Skip to main content

wake me up when desember ends


Pagi itu jam tujuh, aku masih belum juga tidur. Angin masih berhembus, begitu dingin. Aku kedinginan tapi tidak ada yang kulakukan, aku hanya mematung. Angin itu, datang melewati pikiranku, menembus badanku, dan aku tetap tidak bergerak. Aku seperti menunggu sebuah janji, namun yang kulihat hanyalah kenangan yang semakin menjauh. Seseorang yang aku cintai, menikah pagi itu, dengan orang lain.

Aku ingin berbohong bahwa aku akan bahagia kalau ia bahagia, kemudian tersenyum. Tapi itu hanyalah perkataan indah dari kumpulan kata mutiara cinta. Pada keadaan yang sesungguhnya kata mutiara tidak mampu menyelamatkan apapun. Kita tidak bisa mengukur bagaimana cinta ataupun rasa sakit. Dan apa yang kurasakan sekarang adalah suatu keadaan yang tak terdefinisikan, tak terbahasakan, dan tak tertahankan. Ada yang menggelegak dalam dada, entah itu apa. Satu yang kusadari, kesempatan telah hilang bersama angin yang menembus tubuhku.

Itulah keadaan yang mengawali desember terburuk ini. Bagaimanapun, sebagai manusia normal, rasa sakit juga normal. Ia tidak akan memilih kepada siapa berhinggap. Aku masih ingat pesan Jalaluddin Rahmat, bahwa rasa sakit itu obyektif, dan kita yang menerimanya itu subyektif. Rasa sakit bisa datang kepada setiap orang, begitu pula ketidakbahagiaan bisa menjangkiti setiap orang. Tapi sikap kita, akhirnya, yang menentukan apakah kita terjerumus atau tidak. Kita bahagia atau tidak, adalah karena sikap dan cara kita menerima setiap penderitaan.

Sebentar lagi tahun berganti dengan segala selebrasinya. Waktu yang tepat untuk berubah adalah pada bulan-bulan ini. Meskipun tidak tepat juga bahwa kita berbenah hanya karena tahun berganti, tapi, dari pada tidak sama sekali, semua waktu yang digunakan untuk berubah adalah baik. Begitupun cinta, cinta harus bisa berubah untuk belajar lebih baik lagi. Kita sama-sama bisa berubah dengan cara yang benar-benar baru.

Bagaimana diriku memaknai semua ini? Aku hanya akan menuliskannya. Karena menulis adalah salah satu jalan untuk melupakan semuanya. Ini adalah katarsis. Kalau dibilang oleh Aristoteles, maka ini adalah upaya pembersihan diri, penyucian jiwa, dari semua yang menyakitkan kepada kerelaan menerima. Ini adalah seperti yang di ungkapkan kata mutiara lebay berikut : cinta yang agung adalah ketika kamu menitikkan air mata, dan masih peduli terhadapnya. Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia. Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’.

Kemudian, katarsis menurut ilmu psikologi adalah untuk menghilangkan beban mental seseorang. Seseorang yang menuliskan apa yang dirasakannya bisa saja kehilangan traumatisnya, sekaligus memberikan ketenangan karena telah menceritakan semuanya. Untuk itulah saya menuliskannya, bukan demi melankolik diri sendiri serta untuk mendapatkan sekedar simpati. Karena apapun yang aku dapat dari sebuah cinta, itu sudah lebih dari cukup, meski tidaklah mudah untuk dituliskan. Dari sini kemudian saya berfikir bahwa, selepas ini aku akan baik-baik saja.

Cinta tidak pernah mengajarkan penderitaan, hanyalah karena kurang berani memanfaatkan kesempatan saja kita menjadi menderita. Jika pembaca melihat seseorang yang pantas untuk dicintai, maka itulah kesempatan yang diberikan Tuhan kepadamu, itu bukan pilihan. Kesempatan bisa datang satu kali, bisa juga berkali-kali, namun kalau kita mengabaikannya, kita akan melewatkan masa terbaik dari kesempatan tersebut. Dan bagi kau yang sudah mendapatkan kesempatan tersebut, mencintainya dengan sungguh-sungguh adalah sebuah pilihan. Bagi engkau yang sudah menikah, tetap mencintainya meskipun “mungkin” engkau melihat ada orang lain yang lebih baik, itu adalah sebuah pilihan.

Namun diatas semuanya, mencintai, tidak pernah menjadi membenci kecuali untuk sesuatu yang tidak tulus. Untuk menyempurnakan tulisan ini, ada sebuah puisi dari penyair yang mungkin akan menggenapkan kita semua akan pengertian cinta.

Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Yang terakhir, bangunkan aku jika Desember telah berakhir.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.