Skip to main content

Jurnalis Wajib Sebar Gagasan Kesetaraan Gender

Para perempuan yang ikut tergabung dalam Sekolah Politik Perempuan Maupe di Kabupaten Maros
Posisi perempuan yang selalu dianggap lemah menjadi agenda penting yang dibahas dalam diskusi tiga hari, antara tiga pemateri On Track Media Indonesia dan 15 Jurnalis Lokal Indonesia Timur. Padahal perempuan telah berkontribusi aktif dalam segala bidang, namun mereka juga yang terpinggirkan dalam setiap pengambilan keputusan.

Fathul Qorib - Makassar

Rombongan wartawan dari 5 media lokal kawasan Indonesia Timur dibawa menuju Desa Majannang, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka pelatihan menjadi jurnalis yang berwawasan responsif gander. Jalan menuju ke kampung ini cukup jauh, memakan waktu sekitar 4 jam dari Kota Maros dan harus melewati persawahan yang luas.

Perjalanan itu tentu saja tidak mulus. Jalanan sempit dengan kondisi bebatuan yang tidak rata membuat perut mual, belum lagi kubangan-kubangan yang membuat perut seperti diaduk. Namun kondisi itu dapat dilenakan karena hamparan sawah luas dengan gambaran padi yang usai dipanen mengiringi seluruh perjalanan.

Hingga empat jam kemudian, di rumah salah seorang warga bernama Kasmawati Ahmad (33), wartawan diminta turun. Setelah berbasa basi sejenak, ternyata dia adalah narasumber yang harus dikorek kehidupannya untuk dijadikan human example bagaimana pendidikan bisa menjadikan perempuan mandiri. Memang Kasmawati tampak seperti perempuan di desa lainnya, berkerudung, pakaian sederhana, dan tentunya seorang ibu rumah tangga.

Namun Kasmawati ternyata sudah berubah banyak setelah mengikuti Sekolah Politik Perempuan Maupe di Maros. Karena sebelumnya, Kasmawati hanyalah seorang korban pernikahan dini dengan lelaki yang terpaut usia 18 tahun di atasnya, dan dia harus rela. Namun kini, Kasmawati telah mandiri dengan selalu dicantumkannya namanya saat rapat-rapat pembangunan desa, bahkan berani menggugat cerai suaminya karena tidak pernah dinafkahi.

“Saya aktif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering diabaikan baik oleh keluarga maupun oleh perempuan sendiri. Saya ingin menyadarkan semakin banyak wanita di luar sana, yang mungkin takut dan pasrah akan ketidakadilan yang mereka alami,”tuturnya.

Bahkan bukan hanya Kasmawati Ahmad, ada sekitar 40-an perempuan lainnya di Maros yang telah bertransformasi dari perempuan domestik menjadi perempuan publik usai mengikuti Sekolah Politik Perempuan Maupe. Belum lagi, para perempuan yang tergabung dalam LSM lainnya, sebut saja Perempuan Kepala Keluarga, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, juga lembaga keagamaan khusus perempuan seperti ‘Aisyiah.

Dari sinilah, wartawan diminta menjadi pelopor untuk memahamkan masyarakat mengenai kesetaraan gender. Gender bukan dalam artian kodrati sebagaimana jenis kelamin, tetapi peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil dari konstruksi social yang dapat berubah dari zaman ke zaman.

“Di media massa, perempuan cenderung menjadi objek fetish, objek peneguhan pola kerja patriarki, objek seksis, objek pelecehana dan kekerasan. Media massa bisa menjadi reflector dari ketidakadilan gender yang dalam masyarakat karena mengambil fakta social tanpa disertai perspektif,”papar DY Suharya, coach On Track Media, dalam salah satu presentasinya.


Dalam penulisan jurnalistik yang sensitive gender, seorang wartawan juga harus memilih kata, grammar, cara pengungkapan, dan gambar, yang tidak menghargai perempuan sebagai seorang manusia yang setara dengan laki-laki. Salah satu contoh, menurut Suharya, adalah saat seorang wartawan memilih judul “Remaja Putri Keluyuran, Digilir 8 Berandalan,”.

Dari judul itu, seorang perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual laki-laki, kembali menjadi korban pelecehan oleh media massa. Suharya mengakui bahwa judul yang bagus akan menarik pembaca, namun jurnalis sendiri mestinya tahu bahwa itu tidak sensitif terhadap gender sehingga harus dihindari.
Terkait dengan judul itu, perempuan disalahkan karena keluar malam, sehingga pantas untuk digilir sebagaimana “piala” oleh para lelaki. Suharya melanjutkan, kejadian yang sama adalah saat perempuan disalahkan ketika mamakai rok mini, sehingga menjadi korban pemerkosaan. Dan yang paling menjengkelkan, kata Suharya, adalah saat ada penelitian “keperawanan perempuan,” dan bukan “keperjakaan lelaki”.

“Dalam visualisai, berbagai kasus pembersihan tempat pelacuran adalah salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Kemudian kalimat di tempat itulah dia puas melampiaskan nafsunya menandakan bahwa perempuan itu lemah, rentan, tidak berdaya sehingga layak dijadikan pelampiasan. Ini media harus sadar,”imbuhnya.

Selain judul itu, diskusi penulisan responsif gender juga membahas judul berita yang lain, seperti “Gadis SMU Digarap Dirumah Kosong,”,”Sebagai Ganti Kegadisan Istrinya yang Janda, Ayah Perkosa Anak Tiri,” dan “Ngiler Lihat Tubuh Montok, Wanita Lagi Susu Anak Diperkosa,”. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam berbagai judul media massa itu, dipaparkan sedemikian rupa karena tidak menaikkan harkat dan martabat seorang perempuan.   
 
Selain menyoal penulisan, seorang jurnalis juga diminta untuk memilih fakta yang dapat menjunjung perempuan dan atau memihak kepada kasus-kasus perempuan. Misalnya mengangkat ketokohan seorang perempuan yang memiliki power tertentu, baik dalam bidang ekonomui, sosial, maupun pemerintahan. Termasuk juga menjadikan seorang perempuan sebagai sumber dalam setiap pemberitaan yang berhubungan dengan kepentingan publik. 

“Ada lagi yang lain, adalah porsi pekerja media yang perempuan juga dapat dipastikan lebih sedikit dari pada laki-laki. Mungkin disebabkan perempuan banyak cutinya, hamil, menstruasi, dan sebagainya, padahal itu adalah kodrat. Termasuk porsi pemberitaan mengenai perempuan juga biasanya lebih sedikit, apalagi masuk pada headline seorang perempuan, itu jarang sekali,”tegas Suharya.


Adapun pemilihan wartawan lokal yang kemudian dilatih untuk responsif terhadap gender, Suharya mengaku bahwa wartawan lokal memang berada dalam posisi strategis. Menurutnya, wartawan lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan menggulirkan isu serta mempengaruhi opini. Ujung yang diharapkan adalah adanya kebijakan para pemimpin suatu wilayah untuk lebih mengakomodir perempuan dalam berbagai bidang.

Konstruksi soal gender yang mengatakan bahwa laki-laki itu kuat, kasar, dan rasional, sementara perempuan itu lemah, lembut, dan emosional, haruslah direkonstruksi kembali. Menurut Suharya, keyakinan itu bukanlah kodrat tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah panjang. Padahal pembagian peran, sifat, maupun watak kedua jenis kelamin ini dapat dipertukarkan.

“Kita harus menggunakan kalimat-kalimat fakta yang jelas, tidak boleh konotatif. Misalnya mengapa keperawanan menjadi sebuah ukuran buat laki-laki dalam menilai harkat perempuan? Kata “ternoda” dan “keperawanan” dalam bahasa jurnalistik itu bersifat patrairki,”tandasnya.***

*Dari Pelatihan Penulisan Jurnalistik Responsif Gender di Makassar oleh www.ontrackmedia.org

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.