah melakukan shalat lima waktu dengan tertib, menggunakan jilbab (lebar) dengan tas carrier ukuran 50+5 Liter, plus salah satu teman rombongan harus puasa seharian.

Memang mungkin agak dungu kalau saya tidak tahu bahwa sudah banyak jilbab backpacker yang menjelajahi negara ini. Namun saya tidak benar-benar melihatnya sehingga membuat sangsi. Kali ini, mereka benar-benar ada dan agaknya aku berharap betul bahwa mereka akan menunjukkan kualitas kemuslimahannya. Karena aku butuh bukti, aku butuh keteguhan itu sendiri, untuk membuatku percaya bahwa orang yang hendak menjalankan ibadah wajib tidak akan terhalang suatu apapun.

Tiga orang ini, dua orang adik kakak perempuan asli Makassar yang irit bicara dan hanya senyum-senyum sebagaimana perempuan berjilbab lain yang kukenal. Namanya Virna Shaleh dan Hartatik. Sekali dua kali mereka berbicara berdua, dan hanya ngobrol denganku ketika ditanya saja. Seorang lagi adalah ibu-ibu yang lebih terbuka, berpengalaman, dan tampaknya membimbing mereka dengan baik, bernama Farida.

Gara-gara mereka inilah, aku merasa bahwa perempuan muslimah pun bisa menjadi backpcker. Nantinya saat mereka sudah hafal dengan lekuk Singapura, Malaysia, Vietnam hingga Brunei Darussalam, mungkin mereka akan membuat rombongan backpacker khusus muslimah –yang katanya Bu Farida sudah ada. Dan kemungkinan dengan diet keagamaan ketat pula sebagai sebuah latihan.

Hal yang patut disayangkan memang, bahwa Hostel Backpacker yang murah pasti bercampur-campur antara lelaki dan perempuan. Lintas kelamin, lintas bangsa, lintas agama, dan lintas generasi tentu saja. Di sampingku misalnya, adalah seorang perempuan bule berbadan sebesar kasur. Di bawahnya seorang lelaki, dan di tempat lain ada seorang bule lelaki dan perempuan satu tempat tidur yang ranjangnya tidak berhenti berdenyit saat malam.

Dalam satu kamar hostel ini, ada 9 ranjang dua tingkat sehingga dapat dihuni 18 orang. Otomatis yang menghuni juga backpacker dari berbagai negara. Demikianlah kondisinya sehingga perempuan muslim yang hendak melakukan backpacker harus berfikir seratus kali. Ia akan banyak berkontaminasi dengan lelaki lain, dan sekaligus harus ekstra menjaga dirinya sendiri.

Kemarin, saat putar-putar mencari hostel ini, kami sempat duduk di pinggir jalan. Semua terlihat lelah, ringkih, dan ingin segera masuk ke hostel untuk menyandarkan punggungnya ke kasur yang empuk. Bagaimana tidak, kami semalam tidur di Changi Airport, berputar-putar sebentar lalu mencari hostel hingga kaki bengkok. Saat itulah tiba-tiba orang yang berjalan mengucap salam sembari melempar senyum hangat.

Aku yang berada di sana, ikut bergembira. Sebagai muslim, salam adalah doa menebar keselamatan. Maka dari itu, ketika nantinya ada serombongan muslimah backpacker, mungkin muslim Singapura atau muslim di manapun tempat ia datang, akan merasa mendapatkan teman. Namun memang, orang-orang masih belum bisa melepaskan anggapan bahwa muslimah berjilbab bukanlah istri dari teroris.

Mushalla

Kendala yang paling pasti adalah tidak adanya mushalla dan masjid yang memadai di Singapura, dan di tempat lain yang umat muslimnya terlalu minoritas. Jika di Indonesia setiap gang rumah ada mushalla atau masjidnya, maka hal itu tidak bisa dijumpai di negara lain. Jika kita melihat film 99 Cahaya di Langit Eropa, maka kita akan tahu bahwa sang tokoh pun kesulitan mendapatkan mushalla, bahkan ujian dibarengkan dengan shalat jumat sehingga harus memilih antara ujian atau jumatan.

Ketika masih di Bandara Soekarno Hatta, mereka masih dapat menemukan mushalla di samping toilet. Namun saat memasuki Changi Airport, kita tidak dapat menemukan satupun mushalla di lokasi bandara. Alhasil, mereka harus wudlu di kamar mandi yang saya jamin mereka akan kesulitan. Karena sebagai lelaki, saat aku mencoba ikut berwudlu untuk shalat, aku kebingungan mencari cara berwudlu.

Apakah di westafel yang hanya diberlakukan untuk mencuci muka dan tangan? Karena di kamar mandi tidak ada air lain, kecuali air yang masuk langsung ke toilet. Keluarlah aku dengan tangan kosong. Ketika memasuki waktunya tidur, mereka mulai melebarkan sajadah tipisnya ke lantai airport dan shalat bergantian. Hal-hal seperti ini harus mereka lakukan demi menjaga keteguhan ibadahnya. Yakin bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari kewajiban (atau kebutuhan) ibadahnya kepada tuhan, kecuali maut itu sendiri.

Sementara yang lainnya sudah terbaring di kursi panjang Terminal 1 Changi Airport. Usai shalat, Mamak satu membuka nasi kotak dan rendangnya. Ia mulai sahur untuk puasa pada keesokan harinya. Mungkin karena tidak enak makan sendirian, berkali-kali ia menawari secara bergantian untuk ikut makan bersamanya. Setelah 100 kali ditawairi, akhirnya aku mau meski tubuh masih belum lapar.

Setelah ini, akan ada kerepotan lainnya yang tentunya berbeda dengan kerepotan di bandara. Hal itu bisa saja membuat teguh para muslimah berjilbab ini, dan dapat pula menjadi penghambat keimanan mereka. Pilihan akan selalu ada pada hambanya, namun tuhan maha mengetahui hati hambanya yang beribadah sungguh-sungguh, atau sekedarnya seperti saya. Bagaimanapun, keteguhan mereka beribadah membuat saya percaya bahwa seorang muslimah tetap dapat melakukan backpacker. Saya salut.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.