Skip to main content

Manusia


Kehidupan selalu berubah setiap detiknya. Bahkan diri kita sekarang adalah berbeda dari diri kita sedetik yang lalu juga sedetik yang akan datang. Namun apakah ini penting untuk kita ketahui? Bahkan kita tidak tahu bahwa kita sedang berubah. Dan pengetahuan-pengetahuan tentang jati diri kita sebagai manusia kadang juga tidak berarti apa-apa. Tidak lebih sebagai omong kosong science yang hanya berfungsi untuk penyandangan gelar akademis. Dan terhadap apapun yang kita perlakukan sebagai ilmu pengetahuan, kita tidak pernah tahu kesejatian fungsinya hingga kita benar-benar merasa bahwa kita ‘berubah’ ke arah yang lebih baik.

Kita adalah manusia, yang bahkan disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Kemudian, apakah kita bisa menyebutkan sesuatu tentang ‘manusia’ itu sendiri? Saya hari ini berfikir tentang manusia yang terdiri dari fisik dan non fisik. Namun yang saya temukan malah ketidaktahuan mengenai  keduanya. Kita sebagai manusia modern, dalam banyak hal lebih tidak berpengetahuan (untuk tidak menyebut bodoh) daripada nenek moyang kita dahulu. Bagi yang suka berfikir taktis dan pragmatis, maka jawaban satu-satunya adalah; “untuk apa kita berfikir seperti itu?”. Jelas sekali bahwa mereka tidak suka sesuatu yang berbelit, dan terutama pemikiran yang tidak memberikan kebermanfaatan praktis.

Saya tidak menyalahkan orang-orang pragmatis, karena bagaimanapun mereka dibentuk oleh realitas kebudayaan sosialnya. Ia adalah hasil konstruksi dari keluarga, pendidikan, dan kenyataan yang ada. Hal ini bukanlah masalah besar karena kata-kata penyebutan; idealis, realistis, pragmatis, sosialis, oportunis juga merupakan konstruk sosial yang dihasilkan dari aktifitas berfikir, pengelompokan, dan berakhir pada seleksi dan ciri-ciri. Kita sebagai generasi modern yang tidak berpengetahuan, hanya mampu mengolok-olok dengan kata-kata tersebut terhadap orang yang tidak sesuai dengan pemikiran kita.

Seluruh ilmu pengetahuan telah berkembang. Beragam cara telah digunakan untuk menyebarkan pengetahuan ini; buku, internet, seminar, workshop, makalah, dll. Tapi dasar manusia yang bermacam-macam, hanya sedikit sekali dari kita yang kemudian membaca dan berfikir. Kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak dari sekumpulan manusia yang pekerjaannya adalah sia-sia.

Kita seperti dipisah-pisah menjadi beberapa golongan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Ilmu pengetahuan yang sengaja diciptakan untuk meluruskan berbagai purbasangka ini juga masih saja gagal menyelamatkan kedamaian antar manusia. Lalu bagaimana ini bisa diatasi? Padahal dalam waktu yang sama, kajian-kajian mengenai kemanusiaan terus dilakukan.

Sebagai manusia, kita kadang terjebak dengan kata-kata mutiara yang membesarkan jiwa kita sesaat. Begitu banyak orang yang ingin disebutkan namanya sebagai “sang pembawa” perubahan. Dan satu-satunya hal yang paling diinginkan manusia adalah kebahagiaan. Padahal kebahagiaan hanyalah satu, sedangkan manusia jumlahnya sekitar 6 miliar. Dapatkan kebahagiaan itu ditemukan? Padahal kebahagiaan adalah hal paling abstrak yang bisa manusia sebutkan. Dan juga bagaimana kebahagiaan itu? Tidak, saya tidak ingin menjawabnya.

Saya hanya mempertanyakan keberadaan manusia dan kemanusiaannya. Jika benar bahwa kita adalah makhluk yang paling sempurna, kenapa kita musti terus menerus belajar kepada pohon? Kepada unta? Kepada semut? Bahkan kepada matahari dan hujan? Ini menjadi paradoksial, tidak berkesesuaian antara ide dan realitas. Kita menemukan banyak sekali perbedaan. Bahkan untuk sekedar penyebutan, misalnya ; pragmatis yang selalu berakhir kepada orang-orang buruk secara pemikiran, dan idealis ditambatkan kepada orang yang tegak berdiri mengusung pemikirannya. Padahal dunia sudah buta. Apa yang ingin diciptakan lagi dari sebuah dunia ini?

Mimpi adalah jawabnya. Saya sependapat dengan Madara, tokoh paling antagonis dari seluruh musuh Naruto. 

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.