Skip to main content

Mengenal Hujan



"orang-orang yang mencintai hujan adalah orang-orang melankolis adalah orang-orang lembut adalah orang-orang yang hidup dengan puisi dalam tubuhnya"

Hujan, agaknya telah menjadi penyihir paling magis dari seluruh makhluk ciptaanNya. Jika pembaca pernah, suatu kali, sedang sibuk mengerjakan sesuatu, lalu hujan turun, dan seketika anda tersenyum sambil meninggalkan pekerjaan tersebut hanya untuk memandangi hujan yang jatuh; berarti pembaca adalah salah satu makhluk yang mencintai hujan. Dan pecinta hujan tidaklah sendiri, ia ada dimana-mana, dalam tubuh-tubuh yang menggeliat dengan puisi memenuhi kalbunya. Pecinta hujan sama banyaknya dengan pecinta buku-buku Harry Potter, sama juga dengan fans club selebritis, atau juga sama seperti tetes yang jatuh dari hujan tersebut.

Hujan, membangkitkan semua kenangan yang pernah hinggap dalam cerita kehidupan kita. Ia serupa ibu kedua yang membangkitkan nuansa rindu nan syahdu, juga kelembutan hati dari pendar cahaya yang dijadikannya pelangi. Ia adalah rumah ramah tempat segala keindahan tersedia, tapi di dalamnya juga terletak kesedihan maha dalam yang hanya mampu dilukiskan oleh “gadis kecil yang diseberangkan gerimis”. Sebagai pecinta hujan, apakah yang kau rasakan ketika hujan datang? Tangis bahagia?

Saat bersama orang yang saya sayangi, ingin sekali saya memesan coklat hangat, segelas kopi dan selembar hujan untuk menemani. Di beranda sebuah kafe, kita bisa menikmati hujan bersama kawan-kawan –atau kita bahkan bisa berdiam diri dalam naungan hujan, juga berjalan-jalan sebentar merasakan bagaimana hujan membelai rambut kita yang basah. Mari membaca percakapan malam hujan :

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.

"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang. 1

Hujan di sana di gambarkan sangat misterius, dan dengan tersurat diucapkan oleh penyair (di wakili oleh tiang listrik) “serba kelam, serba gaib, serba suara desah”. Hujan bisa menjadi siapapun dengan kondisi luka yang beragam. Ia memang serupa kesedihan yang tak berujung, serupa tetes air mata gadis perawan yang disekap dalam kamar para penyamun.  Hujan menggambarkan jiwa yang kelam yang sedang menempuh kehidupan, ia adalah penyesalan. Ia datang tiba-tiba, dan berhenti sekenanya, setelah semua hati basah di muka bumi –ia adalah gaib. Misterius, menjadi suara-suara desah yang mendirikan buku kuduk kita.

Jika ada seseorang dengan mantel hitam panjang selutut, bersepatu panjang, ditengah malam buta, mengetuk pintumu pelan, bagaimana kau akan menekan perasaanmu dari rasa takut? Dialah hujan, yang mengetuk pintumu perlahan, dari keterasingan menuju perkenalan yang menggetarkan.

Lihat juga bagaimana pada suatu pagi hujan, dan ada seseorang yang melankolis menyenandungi hidupnya dalam puisi hujan ini :

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit, berteriak-teriak, mengamuk memecahkan cermin, membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. 2

Kita bisa menemukan orang-orang yang bersedih dalam hidup yang sebagian besar terlihat sia-sia ini. Ada banyak air mata yang tumpah, ada banyak kejadian yang membuat kita bersedih, dan lebih banyak lagi yang membuat kita putus asa. Menangis adalah jalan keluar, sedang berjalan sendiri dalam rintik hujan sambil menangis adalah penyelesaian. Hujan menjadi sahabat yang dekat bagi beberapa orang yang sedang merasakan pahitnya kehidupan. Bahkan, ketika kita merindukan suatu suasana yang telah lampau, hujanlah yang mampu memberikan gambaran yang mempesona.

Kedua puisi di atas menggambarkan situasi yang berbeda, namun sebenarnya sama. Puisi pertama adalah gambaran hujan yang misterius, magis, dan gaib. Ia datang dalam kegelapan dan menginginkan kegelapan; dengan merayu tiang listrik agar istirahat, dan biar hujan yang menjaga malam. Kita bisa merasakan percakapan itu begitu dekatnya dengan nuansa nenek sihir dan kastilnya yang penuh hantu. Hujan yang kelam, hujan yang gelap, hujan yang penuh desah risau dari alam. Kegelapan adalah sesuatu yang menakutkan bagi manusia. Namun jika kita mengingat bagaimana gelap bisa membuat bintang lebih bersinar, mengapa kita mesti takut? Gelap tidak bisa mengusir terang, begitulah tiang listrik menolak permintaan si hujan.

Sedang puisi kedua menggambarkan bagaimana hujan menjadi saudara dekat sebuah kesedihan. Hujan digunakan untuk menyembunyikan tangis dan air mata sekaligus. Suara hujan yang serupa desauan akan menipu suara tangisan itu sehingga tidak terdengar, juga air hujan akan menipukan air mata seseorang yang berjalan di bawahnya. Dan sesungguhnya seseorang itu bisa saja menghilang dalam hujan, ia bisa menjadi orang lain, ia bisa menjadi diri sendiri, ia bisa meratap, ia bisa mengaduh –tanpa harus diketahui orang lain yang akan bertanya kepadanya “kau kenapa?” karena kadang pertanyaan semacam itu tidak penting untuk dilontarkan. Di bawah hujanlah kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya –karena kita tahu bahwa manusia ketika berhadapan dengan orang lain hanya memasang wajah bagaimana ia ingin dipandang (impression management).

Terakhir, sebagai sebuah penutup, akan saya tuliskan juga puisi hujan yang turun di bulan Juni.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu 3

Ket :
1,2,3 adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono
1 Berjudul Percakapan Malam Hujan
2 Berjudul Pada Suatu Pagi Hari
3 Berjudul Hujan Bulan Juni

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.