Skip to main content

Tuhan*


Orang-orang yang gelisah, pada suatu saat akan mempertanyakan keberadaan tuhan. Orang-orang yang selama hidupnya dirundung masalah, suatu ketika akan lelah dan mempertanyakan keadilan tuhan. Santri dan mahasiswa filsafat, suatu saat akan dihadapkan pada pemikiran-pemikiran tentang keberadaan tuhan. Dan orang yang masih hidup di dunia ini, bagaimanapun caranya, akan memikirkan bagaimana, apa, dan seperti apa, wujud tuhan yang katanya telah menciptakan dunia ini –dari ketiadaan, atau dari dirinya sendiri.

Tuhan bersemayam dalam Arsy, kata guruku ketika mengaji kitab tauhid. Tetapi pelajaran tauhid ketika itu, hanya membahas tentang kepercayaan mutlak kepada tuhan dengan menghafalkan sifat wajib, sifat muhal (tidak mungkin), dan sifat jaiz (mungkin) bagi tuhan. Memang pelajaran tauhid harus disesuaikan dengan tingkat usia dan pemahamannya, namun selama perjalanan di kebanyakan pondok pesantren, mempelajari ketauhidan terhadap tuhan dipandang sebelah mata karena dianggap bias ke arah atheisme. Sehingga pelajaran mengenai nalar dan rasionalisme dianggap membahayakan kehidupan beragama.

Mungkin pemahaman seperti ini terbentuk dari pengalaman para ustad dan kyai yang mendapati mahasiswa filsafat kebanyakan terjebak dalam lubang hitam rasionalisme. Kenapa demikian? Karena mereka tergesa-gesa untuk mengungkapkan kegelisahannya. Tanpa mempertimbangkan faktor sosial di masyarakatnya atau ketidakmampuan dirinya membuat penalaran yang logis. Mahasiswa main gempur seakan-akan kebenaran hanyalah pemikirannya dan itu membuatnya merasa wah. Karena itu, sudah waktunya kita menjadi dewasa dengan mempelajari sejarah pemikiran dengan sungguh-sungguh. Jika muslim terus menghindari filsafat semacam ini, bukan tidak mungkin kita akan lebih tergilas.

Keyakinan ini, saya dapatkan dari kenyataan bahwa kebanyakan muslim tidak betul-betul memahami bahwa Al Kindi, Ar Razi, Abu Hasan Al Asyari, Al Farabi, Al Ghazali, Ibn Rusyd, hingga Ibnu Sina dan Ibn Arabi, juga memikirkan tentang wujud tuhan sebagai dasar berfilsafatnya. Kebanyakan kita hanya membaca atau mendengarkan cerita mereka dengan sekilas, bahwa mereka adalah tokoh muslim yang ahli di bidang ilmu pengetahuan dan ilmiah. Bahkan saya yakin, banyak yang hanya mengerti bahwa Al Ghazali ahli di bidang tasawuf saja. Begitu pula, dikira Ibnu Sina hanya berurusan dengan ilmu kedokteran melulu, atau Ibn Rusy hanya memikirkan soal sosiologi semata.

Padahal Al Ghazali sekalipun, bahkan pernah dibuat pusing dan mengalami depresi klinis gara-gara mempelajari hakekat keberadaan tuhan yang telah jamak dibahas filsuf, dan akhirnya ia mempercayai satu hal : bagaimana bisa filsuf memikirkan tuhan jika percaya bahwa tuhan tidak bisa dikenali melalui akal kita yang juga diciptakan oleh tuhan. Tuhan menjadi realitas tertinggi yang tidak bisa diidentifikasi oleh akal sehingga tidak bisa dibuktikan secara empiris. Bahkan tersebab kebingungan ini, Al Ghazali melepaskan gelar akademisnya dan tidak mau mengajar lagi, lalu membelok ke kehidupan para sufi dan mistisisme.

Dari beberapa kegalauan ini kemudian, muncullah kitabnya yang keren, Tahafut Al Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang menyanggah pendapat para filusuf, termasuk menyanggah Ibn Sina dan Al Farabi sekaligus. Di dalamnya, Al Ghazali terus menggali pengetahuan manusia tentang alam metafisika,khususnya tentang ketidakmampuan manusia membuktikan keberadaan tuhan. Ia dengan yakin menyimpulkan, tuhan memang tidak bisa dijamah melalui pengetahuan akal, tapi harus ‘dialami’ sendiri. Istilahnya, tuhan harus ditemukan. Melalui apa? Melalui jalan mistis dan jalannya kaum sufi. Karena itulah, orang NU menjadikan Al Ghazali sebagai imam untuk ilmu belajar kesufian. 

Jalan tentang pengetahuan tuhan yang digambarkan oleh Al Ghazali ini, hampir sama sebagaimana yang dilakukan oleh Buddha (Sidharta Gautama). Saat sang Buddha resah memikirkan umatnya yang terus hidup dalam samudera samsara, ia menemukan ritual yang bisa membuat manusia mencapai realitas tertinggi yaitu nirwana. Dalam islam, ritual semacam itu bisa disamakan dengan thariqat atau jalan, dan kaum sufi telah menemukan jalannya dengan menerapkan ritual tertentu hingga zuhud terhadap hal-hal duniawi. Karena setelah muslim melampaui syariat dengan ritual-ritual wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, mereka bisa menapaki jalan thariqat yang telah dirintis para sufi. Dari sana, muslim bisa mencapai hakikat dan ma’rifat yang dipercaya : jika melihat, ia melihat dengan mata tuhan; jika melangkah, ia melangkah dalam bimbingan tuhan.

Jika muslim mengira persoalan teologi tidak pernah menjadi beban orang islam sendiri, sungguh ia buta sejarah. Karena pada masa kegemilangan islam saat dipimpin Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, Mu’tazilah menjadi madzhab resmi negara. Yang mana, kaum Mu’tazilah bagi orang sunni adalah sesat. Pada masa itu, terjadi pertarungan yang menegangkan karena seluruh ulama’ harus mengakui bahwa Al Quran adalah makhluk –serta konsekuensi-konsekuensi akibat akal yang didahulukan dalam memahami Al Quran. Sehingga muncullah ulama’ sunni tradisionalis ahli hadits, Imam Ahmad Ibn Hambal, yang dipenjara gara-gara berpegang teguh bahwa Al Quran adalah qadim sebagaimana Allah.

Ibn Sina yang dilahirkan dari keluarga Syiah dan dipengaruhi oleh keilmuan kaum Syiah Ismailiyah, juga mempelajari keberadaan Tuhan. Ia menerapkan konsep untuk memahami tuhan melalui rumusan-rumusan yang telah ditulis oleh Aristoteles. Bahwa apa-apa yang ada di sekeliling kita merupakan kemajemukan yang luar biasa, yang selamanya kita berfikir, selama itulah kita akan menemukan hal-hal baru. Realitas yang kita lihat ini, membutuhkan satu penyebab tunggal yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Ia adalah realitas tertinggi, yang menurut Aristoteles; yang menggerakkan dunia ini tanpa digerakkan. Dialah tuhan, yang menurutAl Ghazali, tetap saja hal itu tidak membuktikan bahwa tuhan ada. Karena sekali lagi, tuhan tak bisa dinalar, hanya bisa ditemukan.

Teolog Ibn Arabi juga merupakan sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsep wihdatul wujud-nya, Ibn Arabi menganggap keberadaan alam merupakan wujud tuhan juga. Kalau di Indonesia, mungkin manunggaling kawula gustinya Syaikh Lemah Abang (Siti Jenar) juga perlu dijadikan referensi. Karena rata-rata pemikir muslim juga mempelajari tuhan ala Socrates, Plato, Aristoteles, hingga rabi-rabi kaum Kristiani dan Yahudi, maka kita yang ‘mampu’ juga hendaknya demikian. Karena pembicaraan tuhan itu milik seluruh kaum beragama –sementara pembicaraan mengenai keesaan Allah adalah milik umat muslim, Trinitas milik Kristiani, dan Akal Murni adalah tuhan milik kaum filsuf.

Jadi bagaimanakah tuhan itu?

Tuhan adalah sosok yang paling misterius dari seluruh pengetahuan yang ada di dunia ini. Ia hanya bisa dilihat oleh para nabi yang pengetahuannya tentu lebih baik dari pada para filsuf. Menurut Ibn Sina, filsafat nabi langsung diberikan oleh tuhan, sedangkan filsafat para filsuf hanya dikonstruksikan oleh akal. Sebagian besar filsuf percaya bahwa tuhan itu ada meskipun masih belum bisa membuktikan secara empiris bahwa tuhan itu ada. Analogi yang digunakan oleh para filsuf kebanyakan masih bersifat elitis karena begitulah dasarnya ilmu pengetahuan. Sehingga orang awam sulit memahami apa yang mereka pikirkan.

Memang sukar mengetahui kesejatian tuhan tanpa benar-benar mengetahui-Nya. Namun akal yang tidak ‘mencapai’ pemahaman tentang tuhan tidak dibenarkan pula untuk mereduksi eksistensi tuhan. Karena itu kita harus berhati-hati, terutama jika kita masihlah orang yang ragu dan tidak rajin mencari kebenaran yang sesungguhnya. Jalan yang mudah adalah, sembari mencari jawaban-jawaban soal eksistensi tuhan, cobalah percayai lebih dulu bahwa tuhan itu ada. Karena dalam setiap perdebatan nggak penting antara orang atheis dan orang bertuhan, pasti dimenangkan oleh orang yang bertuhan.

Yang saya pikirkan sekarang adalah betapa tuhan itu narsis karena menciptakan dunia dari ketiadaan (creatio ex-nihilo). Jika tuhan sudah ada sejak belum ada ketentuan soal waktu, lalu kun fayakun tuhan menciptakan iblis, manusia, dan semesta; berarti tuhan memang ingin dikenal. Semuanya ini butuh sebuah keyakinan. Dan hal-hal yang tidak dapat saya bayangkan ini menunjukkan betapa lemahnya pemikiran dan referensi  saya. Jadi apa alasan sesungguhnya dari keberadaan dunia ini? Apakah secara tiba-tiba tuhan berkeinginan menciptakan manusia untuk menyembahnya? Pikiran-pikiran kita kadang liar memikirkan awal mula penciptaan. Apakah dari sesuatu yang hidup, atau betul-betul dari ketiadaan. Saya masih belum tahu jawabannya.

*tulisan ini ada setelah membaca The Hostory of God by Karen Armstrong. Reviewnya bisa dilihat di Metamorfosis Tuhan

Comments

About Me

My photo
Fathul Qorib
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
pada mulanya, aku adalah seorang yang cerdas sehingga aku ingin mengubah dunia. lalu aku menjadi lebih bijaksana, kemudian aku mengubah diriku sendiri.