Skip to main content

24 Jam Yang Membosankan


Kapal Lambelu
Hatiku bersorak ketika hujan datang, namun suasana bertambah miris karena hanya hujan yang mengantar kepergianku. Aku meninggalkan pulau Jawa seperti meninggalkan seorang kekasih yang telah lama menghuni dadaku.

Kapal Lambelu yang kutunggu sejak pukul 18.00 baru saja datang. Ini jam 24.30. Bunyi sirinenya membahana seperti mengajak perang seluruh penghuni pelabuhan. Kurir-kurir berlarian, berteriak, mengoyak pendatang. Baju mereka berwarna kuning dengan angka-angka besar berada di dada dan punggung mereka. Itu nomor keberuntungan nasib yang akan membawa mereka kepada harapan. Nomor yang akan selalu diingat oleh orang-orang dengan cemas, orang-orang yang bertanya; akankah barangnya lenyap atau selamat? –sementara televisi masih suka mewartakan untuk berhati-hati dengan kurir-kurir pembawa barang yang tidak kenal.

Aku telah berada di sini selama lima jam setengah, tapi aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku sendiri yang malas menceritakan situasi. Ini seperti sebuah judul buku, sebuah novel yang malas menceritakan manusia. Kadang, aku juga malas mengisahkan sesuatu yang sepertinya tidak akan bisa berubah hanya dengan cerita. Termasuk situasi di pelabuhan ini, di terminal, di stasiun, kenapa tempat seperti itu selalu menimbulkan kekacauan di dalam hatiku?

Akhirnya aku berdiri, berjalan gontai bersisian dengan seluruh jenis manusia yang berlari kesetanan. Seorang lelaki yang sendirian, sedang melakukan perjalanan yang ‘tanpa tujuan’ ke sebuah kota –sebuah pulau yang asing pada hari asing. Hari yang bahkan ia sudah lupa hitungannya. Akankah ia tergesa-gesa? Tidak. Tidak ada yang menunggunya, tidak ada yang mengantarnya, hanya gerimis yang turun tiba-tiba saja melalui rambutnya yang kelam, lalu jatuh di kelopak matanya –serupa tangis yang datang dari lubuk terdalam, simbol sunyi yang tidak pernah ia sadari.

Lambelu ketika muat orang (siang hari)
Mataku mengerjap, hatiku berbunyi-bunyi, meletup. Biasanya aku bangga dengan setiap perjalanan yang sedang aku rencanakan. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aku ikut berdesakan dengan orang-orang yang memanggul kopor sebesar sofa. Biasanya aku akan menunggu hingga suasana sepi dan lebih suka mengalah demi melihat seorang bayi dan ibunya terjepit di antara orang-orang yang tidak punya aturan. Sekarang aku mengikuti arus, aku hanya diam di dalam kerumunan, lalu dorong-mendorong terjadi, aku terbawa arusnya hingga di bibir tangga dan memanjatnya tanpa kesulitan. Akulah gerombolan pertama yang masuk ke dalam kapal yang bertingkat tujuh ini. Dan di atas semua itu, inilah awal dari kebosanan yang paling jelas.

Kawan di baris ranjang kapalku, berturut-turut adalah ; seorang lelaki dengan perut buncit, mengaku masih bujang, usia 28, pekerjaannya adalah sales pakaian anak-anak. Dia adalah tipe orang yang tahu segalanya, ia menceritakan bisnis, politik, media massa, budaya Indonesia, demokrasi, GAM, selera kopi kesukaannya, pala dan lada, Namlea, percetakan, penjajahan, hutan, dan komposisi senapan. Ia memberikan banyak sekali argumennya mengenai setiap hal, dan itu tidak membuatku nyaman berbicara dengannya.

dipan-dipan yang diperebutkan (diperjualbelikan)
Lalu seorang ibu dengan dua orang anak, pekerjaannya adalah dosen sastra inggris di Perguruan Tinggi Negeri di Ternate –aku tidak ingat apa nama perguruan tingginya, ia suka menceritakan tentang ayah dari anak-anaknya yang katanya sudah mati, tapi sebenarnya dia masih hidup, hanya saja, ayahnya yang seorang Perwira itu memimpin sebuah kapal dan tidak pernah pulang lagi. Namun perempuan itu bukanlah tipe ibu-ibu yang bersedih hati karena ditinggal suaminya, ia semacam perempuan modern yang ikut dalam emansipasi wanita.; mandiri, cerdas, dan juga banyak bicara. Dia memiliki penghasilan yang bisa diandalkan. Sekarang ia bersuami lagi, dan mengurusi anak-anaknya yang bandel luar biasa. Tubuhnya gemuk, bicaranya jujur, ada tahi lalat yang tidak membuatnya manis di sela bibirnya. Ketika ia merebahkan badan untuk tidur, baju di bagian perutnya akan tersingkap dan menunjukkan kepada kami bahwa ia memiliki pusar yang dalam.

Dan yang terakhir adalah sepasang suami istri –dari wajahnya sangat terlihat bahwa mereka orang Indonesia Timur. Mereka berdua tampak mesra, aku yakin bahwa perempuan timur yang satu ini adalah perempuan paling cantik di daerahnya, meskipun kita tahu bahwa selera ini bisa sangat berbeda. Secara serius, aku tidak pernah lagi menyukai perempuan timur. Dimungkinan karena peristiwa patah hati dan masih saja membekas bahkan hingga kapal ini membawaku pergi ke pulau yang lain. Mereka pasangan yang tidak banyak bicara, mereka hanya tersenyum atau ikut tertawa jika kami tertawa. Ini adalah hari pertama bagi mereka akan pulang ke Bau-Bau setelah beberapa tahun kerja di Malaysia. Muncul gosip dari Ibu dosen itu ketika berbisik padaku, bahwa mereka membawa uang yang banyak karena berhasil di perantauan. Aku bingung, memangnya apa hubungannya denganku? Ternyata perempuan tidak perlu alasan untuk saling berbisik mengenai orang lain.

Saya akhirnya pamit untuk keluar melihat kapal yang mau berangkat. Alasan yang sangat bagus untuk menghindari percakapan yang tidak akan pernah aku sukai. Ini hanyalah bagian awal dari sebuah perjalanan sehari semalam yang membosankan. Dan masih banyak hal membosankan lain yang harus aku ceritakan agar kalian bersiap-siap jika ingin mengadakan perjalanan laut dari Surabaya ke Makassar.

Hal-hal yang harus diketahui di dalam kapal ekonomi Surabaya – Makassar :
  1. Ketidaktepatan jadwal yang keterlaluan
  2. Dipan-dipan untuk tidur yang seharusnya gratis, ternyata diperjualbelikan oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Madura. Jadi kita mesti membeli dari mereka minimal Rp 10.000 hingga Rp. 50.000. Ketika aku ngotot untuk menempati HAK-ku tersebut tanpa membayar, orang tersebut mendorong-dorongku sambil matanya mendelik mengajak bertengkar. Orang-orang sesama mereka berdatangan yang lalu mengintimidasiku. Sungguh, kau tidak ingin mengalami hal yang serupa.
  3. Kapal PELNI yang ‘milik negara’ ini menyediakan makan juga kepada kita. Yaitu seceplok nasi jijik dan seonggok ikan jorok. Ini serius. Percayalah, kau harus membawa mie bungkus sesuai lama perjalananmu –untungnya di sini ada air panas gratis, makan mie itu bersama nasi sambil memejamkan mata –membayangkan Agnes Monica yang sedang nge-dance.
  4. Banyak orang yang sok tahu ditiap lorong dipan. Ada yang informatif, ada yang pembual.
  5. Bawalah T untuk ces hape. Ada banyak tempat untuk bisa ngeces di atas kapal -tentunya masih lebih banyak orang yang membutuhkan, tapi dari pada keroyokan lebih baik anda membawa T. Oya, nomor telkomsel bisa di pakai selama perjalanan karena di atas kapal ada tower miliknya telkomsel tersebut.
  6. Jika anda bosan di tempat tidur, lebih baik anda ke luar meskipun tidak bisa menikmati apapun.No island, No waves, hanya ada laut yang luas tanpa ujung. 24 jam begitu terus, membosankan bukan?
  7. Jangan berharap banyak pada sunrise ataupun sunset., karena mataharinya tidak terbit atau tenggelam di laut, tapi terbit dan tenggelam ke balik awan sehingga tidak seperti yang kuharapkan.
  8. Ada banyak kurir yang berpakaian kuning di pelabuhan Surabaya, di dada dan punggung kaos mereka ada nomor yang harus diingat jika kita ingin menggunakan jasanya. Jadi, tidak usah tanya nama dan ingat-ingat wajah, cukup ingat nomornya.
  9. Hal yang lebih membosankan tentunya menggunakan tiket kelas Bisnis atau Eksekutif karena hanya akan terpendam di dalam kamar tertutup.
 Inti dari perjalanan yang membosankan ini adalah : jangan mencoba jalan sendirian jika anda termasuk orang yang tidak bisa menghibur diri sendiri.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.