Skip to main content

Paradox Kesuksesan


Melihat teman-teman dekat yang sudah menikah, kadang menimbulkan dendam yang teramat sangat. Begitu juga melihat teman dekat yang sudah menjadi ini itu, berpenghasilan segini segitu. Ini intoleransi dalam kehidupan sosial. Kita seperti berlomba-lomba “menjadi sukses”. Profil-profil dalam facebook menjadi salah satu acuan mengapa saya sebut “kita ingin menjadi manusia yang paling sukses”. Seluruh pangkat yang pernah di dapat ditulis rapat-rapat dalam media sosial, menjadi tontonan, dan berharap bahwa orang-orang akan memandang kita sebagai orang yang sukses. Inilah pamer kesuksesan.

Berkali-kali mendengar kata sukses, saya semakin gamang untuk menjawab apakah kesuksesan itu. Apakah ia harta berlimpah yang bisa membeli apapun yang dikehendaki? Ataukah ia prestasi mencengangkan yang tidak sebarang orang pernah mendapatkannya? Apakah ia seperti mendapatkan beasiswa untuk jenjang kuliah yang lebih tinggi? Ataukah sukses itu mendapatkan istri/suami yang shalih-shalihah? Atau yang lebih sakral lagi, apakah sukses itu berarti shalat khusyuk dan puasa rutin?

Sukses menjadi momok yang begitu menghantui semua orang. Ia menimbulkan ketakutan tersendiri, bahkan ia cenderung sama dengan ketakutan yang dihasilkan dari kata kegagalan.

Teman saya satu-satunya, yang pada awalnya hanya ikut-ikutan menjadi pembaca buku yang serius akhirnya mencapai “kesuksesannya”. Dia menjadi sekjend sebuah organisasi nasional –prestasi yang tidak sebarang orang bisa dapatkan, apalagi dia hanya berasal dari kampus paling ndeso di indonesia. Saya berdecak kagum akan kegigihannya yang melampaui orang-orang yang dahulu menyepelekannya. Mungkinkah dia orang sukses itu?

Teman saya yang lain, telah menjadi pengusaha di luar negeri, memiliki banyak anak buah yang bekerja padanya. Hari raya kemarin, dia pulang ke rumah dan membawa uang 250 juta. Dia mentraktir kami makan bakso paling mahal yang ada desa seraya bercerita dengan jujur bahwa dia memperoleh kesuksesan di perantauan. Saya dan beberapa teman-teman berdecak kagum karena dia dulu hanya bocak tengik yang suka terlambat sekolah. Apakah mungkin dia orang yang sukses itu?

Teman saya yang lain, menikah dengan orang yang dicintainya. Ia menikah dengan orang yang ingin menikah dengannya. Mereka berdua adalah sosok yang dulu saya pernah bayangkan –contoh orang yang shalih dan shalihah. Akhirnya mereka dipersatukan oleh Allah. Mereka terlihat bahagia dan sering mengumbar kemesraan yang dirindukan oleh sebagian besar umat manusia. Mereka bahkan juga menulis beberapa kalimat yang menunjukkan kebersamaan mereka menghabiskan suasana di media sosial. Saya berdecak kagum kepada mereka dan mengaggap bahwa merekalah orang sukses itu.

Teman perempuan saya yang saya anggap luar biasa juga tidak luput dari kontradiksi kesuksesan. Ia cantik, bahkan sangat cantik, yang ketika saya dan teman-teman yang lain melihatnya, akan terbetik kalimat “subhanallah” dengan tidak sengaja dibibir kami. Ia tidak memakai jilbab lebar seperti kesukaanku, tetapi kehidupannya seperti seorang putri yang hidup di dalam harem yang terlindung dari segala bahaya. Ketika saya dan orang lain memandangnya, tampak bahwa dia adalah orang yang paling bahagia (baca –sukses), sekaligus orang yang akan mendapatkannya adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.

Yang lain lagi, mampu berbicara berkobar-kobar, menghanyutkan orang-orang yang mendengarkannya, dan menyadarkan banyak orang mengenai hakikat hidup. Ia berbicara tentang cinta dan mencintai, membuat orang-orang tersadar bagaimana cinta sejati yang mereka harapkan ternyata sudah begitu dekat. Ia tipe orang yang memiliki mimpi di luar kuasa dirinya. Ia menyembuhkan sakit hati, duka galau, dan bermacam-macam keputusasaan yang menghinggapi orang disekelilingnya. Setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti yakin dan optimis bahwa dia telah mencapai derajat memahami hakikat hidup, bahagia, dan kesuksesan itu sendiri.

Lalu mereka semua yang  saya katakan sukses tersebut, ternyata mendapatkan satu ujian/beban tersendiri. Mereka tidak murni sukses karena apa yang saya sebutkan diatas. Mereka adalah orang-orang yang beruntung bagi kita karena kita melihat dari sisi yang “seperti yang saya tuliskan diatas”. Entah itu yang menjadi sekjend, yang shalih-shalihah, yang perempuan tercantik, yang kaya raya, dan yang menjadi motivator. Jika kita melihat dari sisi yang lain, kita akan cenderung kasihan, dan bahkan kita akan mengatakan bahwa mereka belumlah sesukses dari yang kita kira.

Sukses telah menjadi sesuatu yang sangat abstrak. Ratusan buku terbaca, namun sukses menjadi semakin rumit. Ia seperti sudut pandang yang tidak selalu benar, juga tidak bisa disalahkan. Mungkin hal besar yang bisa kita belah dari kesuksesan adalah sukses yang bersifat dunia dan sukses yang bersifat hakiki. Dan apakah kita harus berteriak-teriak bahwa kesuksesan yang sebenarnya adalah kesuksesan hakiki? Apakah kita masih terus percaya dengan perkataan “tidak perlu kaya harta, yang penting kaya hati?”

Ini adalah pertanyaan. Beban berat yang sering datang bertubi-tubi, bisa saja tidak kita rasakan, kita tidak ambil peduli. Namun, kadang, saat malam hening, ketika tembang macapat dibacakan dikejauhan, kita menjadi nelangsa dalam menjalani hidup. Kita menyadari betapa hidup itu kesulitan yang menggunung. Dilain waktu, ketika malam hening, jam berdetak di sepertiga malam yang terakhir, kita berdiri dengan pasrah, lalu merasakan bahwa hidup menjadi begitu nikmat.

Jadi, apakah kesuksesan itu?

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.