Skip to main content

Putus Asa


Pada waktu tertentu, tulisanku yang layak dikonsumsi publik aku share dicatatan facebook. Awalnya tidak ada niatan apa-apa, hanya ingin memperlihatkan pemikiranku tentang suatu hal yang menurutku harus diketahui oleh orang-orang. Ketika “like” berdatangan hingga ratusan dan komentar yang berisi pujian dan tanggapan membanjir, aku menghapus catatan itu seketika. Ada perasaan bahagia sebenarnya, tapi aku menjadi takut, ada apa sesungguhnya dengan hatiku?

Penghapusan catatan itu tak terelakkan. Ia sudah terjadi dan hanya menyisakan sedikit rasa khawatir dan gembira atas apa yang telah kulakukan. Namun hingga sekarang, aku masih tidak tahu mengapa aku menghapus catatan tersebut. Jika aku berfikir lebih menyelam ke lubuk hatiku, ada ketakutan bahwa aku akan menjadi sombong. Tapi kadang-kadang kutepis pikiran itu, lalu mencoba membuat catatan lagi, dan kebingungan lagi.

Sekarang jika aku mengaku, baik dalam perkataan atau dalam tulisan, bahwa aku menulis untuk mengungkapkan isi hatiku terhadap permasalahan tertentu, maka aku sudah tidak mempercayainya lagi. Aku sudah menganggap bahwa aku menulis untuk mendapatkan popularitas. Aku membayangkan bahwa aku akan menjadi besar, dikenal dimana-mana sebagaimana Shakespeare, Pram, dan Hemingway, lalu mendapat 
royalti dari setiap tulisanku.

Aku banyak memanipulasi orang-orang agar percaya padaku bahwa aku orang yang bisa dipercaya. Sebenarnya itu adalah kebalikannya. Aku hanya pengejar mimpi yang bodoh. Meskipun aku benar-benar mengejarnya hingga detak jantungku berhenti, tetapi hingga sekarang aku tidak juga menjadi sesuatu –sesuatu yang bisa diadalkan. Aku mengumbar pembicaraan dimanapun aku berada. Aku sok menjadi motivator bagi beberapa orang yang sudah kubuat percaya bahwa aku adalah orang yang berhasil. Bahkan beberapa kali aku membuat orang yang putus cinta segera bisa melupakan kekasihnya, atau segera mendapatkan orang yang lebih layak, atau membuat mereka bersatu lagi.

Lebih buruk lagi, aku membaca banyak sekali buku, yang dengan pengetahuanku tersebut, kugunakan untuk memanipulasi kehidupan. Aku menjual bicaraku demi sebuah kata “wow”, “applouse”, dan beberapa kekaguman. Bahkan perjalananku mencari jati diri, mengejar mimpi, dan kesakitan-kesakitan yang kualamipun telah kugadaikan pula. Aku membohongi kehidupan banyak orang, aku bahkan membohongi hidupku sendiri. Aku selalu mengatakan kepada setiap orang bahwa aku mampu melakukan ini itu, begini begitu, dan akan menjadi seperti ini dan itu. Padahal sesungguhnya aku meragukan setiap pembicaraanku sendiri.

Saat ini aku tidak percaya pada apapun. Jika aku pernah berceloteh mengenai kekuatan kata-kata, kekuatan mimpi, kekuatan alam bawah sadar, saya sekarang menggugatnya sendiri. Terserah jika masih ada orang yang akan percaya dengan semua omong kosong yang kulanturkan. Mungkin itu lebih baik untuk menumbuhkan mimpi-mimpi kalian di tempat yang lembab –sebagaimana bakteri hidup subur pada tempe dan tapai. Aku menghidupi diriku sendiri dengan rencana-rencana yang sebenarnya itu adalah proses menghibur diriku sendiri yang kacau.

Kisahku sendiri sangat berantakan. Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup untuk menjalani ini semua. Semuanya. Keluargaku hidup pas-pasan, tidak ada yang harus dilakukan untuk memenuhi kaleng-kaleng mimpiku. Lalu semua masa laluku yang menyakitkan telah memakanku hingga menyisakan diriku yang sekarat. Kekasih-kekasih yang kupuja tiap malam dengan kata-kata yang indah, itu adalah untuk menutupi kegelisahanku. Aku tidak mampu menjadikan mereka apapun. Dan mereka akhirnya tahu, terbukti bahwa tidak pernah ada kekasih yang mau tinggal lama bersamaku, untuk apa? Menangisi kehidupan bersamaku?

Tidak, tidak, tentu mereka tidak ingin. Aku akan hidup sendiri. Bahwa memelihara mimpi itu menyakitkan, adalah benar adanya. Mimpi yang diluar kendali ini seperti iblis yang kita pelihara didalam darah-darah kita, memakan saripati tubuh kita sendiri. Ia seperti ulat yang mengiris-iris badan kita hingga menyisakan tulang-belulang yang bahkan anjing akan menjauhi. Mimpi tidak ada artinya lagi, kutinggalkan dia disebuah tempat yang jauh, yang harus puasa selama setahun, dan melakukan ritual peribadatan hingga puluhan tahun. Ia hilang.

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.